RADARRIAUNET.COM - Pendidikan adalah tema yang penting dalam masyarakat sepanjang peradaban. Melalui pendidikan, manusia dapat mentransfer ilmu pengetahuan dan teknologi kepada generasi penerusnya, sehingga peradaban terus berlanjut. Demi terwujudnya kehidupan yang berkeadaban, maka pendidikan haruslah memanusiakan manusia sebagaimana pendapat salah satu tokoh pendidikan Paulo Freire ”orang yang buta huruf adalah manusia kosong dan itu adalah awal dari penindasan”.
Menurut Freire, penindasan apapun namanya dan alasannya adalah tidak manusiawi (dehumanisasi). Sehingga, pendidikan sebagai proses dialektika yang akan memanusiakan manusia pilihan yang semestinya mutlak.
Tugas pendidikan adalah menumbuhkembangkan sifat hakekat manusia seoptilmal mungkin. Namun banyak pernyataan negatif sering kita dengar tentang pendidikan atau sistem pendidikan di Indonesia. Entah itu “pendidikan kita mendehumanisasi”, “pendidikan kita hanya berorientasi pada komersialisasi untuk mengisisi sendi-sendi kapitalis”, dan masih banyak lagi. Lalu jika memang pendidikan kita hanya mendehumanisasi dan berorientasi pada komersialisasi maka timbul pertanyaan, “Buat apa pendidikan itu ada?’.
Pertanyaan itu bukanlah tanpa alasan. Jika kita menelisik berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh negara terkait pendidikan termasuk dengan pengesahan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikaan Tinggi yang berimplikasi berubahnya status beberapa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) menjadi Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum atau yang biasa dsingkat PTN–BH . Dikutip berdasarkan opini harian kompas edisi 31 mei 2013 yang berjudul paradoks rasionalitas PTN-BH oleh Puji Dian Simatupang menjelaskan bahwa konsep pelaksanaan PTN-BH mengandung paradoks rasionalitas atau disebut contradiction in terminis. Artinya meskipun berstatus badan hukum, PTN-BH tetap mendapatkan pendanaan APBN. Bentuk dan mekanisme pendanaan PTN-BH diatur pemerintah.
Padahal, badan hukum dengan kekayaan yang dipisahkan dapat mengatur diri sendiri tanpa tergantung pada sumber kekayaan pendirinya. Badan hukum tanpa kemandirian berarti status badan hukumnya (rechtsfiguur) hanya fiktif atau khayalan pendirinya. PTN-BH dituntut mandiri dan dapat menggunakan kekayaan negara yang dipisahkan, kecuali tanah, sebagai alat untuk mengejar tujuan dalam melakukan hubungan hukum.
Dengan kondisi demikian, PTN-BH harus mau konsisten secara rasional, harus mempunyai kemandirian pendanaan, tidak mendapatkan dana APBN, serta seluruh penyelenggara pendidikannya menganut monoisme status kepegawaian.
Dengan demikian, tidak ada dualisme atau bahkan multiisme status kepegawaian dalam suatu PTN-BH. Namun, pertanyaannya adalah apakah ada PTN yang mau dan mampu melakukan konsep badan hukum secara konsisten seperti itu? Pertanyaan ini perlu mengingat kurang jelasnya keterkaitan pemberian status badan hukum PTN dengan upaya mencapai tujuan negara dalam hal pendidikaan sesuai amanat preamble Undang-Undang Dasar 1945 alinea ke -4, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.
Status badan hukum untuk perguruan tinggi yang harus dipahami benar implikasinya karena berisiko pailit. Inilah konsekuensi hukum status kekayaan negara yang dipisahkan pada perguruan tinggi negeri badan hukum (PTN-BH). Lembaga semacam ini tidak lagi memiliki tujuan yang sama dengan tujuan bernegara. Dengan demikian, secara rasionalitashukum, tak ada lagi hubungan dinas publik (openbare dienstbetrekking) PTN-BH dengan keuangan negara.
Ini berarti PTN-BH tidak lagi memperoleh dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) karena APBN hanya untuk mencapai tujuan bernegara sebagaimana diatur Pasal 7 Ayat (1) UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara. Berarti PTN-BH kemungkinan akan menggunakan otonominya untuk mendapatkan pendanaan.
Salah satunya dengan cara mendirikan badan usaha komersial atau mendapatkan dana dari pihak ketiga yang justru akan memengaruhi sifat otonom PTN ke arah komersialisasi dan menjauhkan tujuan PTN untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan PTN-BH merupakan bentuk Privatisasi pendidikan tinggi yang berarti pengelolaannya terlepas dari kontrol pemerintah, baik tujuannya untuk mencari profit ataupun tidak. Dari privatisasi ini yang kemudian dijadikan landasan pihak universitas dalam menentukan kebijakan dalam kampus.
Oleh: Yakin Achmad/psi