RADARRIAUNET.COM - Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengatakan radikalisme muncul bukan karena agama. Aksi-aksi teror disebabkan karena adanya ketidakadilan dan kemiskinan.
"Kalau kita lihat sejarahnya di mana radikalisme kemudian menjadi terorisme, itu selalu bergandengan. Dimulainya oleh Al-Qaeda, kemudian sekarang ISIS. Al-Qaeda datang dari Afghanistan, ISIS datang dari Syria. Kesamaannya apa? Ketiganya adalah negara yang gagal," kata JK berbicara dalam International Meeting on Counter Terrorism (IMCT) and 2nd Counter Terrorism Financing Summit di Nusa Dua, Bali, Rabu (10/8/2016).
Teror di negara tersebut menurut JK selain karena masalah internal, juga dipicu invasi oleh negara-negara besar. Invasi yang merusak kehidupan warga menimbulkan kemarahan sehingga berujung dilakukannya aksi pembalasan dengan melakukan teror.
"Makanya banyak warga negara yang kehilangan harapan, masa depan, yang kemudian tidak tahu apa makna hidup lagi, dan marah. Itulah pemicu radikalisme, bukan agama. Agama memang menyatukan mereka, tapi bukan itu yang membuat mereka marah," imbuh dia.
JK mengatakan, aksi teror di sejumlah negara Eropa seperti di Belgia, Prancis menjadi contoh pembalasan yang dilakukan kelompok radikal. Kejadian itu sambungnya, harus menjadi evaluasi negara-negara dalam upaya menanggulangi terorisme dan menyelesaikan inti persoalan munculnya terorisme.
"Lihat root of the problemnya, bukan hanya bagaimana, tapi kenapa? Kalau kita lihat dan menyadarinya intinya kemarahan, maka akan jelas. Maka kita harus bersatu mengatasi asal-usul. Kita juga harus bersatu untuk menegakkan demokrasi yang betul dan bermanfaat. Kita juga harus mengatasi kemiskinan," imbuhnya.
Dia berharap negara-negara memahami pangkal masalah ini agar teror yang terjadi di dunia bisa diatasi. Negara-negara yang melakukan invasi juga harus memulihkan kondisi negara yang 'digempur'. "Karena itu maka kita bersatu di sini untuk melihat secara jernih permasalahannya. Jangan ada negara besar menginvansi negara-negara lain hanya dengan alasan tidak benar," sebutnya.
Yang perlu juga diperhatikan adanya pola-pola baru aksi teror. Teror di Nice, Prancis menjadi bukti para kelompok teror membuat pola baru agar pergerakannya tidak terdeteksi. "Kelompok radikal sama dengan pencuri, kadang lebih pintar dibanding polisi. Kalau dihalangi, mereka mencari cara yang lebih mudah lagi. Siapa yang mengira bakal pakai truk? Sebelumnya siapa yang mengira bakal pakai pesawat," sambung JK.
Selain itu perlu juga menangkal gerakan radikal yang dilakukan karena pemahaman yang salah. JK menyebut ada pelaku teror yang berani melakukan bom bunuh diri karena salah mengartikan ajaran agama. "Kita kenal teroris radikal, kemudian membunuh orang. Apa kemudian yang mau dicapai? Sederhana sekali, mereka ingin mencapai paradise. Intinya adalah shorcut paradise yang diajarkan," imbuhnya.
Sementara itu Menko Polhukam Wiranto dalam sambutannya mengatakan pertemuan IMCT yang dihadiri 140 peserta perwakilan dari 23 negara dan organisasi internasional seperti ASEAN, Interpol dan PBB diharapkan dapat meningkatkan kemampuan bersama mencegah terorisme utamanya mengatasi pergerakan teroris.
"Pertemuan sepakat bahwa terorisme lintas wilayah telah menjadi fenomena baru, ancaman global yang serius, dan harus segera diatasi dengan mekanisme kerjasama. Pertemuan ini melihat keterkaitan antara munculnya Foreign Terrorist Fighter sebagai bagian dari jaringan terorisme lintas negara dengan kondisi di Irak di suriah yang menjadi daerah konflik dan perebutan pengaruh. Pertemuan mencatat perlunya mencegah konflik itu menyebar ke daerah lain," papar Wiranto.
teu/kcm/radarriaunet.com