RADARRIAUNET.COM - Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono X, menggelar pertemuan dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua Laurenzius Kadepa dan perwakilan mahasiswa Papua di Yogya.
“Sultan menyarankan agar semua introspeksi. Orang Papua dan Yogya sama-sama introspeksi,” kata Laurenzius usai pertemuan di Kantor Gubernur DIY, Jumat (29/7).
Pertemuan, menurut pengurus Biro Politik Aliansi Mahasiswa Papua Roy Koroba, berlangsung dengan baik meski belum ada kesepakatan tertulis antara mahasiswa dengan Sultan.
Laurenzius berkata, dalam pertemuan itu, ia berterima kasih sekaligus menitipkan pesan dari masyarakat Papua kepada Sultan.
“Atas nama DPR Papua, saya mengapresiasi Sultan, sebab berkat Yogya, banyak warga Papua sudah jadi orang sukses di mana-mana. Saya juga berpesan ke Sultan, ‘Tolong jaga rakyat saya baik-baik, sebagaimana saya jaga rakyat Jawa di Papua dengan baik.’ Di Papua, banyak orang Jawa dapat posisi penting di pemerintahan maupun swasta, dan mereka dalam kondisi baik,” ujar Laurenzius.
Ia juga berpesan, “Atas nama ini, itu, atau NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) harga mati, tidak boleh rakyat saya jadi korban. NKRI harga mati bukan berarti rakyat sipil banyak mati.”
Sultan, menurut Laurenzius, merespons baik permintaan tersebut. “Sultan terima itu, dia berkata, ‘Saya jamin.’”
Terkait ucapan Sultan soal separatis, Laurenzius melihatnya sebagai nasihat orang tua. Sebelumnya, Sultan berkata bahwa mereka yang memiliki aspirasi separatisme tidak boleh tinggal di Yogya.
“Ucapan Sultan itu bahasa orang tua, nasihat. Tapi sikap mahasiswa (Papua) kan tidak bisa diintervensi. Itu hak mahasiswa karena mahasiswa adalah agen perubahan. Sesuatu yang mereka rasa buruk, mereka suarakan,” kata anggota Anggota Komisi I Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Politik, Pertahanan, Keamanan, dan Hubungan Luar Negeri DPR Papua itu.
Presiden Mahasiswa Papua DIY, Aris Yeimo, mengatakan meski ada pembatasan kegiatan politik, mahasiswa Papua tak akan berhenti menyuarakan aspirasi mereka.
“Kami tetap mahasiswa, datang belajar sambil berjuang,” kata Aris yang ikut berbincang dengan Sultan.
Untuk saat ini usai berbicara dengan Sultan, ujar Aris, Aliansi Mahasiswa Papua akan melihat perkembangan situasi lebih dulu.
“Sultan berkata, dia menjamin kami di Yogya, cuma tidak mengeluarkan perjanjian tertulis. Sultan juga menyampaikan, akan menegur ormas reaksioner dan meminta Polda untuk tidak lagi melakukan pengepungan,” kata Aris.
Maka sementara ini mahasiswa Papua akan tetap belajar dan beraktivitas Yogya seperti biasa. Jika ternyata perilaku rasialis masih mereka terima dalam waktu dekat, ujar Aris, barulah mereka akan melakukan eksodus seperti yang telah disiapkan.
“Sebab kami mahasiswa Papua di Yogya, dan masyarakat Papua di seluruh dunia, merasa sakit menerima perlakuan rasis,” kata Aris.
Menurutnya, rekan-rekan mahasiswa dan beberapa kampus di Papua telah siap menerima seluruh mahasiswa Papua di Indonesia jika eksodus dilaksanakan.
“Mereka sudah buat posko di Papua. Kami sudah bangun koordinasi se-Jawa, Bali, Makassar, Manado, untuk semua pulang ke Papua jika ancaman terhadap kami tak juga hilang. Jika eksodus terjadi, istilahnya akan ada eksodus barter. Kami pulang, mahasiswa asal sini yang ada di sana kembali ke sini,” kata Aris.
Mahasiswa Papua, tegas Roy, tak punya masalah dengan warga Yogya. “Kami dengan masyarakat baik, termasuk warga Miliran di sekitar asrama. Cuma ada pihak tertentu yang menyebarkan opini negatif tentang Papua, dan direspons oleh sekelompok orang.”
Roy sadar stigma buruk menjadi persoalan serius warga Papua di Yogya. “Kami disebut sering rusuh, buat onar, minum-minum. Kami tak pungkiri ada kawan kami seperti itu, tapi jangan dipukul rata ke semua mahasiswa Papua, karena akhirnya teman-teman kami yang lain jadi korban.”
Oleh sebab itu pertemuan dengan Sultan hari ini diharapkan membawa angin segar. “Intinya kami tetap jaga Yogya istimewa,” kata Aris.
Persoalan mahasiswa Papua di Yogya mencuat ketika polisi mengepung asrama mereka pada 15 Juli. Ketika itu mahasiswa Papua yang tergabung dalam Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Papua Barat berencana melakukan long march dari depan asrama mereka di Jalan Kusumanegara, ke Titik Nol KM di Jalan Panembahan Senopati.
Long march batal karena polisi mengepung asrama dan mendorong para mahasiswa Papua masuk ke dalam. Menurut polisi, mereka hendak mengamankan mahasiswa Papua dari ormas-ormas antiseparatis yang datang untuk menentang rencana long march para mahasiswa itu.
Long march tersebut merupakan bagian dari aksi damai guna mendukung Gerakan Pembebasan Papua menjadi anggota penuh Melanesian Spearhead Group. Dalam MSG yang beranggotakan pemerintah negara-negara Melanesia di Pasifik Selatan itu, Indonesia dan Gerakan Pembebasan Papua berebut dukungan.
Gerakan Pembebasan Papua mengincar keanggotaan penuh di MSG untuk memuluskan penyampaian aspirasi mereka terkait isu Papua. Niat tersebut ditentang Indonesia yang tak menghendaki Papua memisahkan diri.
Insiden di asrama Papua diperkeruh dengan dugaan pelanggaran HAM oleh ormas-ormas intoleran dan aparat keamanan. Para anggota ormas melontarkan nama-nama binatang dan kata-kata rasialis, sedangkan aparat yang mengaku hendak mencegah bentrokan antara mahasiswa Papua dengan ormas, menangkapi para mahasiswa Papua di luar asrama yang hendak masuk ke dalam.
cnn/radarriaunet.com