RADARRIAUNET.COM - Pemutaran dan diskusi film berjudul Pulau Buru Tanah Air Beta di Kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Jawa Tengah, Rabu (8/6), berlangsung tegang. Diduga mendapat tekanan dari pihak TNI dan Polri, pengelola kampus nyaris akan menghentikan acara tersebut.
Ketegangan terjadi saat Wakil Rektor UIN Walisongo, Suparpan Syukur, datang dan menemui panitia penyelenggara yang terdiri dari mahasiswa dan aktivis penggiat sejarah Semarang.
Suparpan datang tatkala pemutaran film telah berjalan. Dengan nada tinggi, ia meminta panitia menghentikan acara tersebut. Ia menganggap panitia tidak memegang izin dari pengelola Kampus.
"Ini kok tidak ada komunikasi, padahal pemerintah kota sudah tidak mengizinkan. Di tingkat pimpinan, ramai ini, termasuk disorot oleh aparat," kata Suparpan ke panitia pemutaran film.
Beberapa mahasiswa yang berstatus panitia pun membantah tudingan Suparpan. Mereka menunjukkan surat izin yang diterbitkan Fakultas Tarbiyah selaku pengelola tempat pemutaran film.
"Sebentar pak, jangan marah-marah, tidak perlu panik. Ini kami ada surat izin dari fakultas. Kalau soal aparat, kami sudah berkoordinasi, dan kami jamin tidak akan melanggar," ujar Gofar, panitia dari mahasiswa.
Setelah sempat adu pendapat, otoritas rektorat akhirnya memperbolehkan panitia melanjutkan pemutaran film. Suasana yang semula tegang mencair, meski tetap dalam pantauan puluhan personel Polri dan TNI berpakaian preman.
Selain pemutaran film Pulau Buru Tanah Air Beta, acara bertajuk Tadarus Gerakan itu juga berisi diskusi yang menghadirkan Eko Sutikno, seorang eks tahanan politik yang dibuang pemerintah Orde Baru ke Pulau Buru, serta penggiat sejarah, Yunantyo Adi.
"Diskusi seperti ini tidak mungkin membangkitkan PKI. Kami hanya ingin tahu apa yang terjadi. Generasi muda harus tahu sejarah masa lalu bangsanya. Pemerintah tidak perlu khawatir," kata Yunantyo.
Senada dengan Yunantyo, Eko juga berkata, PKI tidak akan bangkit di era kekinian. Ia juga berjani tidak akan mengungkit luka lama yang dapat merangsang dendam generasi penerus.
Bagi Eko, hal terpenting dalam pembahasan Tragedi 1965 adalah kesetaraan hak, seperti mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak untuk seluruh keturunannya.
"PKI bangkit sudah tidak mungkin bangkit. Pulau Buru sudah menjadi masa lalu, tapi cerita, kenangan dan sejarahnya tetap tersimpan," ujar Eko.
Di beberapa kota, pemutaran film karya Rahung Nasution itu mendapat penolakan dari sejumlah kelompok masyarakat. Tidak sedikit dari acara itu akhirnya batal digelar.
cnn/radarriaunet.com