Tantangan NU Pasca-Muktamar Jombang

Administrator - Sabtu, 08 Agustus 2015 - 00:44:11 wib
Tantangan NU Pasca-Muktamar Jombang
Dok: RR

Oleh: M Zaki Mubarak

Sesaat setelah terpilih sebagai Ketua Tanfidziah dalam Muktamar ke-33 NU di Jombang, Said Aqil Siradj menjanjikan rekonsiliasi terhadap mereka yang tidak puas. Tapi, untuk bisa terwujud, tampaknya tidaklah gampang.

Tak hanya menangapinya dengan dingin, tetapi sejumlah wilayah dan cabang NU malah mengancam mengajukan gugatan ke pengadilan untuk membatalkan seluruh hasil muktamar yang mereka anggap tidak sah.

Muktamar yang memilih kembali Said Aqil Siradj sebagai Ketua Tanfidziah, dan Kiai Ma'ruf Amin sebagai ketua Dewan Syuro (2015-2020) perlu siap dengan berbagai tantangan berat ke depannya.

Said Aqil berhasil mengalahkan As'ad Ali (wakil ketua PB NU). Pada saat yang sama lebih dari seratus perwakilan wilayah dan cabang NU yang hadir memilih berkumpul di Pesantren Tebu Ireng, tidak menggunakan hak pilihnya.

Memang banyak yang menilai muktamar Jombang ini berjalan mulus, tapi faktanya justru terlihat sebaliknya; penuh dengan gejolak. Banyak yang membandingkan muktamar NU Jombang tahun 2015 dengan muktamar ke-29 NU di Pesantren Cipasung pada 1994 yang melahirkan NU tandingan yang dipimpin Abu Hassan. Saat itu Abdurrahman Wahid atau Gus Dur berhasil mengalahkan rivalnya, Abu Hassan yang didukung pemerintah.

Bagi yang intens mencermati dinamika politik kaum nahdliyyin, akhir dari drama Muktamar ke-33 NU di Jombang sebenarnya tidak begitu mengejutkan. Jika dibandingkan dengan muktamar sebelumnya, di Kediri pada 1999, di Boyolali 2004, dan di Makassar pada 2010, muktamar di Jombang berjalan dengan keras dan sedikit kasar. Aroma ke arah itu sebetulnya sudah tercium.

Serangkaian kegiatan pramuktamar, termasuk Munas NU Juni lalu yang memutuskan penerapan ahlul hal wal aqdi (AHWA) untuk memilih ketua, memunculkan kritikan keras. Sebagian menilai kemunculan AHWA sebagai manuver dengan berbagai tendensi politik, menelikung calon yang akan berkompetisi dengan incumbent.

Saling serang pun terus berlangsung. Muktamar Jombang menjadi klimaksnya. Dengan bumbu-bumbu yang seram seperti isu 'penculikan' kiai dan sejumlah peserta, politik uang, rencana muktamar tandingan, muktamar yang penuh kemelut yang lalu menjadi headline di mana-mana. Tapi, bagi penulis, gambaran tentang Muktamar NU di Jombang tidaklah hitam putih.

Pada aspek politik, memang banyak kritik yang pedas serta ketidakpuasan. Tapi, sejumlah dinamika lain muktamar menyodorkan lebih banyak sisi-sisi yang lebih optimistik bagi masa depan NU.

Dalam perbincangan dengan beberapa muktamirin, salah satu kritik yang sering dilontarkan terhadap kepemimpinan NU 2010-2015 adalah kegagalannya menjaga khittah NU di ranah politik. Tidak sedikit yang sinis menilai sejumlah elite menjadikan NU ini sebagai dagangan politik untuk kepentingan sesaat.

Suara-suara itu terdengar cukup nyaring. Ada sentilan NU terlalu disetir Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), agenda yang tidak membawa kemanfaatan bagi jamiyyah itu sendiri, tetapi jangka panjangnya justru merugikan.

PKB sendiri tentunya menyangkal tuduhan itu. Dalam Pilpres 2014 lalu, sejumlah elite NU juga sibuk menarikan gendang politik dengan 'menebeng' pada organisasi. Ketua Tanfidziah Said Aqil Siradj, tampaknya tahu betul kritikan itu. Pada muktamar Jombang ia menjanjikan akan membawa NU menjaga jarak dari politik praktis. Meski bagaimana caranya, tidak disampaikan dengan jelas.

Selain NU sendiri yang harus menjaga jarak, PKB yang kelahirannya dibidani para tokoh NU secara moral juga dituntut untuk tidak 'menjebak' NU. Sebagai partai yang mengedepankan sikap inklusif, PKB perlu bersikap kreatif membangun basis politiknya secara lebih plural. Tidak usah menarik-narik NU dalam agenda setting politiknya.

Demikian halnya dengan sejumlah politisi PPP yang terus saja memberi iming-iming. Dengan begitu proses menjaga NU supaya tidak jatuh dalam politik praktis, menjadi tugas bersama semua kader NU, termasuk para politisinya. NU harus dijaga dengan mempertahankan khitah dan berdiri di atas semua golongan.

Peran kaum muda nahdliyyin tampak lebih menonjol jika dibanding dalam banyak muktamar sebelumnya. Bersamaan dengan muktamar, di tempat yang sama berlangsung pula musyawarah kaum muda NU.

Anak-anak muda NU ini membahas berbagai tema-tema penting soal bagaimana membangun jejaring kaum muda NU, Islam ahlussunah wal jamaah (aswaja) dan persaingan ideologi dunia, penguatan advokasi terhadap rakyat, serta tata kelola organisasi NU.

Muncul perdebatan kritis terkait dengan khitah NU terutama dalam kaitan politik praktis. Banyak disuarakan perlunya kontekstualisasi khitah NU 1926 untuk merespons perkembangan sosial politik yang telah berubah. Pengalaman pemilu legislatif dan Pilpres 2014 lalu menjadi contoh telanjang bagaimana khitah NU dalam politik telah jatuh ke titik paling nadir.

Pada forum bahtsul masa'il yang merupakan tradisi intelektual NU untuk menjawab soal-soal aktual umat dan bangsa, berbagai pemikiran brilian bermunculan meski pada akhirnya hanya terdengar sayup-sayup saja sedikit tergeser dengan isu perebutan ketua tanfidziah dan Dewan Syuro.

Tentang BPJS, bahtsul masa'il NU dengan argumentasi fiqhnya mementahkan pernyataan MUI yang sempat memberi fatwa haram. Selain itu, bahtsul masail juga memutuskan tidak bolehnya advokat membela klien yang sudah jelas kesalahannya, pengharaman terhadap pemimpin yang ingkar janji, bolehnya hukuman mati bagi koruptor, serta mengkritisi pilkada langsung dan serentak yang berpotensi membawa efek negatif bagi masyarakat.

Dengan melihat dinamika adu gagasan di bahtsul masa'il yang sangat hidup, dan peranan anak-anak muda NU yang sangat menonjol, tradisi intelektual di kalangan NU tampak jelas masih bersinar.

Setelah Muktamar Jombang ini, masyarakat berharap NU berhasil mengatasi perselisihan dan konflik yang terjadi. Dengan umur dan pengalaman yang panjang bergulat dengan masalah kebangsaan mestinya menjadi bekal bagi NU mampu mengelola perbedaan.

Said Aqil terpilih telah mencanangkan beberapa program mulai dari memperkuat bidang pendidikan, revitalisasi aset NU, menjadikan NU organisasi modern, dan memperkuat kegiatan NU di level akar rumput.

Warga nahdliyyin di seluruh Nusantara menunggu seluruh elite NU untuk mampu bersinergi, dengan menyisihkan hal-hal yang sepele, dan fokus pada kerja-kerja substansial yang membawa manfaat bagi umat dan bangsa.

Dengan masalah-masalah strategis yang telah menanti, sikap saling menghargai dan kerja sama menjadi dasar penting bagi keberhasilan organisasi ini. Sehingga mampu menjadi teladan bagi yang lain.

Penulis: Dosen Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta