RADARRIAUNET.COM - Anggota Komisi V DPR RI Damayanti Wisnu Putranti buka-bukaan soal kasus suap di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) di Maluku. Di pengadilan Tipikor, Damayanti mengungkapkan bahwa setiap anggota mendapatkan Rp 50 miliar, sedangkan Kapoksi mendapat Rp 100 miliar, belum tahu pimpinan mendapatkan berapa.
Menanggapi hal tersebut Wakil Ketua DPR Fadli Zon kaget. "Setiap anggota? Yang benar saja. Saya tidak tahu, dia kan menyatakan, ya dia tunjukkan siapa orangnya, bagaimana caranya. Saya enggak tahu juga," kata Fadli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (12/4). Politikus Gerindra ini berharap agar Damayanti membuktikan tudingannya.
Namun jika hal tersebut ada, menurut Fadli memang pelanggaran berat. "Wah ya jelas itu korupsi dong. Melanggar peraturan," tuturnya. Sejauh ini menurut Fadli, pimpinan DPR selalu mengimbau agar anggota dewan tidak memakan uang proyek atau korupsi. Namun dia sendiri mengakui jika masih banyak celah bagi anggota dewan untuk korupsi.
"Kita kan selalu sudah mengimbau, saya kira sistemnya sudah dibuat. Tapi kan kadang-kadang sulit yah untuk mencegah kalau ada individu-individu. Tapi kalau secara sistemik saya kira tidak ada. Enggak mungkin dilakukan kalau tidak ada kerjasama dengan pihak eksekutif," terangnya.
Sebagaimana ramai diberitakan media dalam Kasus yang menjerat Damayanti, KPK juga turut memeriksa Wakil Ketua Komisi V Yudi Widiana. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Wakil Ketua Komisi V DPR, Yudi Widiana terkait suap proyek di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat tahun anggaran 2016. Politikus PKS itu akan dimintai keterangannya untuk tersangka anggota Komisi V dari fraksi PDI Perjuangan, Damayanti Wisnu Putranti.
"(Yudi Widiana) Diperiksa sebagai saksi untuk tersangka DWP (Damayanti Wisnu Putranti)," kata Pelaksana Harian Kabiro Humas KPK, Yuyuk Andriati, Selasa (12/4). Seperti diketahui, Jumat (15/1) KPK melakukan penggeledahan di ruang kerja anggota komisi V DPR terkait kasus gratifikasi proyek jalan di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Kasus ini menyeret Damayanti Wisnu Putranti anggota komisi V DPR Fraksi PDIP.
Dalam penggeledahan itu sempat terjadi ketegangan antara wakil ketua DPR, Fahri Hamzah dengan penyidik KPK. Fahri keberatan penggeledahan yang dilakukan KPK diamankan oleh Brimob bersenjata lengkap. Menurutnya tidak pantas pengamanan di gedung DPR menggunakan laras panjang. Saat komisi III menggelar rapat kerja dengan Polri di kompleks parlemen, Bambang Soesatyo anggota komisi III menyampaikan keberatannya.
"Sementara di DPR kami tidak ada yang bawa senjata. Senjata kami adalah mulut dan hati. Kalau ada kekhawatiran kehilangan alat bukti, ruangan itu sudah disegel KPK line sehari sebelumnya," ujar pria akrab disapa Bamsoet di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (25/1).
Damayanti sebut banyak anggota Komisi V DPR terima suap proyek jalan
Anggota Komisi V DPR RI Damayanti Wisnu Putranti mulai buka-bukaan soal kasus suap pembangunan jalan proyek Kemenpupera yang melibatkan dirinya. Menurut politikus PDIP ini, duit suap tersebut juga dibagikan kepada anggota Komisi V DPR lainnya. Damayanti mengatakan, anggota Komisi V dalam program aspirasi pembangunan jalan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) di Maluku mendapatkan jatah (fee) dari Kepala Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) IX Maluku dan Maluku Utara Amran Mustary.
"Pak Amran inilah yang menentukan jatah kami. Pak Amran sudah menyampaikan pada kami akan mendapatkan fee masing-masing yang sudah disepakati. Saya dapat sekitar Rp 2,4 Miliar," kata Damayanti saat bersaksi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (11/4).
Dia menyebutkan, nominal jatah (fee) yang telah ditentukan tersebut berdasarkan kesepakatan komisi V dan Kementerian PU-Pera. Namun penentuan nominalnya pun ditentukan oleh Amran dan besarnya nominal jatah tersebut berbeda-beda tergantung dari tingkatannya. Setidaknya, anggota DPR dapat 6 persen dari total nilai proyek tersebut.
"Pak Amran, Kepala Balai yang menentukan. Nilai nominalnya itu merupakan hasil nego antara pimpinan Komisi V dan Kementerian PU-Pera. Sehingga masing-masing anggota dapat jatah maksimal Rp 50 (miliar total proyek), kapoksi (kepala kelompok fraksi) maksimal Rp 100 (miliar total proyek), untuk pimpinan saya kurang tahu," kata dia, saat bersaksi untuk terdakwa Abdul Khoir, di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.
Pembicaraan mengenai nominal jatah tersebut, dia mengakui sudah terjadi sejak pertemuan ketiga bersama Amran dan pihak lainnya. "Sudah ada empat kali pertemuan ini. Dalam pertemuan kedua juga ada Abdul Khoir di Hotel Ambhara. Sedangkan pertemuan pertama belum ada pembicaraan mengenai program aspirasi pembangunan jalan di Maluku. Bahkan besaran anggarannya pun belum dibahas," ucapnya.
Dia menjelaskan, dalam pertemuan kedua Amran telah membawa data tentang daftar nama jalan yang hendak dibangun di Maluku. Namun menurut dia, pada pertemuan kedua tersebut belum ada membahas mengenai nominal jatah (Fee) untuk pembangunan proyek tersebut. "Pertemuan kedua ini masih di bulan Oktober 2015. Pertemuan itu masih di Ambara Hotel. Saat itu, Amran datang membawa stafnya, di situ sudah ada daftar nama-nama jalan. Tapi belum ada nominal dan belum ada kode. Saya lihat untuk judul saya Jalan Teherulaemo. Sedangkan yang menentukan jalan itu Amran, yang lain juga begitu, tidak tahu nama jalannya," tuturnya.
Sementara pada pertemuan ketiga, dia mengatakan, Amran telah membawa data yang lebih lengkap yaitu nama jalan, kode dan nominal fee yang akan didapatkan anggota Komisi V DPR. "Pada pertemuan ketiga di situ dilihatkan juga Pak Amran bawa data lagi lebih komplit di situ ada judul nama jalan, nominal dan kodenya. Saya kodenya 1-E, maksudnya PDIP itu satu, E-nya saya tidak tahu. Jumlah kursi di DPR PDIP nomor 1, dan Golkar nomor 2. Saya lihat untuk judul saya dapat Jalan Toheru-Laemo," katanya.
Pada pertemuan ketiga inilah kata Damiyanti, pengerjaan pembangunan jalan diserahkan kepada Abdul Khoir selaku pengusaha PT Windhu Tunggal Utama yang akan jadi kontraktor jalan. "Pertemuan keempat Amran Mustary memerintahkan Abdul Khoir menyelesaikan pembayaran fee kepada anggota Komisi V yang ditunjuk oleh Amran melaksanakan program aspirasi pembangunan jalan. Saat pertemuan keempat ini Amran sampaikan ke Abdul, 'Dul ini untuk judul yang sudah firm kepemilikannya tolong diberesin untuk diserahkan ke masing-masing. Dibayarkan ke masing-masing," ucapnya.
Atas perbuatannya, Abdul didakwa melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Kasus suap Damayanti, pejabat Kemen PUPR & Bina Marga dipanggil KPK
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil beberapa pejabat dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat untuk diperiksa sebagai saksi dengan tersangka Damayanti Wisnu Putranti (DWP). Keduanya akan dimintai keterangan terkait dugaan suap proyek jalan Pulau Seram yang dikerjakan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat."Iya, diperiksa sebagai saksi untuk tersangka DWP untuk kasus TPK penerimaan hadiah terkait proyek di kementerian PUPR tahun 2016," kata Pelaksana Harian Kabiro Humas KPK, Yuyuk Andriati, Kamis (31/3). Total ada lima saksi yang dipanggil hari ini oleh penyidik. Di antaranya ada Taufik widjoyono Sekjen Kementerian PUPR, Soebagiono Direktur, Pengembangan Jaringan Jalan Ditjen Bina Marga Kementerian PUPR, Hediyanto W Husaeni, Dirjen Bina Marga, Hasanudin Kepala Biro Perencanaan dan Anggaran PU,
terakhir Jullia Prasetyarini, agen asuransi Allianz insurance life sekaligus tersangka dalam kasus ini.
Untuk Hediyanto, ini adalah pemanggilan kedua. Sebelumnya dia absen dalam pemeriksaan dengan alasan pekerjaan. Pantauan awak media seluruh saksi telah hadir di Gedung KPK dengan mengenakan kemeja panjang putih, sayangnya tidak ada satupun yang mau memberikan komentar saat dicecar pertanyaan oleh para awak media. Kasus ini terungkap setelah, KPK melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) di sejumlah tempat berbeda pada Januari lalu. Dalam operasi tersebut, KPK mengamankan 6 orang. Namun KPK membebaskan 2 orang sopir karena tidak terbukti melakukan unsur pidana, kemudian sisanya resmi ditetapkan tersangka setelah melakukan pemeriksaan hampir 24 jam.
Keempat tersangka adalah Damayanti Wisnu Putranti anggota momisi V DPR RI fraksi PDIP, Julia Prasrtyarini atau Uwi dan Dessy A. Edwin, dari pihak swasta yang menerima suap sedangkan Abdul Khoir selaku Dirut PT Windu Tunggal Utama (WTU) sebagai pemberi suap. Selain itu pula KPK mengamankan SGD 99.000 sebagai barang bukti. Atas perbuatannya, Damayanti, Julia, dan Dessy disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHPidana.
Sementara Abdul Khoir dikenakan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun dalam pengembangan kasus KPK juga menetapkan Budi Supriyanto (BSU) sebagai tersangka, Rabu (2/3), lantaran diduga menerima uang panas proyek jalan tersebut. Penetapan Budi sebagai tersangka dengan surat perintah penyidikan (Sprindik) tertanggal 29 Februari.
Sama halnya dengan Damayanti, Dessy dan Julia, Budi disangkakan Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHPidana.
mdkc/ alex harefa