RADARRIAUNET.COM - Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Abraham Lunggana alias Lulung berkelit saat ditanya perihal instansinya yang ikut meloloskan pembelian sebagian lahan Rumah Sakit Sumber Waras pada APBD Perubahan 2014.
"Makanya itu yang saya agak heran," kata Lulung dalam diskusi di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (16/4/2016).
Lulung mengaku sudah dimintai keterangannya oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) perihal ini. Saat itu, penyidik BPK bertanya kepada Lulung, apakah dia mengetahui tentang adanya surat elektronik atau email dari Pemprov DKI Jakarta untuk Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tentang APBD-P 2014 pada 14 Agustus 2014.
Kasus Sumber Waras ini seakan - akan berputar - putar opini yang dimainkan oleh para politikus. Berikut ini Redaksi ungkapkan berbagai permainan opini dari kasus Sumber Waras.
1. Permainan Opini Tentang Alamat
Ketua BPK Harry Azhar Aziz menegaskan pihaknya mempunyai bukti-bukti yang kuat untuk menentukan NJOP lahan RS Sumber Waras berdasarkan Jalan Tomang Utara, bukan Jalan Kiai Tapa yang lebih mahal. Jika Pemprov DKI membeli lahan RS Sumber Waras dengan NJOP Jalan Kiai Tapa, kata Harry, maka itu bisa merugikan keuangan negara.
"Kita membeli dengan harga Mercy tapi yang didapat Bajaj, wajar nggak itu, merugikan negara nggak itu," kata Harry.
Menurut Ahok, penentu alamat dalam sertifikat RS Sumber Waras adalah BPN. Sesuai alamat sertifikat itu alamat RS Sumber Waras adalah di Jalan Kiai Tapa. "Cukup sudah.
Ketua BPK Soal Lahan RS Sumber Waras: Jl Kiai Tapa Mercy, Tomang Utara Bajaj
Badan Pemeriksa Keuangan tetap berpandangan bahwa nilai jual objek pajak (NJOP) lahan di Rumah Sakit Sumber Waras mengacu pada Jalan Tomang Utara.
Ketua BPK Harry Azhar Aziz menegaskan pihaknya mempunyai bukti-bukti yang kuat untuk menentukan NJOP lahan RS Sumber Waras berdasarkan Jalan Tomang Utara, bukan Jalan Kiai Tapa yang lebih mahal.
"Pemeriksa kita memeriksa berdasarkan ketentuan, dan menurut undang-undang yang ada, dengan penghitungan dari Badan Pertanahan, dengan bukti-bukti yang kuat," kata Harry kepada wartawan di kantor Direktorat Jenderal Pajak, jalan Gatot Subroto, Jakarta, Jumat (15/4/2016). Harry berada di kantor Ditjen Pajak untuk memasukkan nama perusahaannya yang terungkap tercantum dalam Dokumen Panama.
Menurut Harry, antara Jalan Kiai Tapa dan Jalan Tomang Utara sangat jauh berbeda dari sisi harga. Dia mengibaratkan Jalan Kiai Tapa itu kawasan luks. Adapun Jalan Tomang Utara sebaliknya. "Kiai Tapa itu daerah luks, mungkin samalah dengan Mercy, dan Tomang Utara itu seperti Bajaj," beber mantan politisi Golkar itu.
Jika Pemprov DKI membeli lahan RS Sumber Waras dengan NJOP Jalan Kiai Tapa, kata Harry, maka itu bisa merugikan keuangan negara.
"Kita membeli dengan harga Mercy tapi yang didapat Bajaj, wajar nggak itu, merugikan negara nggak itu," kata Harry.
Dia pun menyarankan pihak-pihak yang tak puas dengan audit BPK tersebut untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tak mau lagi menanggapi klaim BPK yang mengaku menemukan kerugian negara dalam pembelian RS Sumber Waras. Dia menegaskan bahwa Pemprov DKI hanya menetapkan NJOP, sementara zonasi ditentukan oleh pemerintah pusat.
Menurut Ahok, penentu alamat dalam sertifikat RS Sumber Waras adalah BPN. Sesuai alamat sertifikat itu alamat RS Sumber Waras adalah di Jalan Kiai Tapa. "Cukup sudah. Jadi jangan lagi cari-cari alasan yang lain, sesuai temuan Anda (BPK) kan mengatakan kerugian. Kalau nggak mau ya sudah bawa ke pengadilan. Kita (Pemprov DKI) sudah ikuti undang-undang," kata Ahok, Jumat (15/4) pagi. (DETIK)
Sementara Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jakarta Barat Sumanto mengatakan, lahan RS Sumber Waras berada di Jalan Kiai Tapa, Grogol, Jakarta Barat. Alamat tersebut sesuai dalam sertifikat BPN tahun 1968 nomor 2787.
"Sesuai dengan dengan sertifikat, tanah berada di RT 10 RW 10, Kelurahan Tomang, bukan Jalan Tomang," kata Sumanto pada Metrotvnews.com, di Kembangan, Jakarta Barat, Jumat (15/4/2016).
BPN: Sumber Waras di Jalan Kiai Tapa
Lokasi lahan Rumah Sakit Sumber Waras menjadi polemik. Sebab, perbedaan alamat menentukan besaran Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang berujung pada kerugian uang negara.
Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) menilai lahan itu berada di Jalan Tomang, sedangkan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama meyakini lahan itu ada di Jalan Kiai Tapa.
Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jakarta Barat Sumanto mengatakan, lahan RS Sumber Waras berada di Jalan Kiai Tapa, Grogol, Jakarta Barat. Alamat tersebut sesuai dalam sertifikat BPN tahun 1968 nomor 2787.
"Sesuai dengan dengan sertifikat, tanah berada di RT 10 RW 10, Kelurahan Tomang, bukan Jalan Tomang," kata Sumanto pada Metrotvnews.com, di Kembangan, Jakarta Barat, Jumat (15/4/2016).
Menanggapi polemik yang sedang berlangsung, Ia menjelaskan, acuan prosedur pengadaan lahan harus mengacu pada Perpres 40 Tahun 2014. Dalam Pasal 121 tertulis, demi efiensi dan efektivitas, pengadaan pembelian di bawah lima hektare bisa langsung dilakukan antara instansi yang memerlukan dan pemilik tanah.
Sementara, BPK masih mengacu pada Perpres Nomor 71 Tahun 2012 yang merujuk pada perencanaan, pembentukan tim, penetapan lokasi, studi kelayakan, dan konsultasi publik.
"Pengadaannya tahun 2014, ya harus diperlakukan dengan Perpres yang terbaru. Kalau yang lama kan sudah tidak dipakai," ujarnya.
Sumanto mengatakan, tidak menutup kemungkinan satu lahan memiliki dua NJOP. Hal itu lantaran, satu lahan berada dalam dua lokasi yang bersamaan.
Seperti RS Sumber Waras, satu sisi berada di Jalan Kiai Tapa sementara beberapa bagian bangunan berada di Jalan Tomang Utara, Jakarta Barat. Besaran NJOP berdasar Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
"Pertanyaannya, lahan RS Sumber Waras itu punya SPPT PBB satu atau beberapa?. Kalau ada satu berarti besaran NJOP yang dipakai selama ini Kiai Tapa," kata Sumanto.
Ia melanjutkan, bila RS Sumber Waras memiliki dua STTP PBB, besar kemungkinan memiliki dua NJOP sesuai dengan STTP PBB masing-masing lahan.
Kepala Dinas Pendapatan Daerah DKI Jakarta Agus Bambang Setiowidodo menegaskan, RS Sumber Waras hanya memiliki satu STTP PBB. "Cuma ada satu dari dulu, emang mau pakai STTP yang mana lagi," kata Agus.
Sebelumnya, Kepala Direktorat Utama Perencanaan Evaluasi dan Pengembangan Pemeriksaan Keuangan Negara BPK RI Bahtiar Arif mengatakan, pembelian tanah oleh Pemprov DKI mengakibatkan kerugian daerah sebesar Rp191,33 miliar. Padahal, pihaknya telah merekomendasikan Pemprov DKI membatalkan pembelian tanah itu.
Pemprov DKI Jakarta membeli tanah RS Sumber Waras dari pihak YKSW dengan NJOP sekitar Rp20 juta per meter per segi. Menurut BPK, NJOP tanah RS Sumber Waras hanya Rp 7 juta per meter per segi.
Total anggaran yang dikeluarkan Pemprov DKI Jakarta sesuai NJOP, yakni Rp 800 miliar. Sesuai hasil appraisal, nilai pasar lahan tersebut per 15 November 2014 Rp 904 miliar. Artinya, nilai pembelian Pemprov DKI Jakarta di bawah harga pasar.
2. Permainan Opini Tentang NJOP
Karena BPK menganggap RS Sumber Waras di Jalan Tomang maka seharusnya memakai NJOP Jalan itu yang Rp 7 juta per meter persegi.
Tetapi Kenyataannya Ahok memakai NJOP Jalan Kiai Tapa Rp 20.755.000 permeter
Dokumen 'Telanjangi' Permainan Nakal Ahok Soal NJOP Sumber Waras
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah menyerahkan hasil audit investasi pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada awal Desember 2015 lalu. Dalam temuannya, BPK menyebut Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) bersalah dalam pembelian lahan 3,6 hektare RS Sumber Waras sebesar Rp 755 Miliar. Menurut BPK, dalam proses pembelian lahan tersebut setidaknya terdapat enam penyimpangan yang tidak sesuai dengan aturan. Poin yang menurut BPK paling fatal adalah terkait Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) RS Sumber Waras yang mencapai Rp 20.755.000 per meter. Padahal versi BPK, seharusnya NJOP untuk tanah yang berlokasi di jalan Tomang Utara itu hanya Rp 7.440.000.
Namun, versi berbeda disampaikan oleh Pengamat Kebijakan Publik, Amir Hamzah. Sebagai perwakilan masyarakat yang juga telah melaporkan Ahok ke KPK pada Agustus 2014.
Kepada Teropong Senayan, Amir mengaku akan mencoba mengikuti alur berfikir Ahok sembari akan menelanjangi konspirasi jahat yang direncanakan Ahok sejak awal memaksa loloskan mega proyek RS Sumber Waras ke dalam APBD perubahan 2014.
Amir mengaku memiliki semua bukti dokumen dan kronologis lengkap terkait konspirasi jahat Ahok dengan sang pemilik lahan ketua yayasan kesehatan RS Sumber Waras, Kartini Mujadi, khususnya dalam menentukan NJOP.
"Soal NJOP, ada keanehan yang cukup fundamental. Ya beginilah kalau sejak awal memang proyek ini dipaksakan. Sehingga semuanya penuh rekayasa," kata Amir sembari menunjukkan setumpuk document rekayasa Ahok, di Jakarta, Sabtu (2/1/2015).
Menurut dia, setelah beberapa kali Ahok melakukan pertemuan dengan Kartini Muljadi. Tepat pada tanggal 8 Juli 2014, Ahok sudah menyetujui harga yang ditawarkan pihak yayasan RS Sumber Waras dengan NJOP sebesar Rp 20.755.000, tanpa melalui prosedur yang semestinya.
"Ingat, yang menentukan NJOP itu bukan Ahok. Tapi harus Dinas Penilaian Pajak Pemrov DKI sebagai pelaksana kebijakan keuangan daerah," papar Amir.
Namun, Amir menjelaskan, berdasarkan document yang ada, Kepala Dinas Kesehatan DKI baru mengajukan surat Permohonan Keterangan NJOP Tanah Yayasan Kesehatan Sumber Waras bernomor: 10173/-1.711.62 kepada Kepala Dinas Pelayanan Pajak Provinsi DKI Jakarta pada tanggal 16 Desember 2014.
"Tetapi anehnya, sebelum surat jawaban dari Dinas Pelayanan Pajak keluar, tepatnya pada tanggal 17 Desember 2014, antara Kepala Dinas Kesehatan DKI, dr. Dien Emawati dan Ketua Yayasan Kesehatan RS Sumber Waras, Kartini Muljadi sudah terjadi akte pelepasan hak dengan harga 20,755.000, dan itu dilakukan di depan notaris.
Padahal, lanjut Amir, surat jawaban dari Kepala Dinas Pelayanan Pajak baru keluar pada tanggal 29 Desember 2014. "Meskipun memang isinya menyatakan NJOP itu sebesar 20,755.000," terang Amir.
"Ini jelas ada upaya pengkondisian yang sistematis, meski realisasinya amburadul. Jadi, surat dari Dinas Penilaian Pajak itu, saya menduga, si Kepala Dinas Pelayanan Pajak mengeluarkan surat tersebut karena ditekan dan diperintah oleh Ahok, demi 'melegalkan' persekongkolannya dengan pihak yayasan RS Sumber Waras," ungkap Amir.
"Kalau saya boleh bilang, kira-kira perintah Ahok kepada anak buahnya (Kepala Dinas Penilaian Pajak) begini, 'segera bikin suratnya, anggarkan Rp 20,755.000 juta itu. Dia sebagai bawahan Ahok langsung nurut, dan tidak bisa berbuat apa-apa. Sebab, kalau gak, dia dipecat," ujar Amir.
Berdasarkan rangkaian fakta kronoligi tersebut, siapapun bisa dengan mudah untuk menyimpulkan, bahwa kasus proyek RS Sumber Waras memang direkayasa sedemikian rupa.
Menurut Amir, andaikan tidak ada rekayasa dan Ahok melakukannya dengan normal, tanpa ada maksud terselubung. Maka sepatutnya transaksi tersebut dilakukan sesuai aturan.
"Jika tidak ada udang dibalik batu, Ahok harusnya tidak perlu buru-buru, karena dia musti nunggu dulu hingga Dinas Penilaian Pajak mengeluarkan NJOP. Baru setelah itu dilanjutkan dengan transaksi. Kalau ini kan tidak, lahan sudah dibayar, sudah terjadi transaksi di depan notaris, baru NJOP nyusul," tandasnya. (Teropongsenayan)
Tentu saja Ahok memakai NJOP Jalan kiai Tapa karena RS Sumber Waras berada di Jalan Kiai Tapa kelurahan Tomang, BUKAN JALAN TOMANG. Dan penentu NJOP Sumber Waras adalah Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan yang menyebutkan pajak lahan itu mengikuti NJOP Jalan Kiai Tapa.
Dirut RS Sumber Waras: Negara Tak Rugi, Tanah Dijual Sesuai NJOP
DirekturRS Sumber Waras Abraham angkat bicara terkait tudingan penjualan rumah sakit tersebut ke Pemerintah Provinsi DKI menyebabkan kerugian negara. Dia menampik hal tersebut.
Dia mengatakan harga dijual sesuai Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) 2014. "Kalau dibilang merugikan negara apa yang kami rugikan," sebut Abraham di RS Sumber Waras, Jakarta, Sabtu (16/4/2016).
"Tanah itu dijual sesuai NJOP," tambah dia.
Dia mengatakan NJOP 2014 ketika itu Rp 20.755.000 per meter. Mereka pun menjual sesuai harga NJOP 2014. Tidak menaikkan atau menurunkan harganya.
Menurut dia, Pemprov DKI juga menawar terlebih dahulu. RS Sumber Waras pun sepakat hanya menjual tanah. "Bangunan kita minta Rp 25 M, ketika dinego kita hilangkan, semua ongkos balik nama juga kami bayar," tegas Abraham.
Sebelumnya, BPK menilai ada ketidaksesuaian prosedur dalam proses pembelian lahan milik Yayasan Kesehatan Sumber Waras (YKSW). Pemprov DKI dianggap membeli dengan harga lebih tinggi dari seharusnya, hingga menimbulkan kerugian negara sebesar Rp 191 miliar.
Lahan RS Sumber Waras itu dibeli dengan harga Rp 800 miliar. Dana diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Perubahan DKI 2014.
Namun Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok meyakini, pembelian lahan tersebut tidak merugikan negara. Dia menilai audit yang dihasilkan BPK ngawur.
BPK pun menyerahkan hasil audit tersebut ke KPK, untuk menyelidiki dugaan adanya kerugian negara dalam kasus RS Sumber Waras. Sejumlah pihak dipanggil dalam mengungkap kasus tersebut. Salah satunya Ahok, yang diperiksa pada Selasa 12 April 2016. (Liputan6)
3. Permainan Opini bahwa Sumber Waras adalah Tanah Negara
Tudingan Ratna Sarumpaet yang menyebut lahan RS Sumber Waras adalah tanah negara dianggap Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama "Ahok" lucu.
Sebab, tudingan tersebut tak melihat fungsi dari hak guna bangunan (HGB) dan hak guna usaha (HGU). Menurut mantan Bupati Belitung Timur itu, jika semua HGB dan HGU berakhir kemudian menjadi milik negara, pemerintah akan langsung kaya.
"Kota yang punya sawit, tungguin saja HGU, HGB itu habis. Langsung digarap," kata Ahok.
Di Jakarta, kata dia, setiap hotel, mal, pasti memiliki HGB. Sebab, kepemilikan tanahnya milik perusahaan.
"Begitu habis selesai sertifikatnya berarti punya saya, yang punya pikiran itu goblok," ujar dia.
Ahok Sebut Tudingan Ratna Sarumpaet soal Lahan Sumber Waras Tanah Negara Lucu. Tudingan Ratna Sarumpaet yang menyebut lahan RS Sumber Waras adalah tanah negara dianggap Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama "Ahok" lucu. Sebab, tudingan tersebut tak melihat fungsi dari hak guna bangunan (HGB) dan hak guna usaha (HGU). "Makanya, saya bilang itu tudingan lucu banget, tahu enggak," kata Ahok di Balai Kota, Jakarta, Rabu (13/4/2016).
Menurut mantan Bupati Belitung Timur itu, jika semua HGB dan HGU berakhir kemudian menjadi milik negara, pemerintah akan langsung kaya. "Kota yang punya sawit, tungguin saja HGU, HGB itu habis. Langsung digarap," kata Ahok. Di Jakarta, kata dia, setiap hotel, mal, pasti memiliki HGB. Sebab, kepemilikan tanahnya milik perusahaan. "Begitu habis selesai sertifikatnya berarti punya saya, yang punya pikiran itu goblok," ujar dia. Penggiat seni dan aktivis Ratna Sarumpaet sebelumnya menuding Ahok terlibat dalam kasus korupsi RS Sumber Waras. "Salah satunya, masa beli tanah negara pakai duit negara. Terus masa (Ahok) enggak tahu kalau lahan yang dia beli adalah hak guna bangunan yang sudah mau berakhir, artinya dalam waktu beberapa bulan tanah itu sudah jadi hak milik negara. Apa yang dibeli, itu saja sudah aneh. Ada banyak deh buktinya," kata Ratna. (KOMPAS)
Sementara Kepala Badan Pertanahan Nasional Jakarta Barat Sumanto mengatakan, lahan yang telah dibeli oleh Pemprov DKI adalah murni lahan milik swasta, yakni milik Yayasan Sumber Waras. Sumanto mengatakan, itu merujuk pada sertifikat hak guna bangunan (HGB) nomor 2878. "Ini tanah asalnya milik Yayasan Sumber Waras, sekarang dibeli oleh Pemprov DKI melalui Dinas Kesehatan," kata Sumanto kepada Kompas.com, Kamis (14/4/2016).
Menurut dia, tanah HGB adalah tanah yang diberikan oleh negara kepada seseorang atau badan hukum. "Jadi, kalau HGB itu jenisnya, tetapi kalaupun HGB statusnya dari tanah negara yang dimohon oleh perseorangan atau badan hukum, itu bukan tanah milik negara, tetapi ya milik dia," ujar Sumanto. Ia mengatakan, saat ini Pemprov DKI sedang melakukan balik nama terhadap sertifikat tersebut. Proses balik nama sudah dilakukan sejak tahun 2015.
BPN Jakbar: Lahan Sumber Waras Bukan Milik Pemerintah
Isu kejanggalan pembelian sebagian lahan milik Yayasan Kesehatan Sumber Waras oleh Pemprov DKI Jakarta kian menuai perhatian. Isu yang menyebar di masyarakat, lahan tersebut adalah milik pemerintah, tetapi dibeli oleh Pemprov DKI. Kepala Badan Pertanahan Nasional Jakarta Barat Sumanto mengatakan, lahan yang telah dibeli oleh Pemprov DKI adalah murni lahan milik swasta, yakni milik Yayasan Sumber Waras. Sumanto mengatakan, itu merujuk pada sertifikat hak guna bangunan (HGB) nomor 2878.
"Ini tanah asalnya milik Yayasan Sumber Waras, sekarang dibeli oleh Pemprov DKI melalui Dinas Kesehatan," kata Sumanto kepada Kompas.com, Kamis (14/4/2016).
Menurut dia, tanah HGB adalah tanah yang diberikan oleh negara kepada seseorang atau badan hukum. "Jadi, kalau HGB itu jenisnya, tetapi kalaupun HGB statusnya dari tanah negara yang dimohon oleh perseorangan atau badan hukum, itu bukan tanah milik negara, tetapi ya milik dia," ujar Sumanto.
Ia mengatakan, saat ini Pemprov DKI sedang melakukan balik nama terhadap sertifikat tersebut. Proses balik nama sudah dilakukan sejak tahun 2015. Lamanya proses balik nama disebabkan BPN harus kembali mengukur luas tanah yang akan dibeli.
Pemprov DKI membeli sebagian lahan Sumber Waras dengan luas 36.410 meter persegi. Sumanto menyebut, alamat yang diajukan oleh pemohon, yakni Sumber Waras, untuk lahan tersebut ialah Jalan Kyai Tapa RW 10 RT 10, Tomang, Jakarta Barat. (KOMPAS)
4. Permainan Opini menyebabkan kerugian Negara
BPK: Pembelian lahan Sumber Waras merugikan negara Rp 191 miliar karena ada tawaran PT Ciputra Karya Utama setahun sebelumnya sebesar Rp 564 miliar.
Ahok: Tawaran Ciputra itu ketika nilai jual obyek pajak belum naik pada 2013. Pada 2014, NJOP tanah di seluruh Jakarta naik 80 persen.
FAKTA: Berdasarkan data SIM PBB-P2 dari Direktorat Jenderal Pajak, NJOP lahan Sumber Waras yang ditentukan pada 2013 naik dari Rp 12,2 juta sedangkan pada 2014 Rp 20,7 juta.
5. Permainan Opini Pembelian Tanpa Kajian
BPK: Pembelian lahan Sumber Waras kurang cermat karena tanpa kajian dan perencanaan yang matang.
Ahok: Dibahas dan disetujui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
6. Permainan Opini Haji Lulung
Pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras ternyata tidak tercantum dalam Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Plafon Prioritas Anggaran Sementara (PPAS) Perubahan 2014. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dituding memalsukan nomenklatur KUA-PPAS Perubahan 2014 yang ditandatangani DPRD DKI.
Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Abraham `Lulung` Lunggana mengatakan, terjadi perubahan nomenklatur pengadaan lahan RS Sumber Waras dalam APBD 2014. Perubahan itu diketahui usai ia diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
"Waktu saya diperiksa BPK ditanya, `pak tahu enggak ada email perubahan nomenklatur tentang pembelian lahan RS?’ Saya bilang, enggak tahu. Jadi Pemerintah Daerah kirim email kepada Kementerian Dalam Negeri (perubahan numenklatur)," kata Lulung dalam diskusi 'Pro Kontra Audit Sumber Waras' di Warung Daun Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (16/4/2016).
Lulung mengungkapkan, pembelian lahan itu tidak ada dalam KUA-PPAS Perubahan 2014. Namun, belakangan, kata Lulung, BPK bilang ada email dikirim satu hari setelah disahkannya RAPBD-P 2014.
Lulung menduga, email yang dikirim ke Kemendagri dipalsukan. Sebab, dalam pengesahan pada 13 Agustus 2014 tidak ada pembelian lahan rumah sakit.
"KUA-PPAS yang ditanda tangan teman-teman (DPRD) tidak ada numenklatur beli tanah rumah sakit. Semua enggak tanda tangan. Kalau 14 agustus tiba-tiba muncul berarti ada 1 lembar diganti. Ekstremnya dipalsukan," kata politikus PPP ini.
Pembelian Lahan RS Sumber Waras tak Ada di KUAPPAS
Pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras ternyata tidak tercantum dalam Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Plafon Prioritas Anggaran Sementara (PPAS) Perubahan 2014. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dituding memalsukan nomenklatur KUA-PPAS Perubahan 2014 yang ditandatangani DPRD DKI.
Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Abraham `Lulung` Lunggana mengatakan, terjadi perubahan nomenklatur pengadaan lahan RS Sumber Waras dalam APBD 2014. Perubahan itu diketahui usai ia diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
"Waktu saya diperiksa BPK ditanya, `pak tahu enggak ada email perubahan nomenklatur tentang pembelian lahan RS?’ Saya bilang, enggak tahu. Jadi Pemerintah Daerah kirim email kepada Kementerian Dalam Negeri (perubahan numenklatur)," kata Lulung dalam diskusi 'Pro Kontra Audit Sumber Waras' di Warung Daun Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (16/4/2016).
Lulung mengungkapkan, pembelian lahan itu tidak ada dalam KUA-PPAS Perubahan 2014. Namun, belakangan, kata Lulung, BPK bilang ada email dikirim satu hari setelah disahkannya RAPBD-P 2014.
Lulung menduga, email yang dikirim ke Kemendagri dipalsukan. Sebab, dalam pengesahan pada 13 Agustus 2014 tidak ada pembelian lahan rumah sakit.
"KUA-PPAS yang ditanda tangan teman-teman (DPRD) tidak ada numenklatur beli tanah rumah sakit. Semua enggak tanda tangan. Kalau 14 agustus tiba-tiba muncul berarta ada 1 lembar diganti. Ekstremnya dipalsukan," kata politikus PPP ini.
Sebelumnya, Kepala Direktorat Utama Perencanaan Evaluasi dan Pengembangan Pemeriksaan Keuangan Negara BPK RI Bahtiar Arif mengatakan, pembelian tanah oleh Pemprov DKI mengakibatkan kerugian daerah sebesar Rp191,33 miliar. Padahal, pihaknya telah merekomendasikan Pemprov DKI membatalkan pembelian tanah itu.
Pemprov DKI Jakarta membeli tanah RS Sumber Waras dari Yayasan Sumber Waras NJOP sekitar Rp20 juta per meter per segi. Menurut BPK, NJOP tanah RS Sumber Waras hanya Rp 7 juta per meter per segi. (Metronews)
Pertanyaannya dokumen sekelas RAPBD-P apakah tidak ada salinannya? Misalkan haji Lulung mengatakan RAPBD-P selembar ada yang dipalsukan seharusnya sebagai anggota dewan punya salinan yang asli sebelum dipalsukan. Apa jadinya negara ini bila hanya berbicara menciptakan opini tanpa memperlihatkan bukti. Seharusnya sebagai eorang ahli hukum, perlihatkan lembar salinan yang Sebelum DIPALSUKAN, ada atau tidak? Jadi bisa dibandingkan dengan RAPBD-P yang ada. Namun bila tidak ada, dan hanya berbicara bahwa dipalsukan, hanya orang - orang bodoh saja yang akan mempercayai ucapan haji Lulung.
Kalau anda mengatakan PALSU berarti harusnya ada yang ASLI? Aneh juga bila dokumen sekelas RAPBD-P yang sudah disahkan beramai - ramai, satupun anggota dewan tak memiliki salinan atau tembusannya!!
Jelas Bahwa Lulung mengakui pimpinan DPRD termasuk dirinya menyepakati KUAPPAS 2014. Yang kemudian tanggal 13 Agustus DPRD DKI Jakarta mengesahkannya dalam RAPBD-P 2014. Didalam RAPBD-P 2014 itu ada anggaran 800 Milyar untuk pembelian RS Sumber waras.
KPK Telisik Kasus Sumber Waras, Ahok: Saya Mah Santai, Kenapa Takut ?(TRIBUNEWS) Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama percaya KPK profesional dalam menyelidiki kasus dugaan korupsi pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras.
"Saya percaya KPK akan kerja profesional. Pasti penyidik akan cek, ada tidaknya niat jahat," kata pria yang akrab disapa Ahok tersebut di Jakarta Utara, Selasa (1/3/2016).
Ahok yakin KPK akan melihat ada tidaknya potensi kerugian keuangan negara dalam kasus tersebut. "Ada korupsi tidak? Ada kerugian negara tidak? KPK akan kerja profesional," ucapnya.
Ahok menegaskan akan tetap mengikuti proses hukum. Ia pun tetap santai menyikapinya karena percaya tidak ada kerugian daerah sebesar Rp 191 miliar seperti yang disebutkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). "Saya mah santai saja. Saya percaya KPK kerja profesional. Kenapa takut?" imbuh dia. Dikatakan memang dari awal dalam pembelian lahan Rumah sakit Sumber Waras tidak ada indikasi korupsi. "Orang saya tidak pernah niat maling, niat aja kagak," imbuh Ahok.
Seperti diberitakan sebelumnya, KPK hingga saat ini belum menemukan bukti yang cukup, terkait dugaan tindak pidana korupsi dalam pembelian lahan untuk pembangunan Rumah Sakit Sumber Waras. Komisioner KPK Basaria Panjaitan mengatakan, kasus masih dalam tahap pengumpulan bukti dan keterangan.
Untuk menaikkan kasus ke tingkat penyidikan, kata Basaria, harus ada dua alat bukti. "Selama itu tidak ada, kita tidak naikan," jelas Basaria dan sudah ditandatangani Pimpinan DPRD termasuk Haji Lulung.
Anggota Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu pun menunjukkan selembar kertas dengan rencana pembelian sebagian lahan RS Sumber Waras untuk dibangun RS khusus jantung dan kanker. Nomenklatur itu dinilai Lulung tidak disepakati oleh pimpinan DPRD DKI Jakarta.
Lulung Mengaku Tak Ikut Teken Program Pembelian Lahan RS Sumber Waras
Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Abraham Lunggana alias Lulung berkelit saat ditanya perihal instansinya yang ikut meloloskan pembelian sebagian lahan Rumah Sakit Sumber Waras pada APBD Perubahan 2014.
"Makanya itu yang saya agak heran," kata Lulung dalam diskusi di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (16/4/2016).
Lulung mengaku sudah dimintai keterangannya oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) perihal ini. Saat itu, penyidik BPK bertanya kepada Lulung, apakah dia mengetahui tentang adanya surat elektronik atau email dari Pemprov DKI Jakarta untuk Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tentang APBD-P 2014 pada 14 Agustus 2014.
"Saya ditanya BPK, 'Haji Lulung tahu enggak ada email perubahan nomenklatur tentang pembelian lahan RS Sumber Waras?' Saya bilang, saya enggak tahu, BPK bilang ada (perubahan nomenklatur) itu," kata Lulung.
Ia tak menampik seluruh pimpinan DPRD DKI Jakarta, termasuk dirinya, menyepakati Kebijakan Umum Anggaran Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUAPPAS) 2014. Pimpinan DPRD DKI Jakarta menandatangani KUA-PPAS pada 14 Juli 2014. Kemudian DPRD DKI Jakarta mengesahkan RAPBD-P 2014 pada 13 Agustus 2014.
"Ekstremnya, ada satu lembar yang diganti. Semua pimpinan tanda tangan KUA-PPAS 14 Juli tapi yang beli tanah sebagai pembangunan RS Sumber Waras tanggal 14 Agustus 2014, kami tidak tanda tangan," kata Lulung.
Anggota Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu pun menunjukkan selembar kertas dengan rencana pembelian sebagian lahan RS Sumber Waras untuk dibangun RS khusus jantung dan kanker. Nomenklatur itu dinilai Lulung tidak disepakati oleh pimpinan DPRD DKI Jakarta.
Tak hanya itu, Lulung juga menunjukkan evaluasi Kementerian Dalam Negeri atas RAPBD-P 2014 pada 22 September 2014. Pada dokumen itu disebutkan belanja modal pengadaan tanah semula tidak dianggarkan, dalam Rancangan Perubahan APBD Tahun Anggaran 2014 dianggarkan Rp 800 miliar dalam kegiatan pembelian lahan RS Sumber Waras sebagai RS khusus kanker pada SKPD Dinas Kesehatan.
"Jelas itu tidak dianggarkan Rp 800 miliar. Mana bisa dibohongi Kementerian Dalam Negeri," kata Lulung.
Masuk KUA-PPAS
Gubernur DKl Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok sebelumnya menegaskan pembelian lahan RS Sumber Waras telah sesuai dengan prosedur. Ahok menyebut pembelian lahan sudah berdasarkan prioritas Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang kemudian disepakati dengan DPRD dan dituangkan dalam KUA-PPAS.
"Waktu saya memutuskan membeli (lahan) Sumber Waras saya harus membawa ke dalam KUA-PPAS dan ke ketua DPRD, (pimpinan) menandatangani semua. Kenapa berani masukkan (pembelian lahan) Sumber Waras karena memang RPJMD-nya kita mau menambah RS," kata Ahok saat bersaksi di Pengadilan Tipikor, Kamis (4/2/2016) lalu.
Pembelian sebagian lahan milik RS Sumber Waras oleh Pemerintah Provinsi DKI dilakukan pada akhir tahun 2014. Nilainya mencapai Rp 755 miliar. Namun pada laporan hasil pemeriksaan (LHP) BPK untuk Provinsi DKI tahun 2014, BPK menyatakan ada indikasi kerugian daerah Rp 191 miliar dalam proses pembelian lahan tersebut.
Pada tanggal 20 Agustus 2015, seorang anggota Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Budget Metropolitan Watch (BMW), Amir Hamzah melaporkan dugaan korupsi yang dilakukan Ahok terkait pembelian lahan Sumber Waras kepada KPK.
KPK menindaklanjuti laporan dengan meminta BPK melakukan audit investigasi. BPK memanggil sejumlah pejabat Pemerintah Provinsi DKI untuk dimintai keterangan.
Ahok sendiri dimintai keterangan pada tanggal 23 November 2015. Pada Selasa, 12 April 2016, KPK meminta keterangan terhadap Ahok untuk mengumpulkan bukti. (KOMPAS)
Lalu apabila haji Lulung sampaikan tidak tanda tangan perihal pembelian yang tanggal 14 Agustus 2014, mungkin saja Haji lulung sedang bermain opini.
Apa yang harus ditanda tangan lagi sementara DPRD sudah mensahkan RAPBD-P.
Yang mana setelah tanggal 13 Agustus 2014 RAPBD-P Disahkan DPRD, maka otomatis harus ada pemberitahuan kepada Mendagri keesokan harinya dan tentu saja akan ada perubahan nomenklatur karena ini adalah RAPBD-P Perubahan dari RAPBD yang sudah disahkan Januari 2014.
Rabu, DPRD-Pemprov DKI Pastikan APBD 2014 Disahkan
Setelah melewati pembahasan yang cukup panjang, akhirnya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI memastikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI 2014 akan disahkan pada Rabu, 22 Januari 2013.
“Rabu mendatang akan disahkan APBD DKI 2014,” ungkap Basuki Tjahaja Purnama, Wakil Gubernur DKI Jakarta di Balai Kota DKI, Jakarta, Senin (20/1).
Munculnya optimisme pengesahan APBD bakal digelar dua hari mendatang karena antara pihak eksekutif dan legislatif telah sepakat untuk menyerap habis Sisa Lebih Penggunaan Anggaran (SiLPA) tahun 2013 sekitar Rp 7 triliun untuk dimasukkan ke dalam APBD DKI 2014 yang totalnya berjumlah Rp 72 triliun.
“Kita manfaatkan SiLPA saja biar terserap semua. Kita mau habiskan untuk perbaikan jalan, pembangunan rumah pompa seperti di Angke dan Ancol,” ujarnya.
Memang diakui pria yang akrab disapa Ahok ini, pengesahan APBD DKI 2014 sangat terlambat. Berdampak pada program pembangunan yang harus melalui proses tender. Sehingga bisa saja kemungkinan besar, program pembangunan infrastruktur khususnya untuk penanganan banjir dan kemacetan akan mundur minimal 45 hari setelah tanggal penetapan APBD DKI 2013.
Proyek pembangunan yang terancam mundur pelaksanaannya adalah pengerukan waduk dan pompa serta pembangunan jalan layang yang bisa dilalui kereta api. Untuk mengatasi hal itu, pengerukan waduk dan pompa akan dilakukan sendiri oleh Dinas Pekerjaan Umum (PU) dengan membeli alat-alat pengerukan melalui e-katalog.
“Kalau pakai tender prosesnya lama. Karena belum diketok palu, mana bisa dilaksanakan? Pasti mundur lagi 45 hari. Padahal proyek yang harus ditender lebih banyak tahun ini dibandingkan tahun lalu. Kalau pakai e-katalog lebih cepat,” tuturnya.
Bila jadi diketok pada Rabu mendatang, Ahok memperkirakan proses tender bisa dilaksanakan dua minggu lagi. Karena harus menunggu koreksian dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri).
“Atau bisa juga kita mulai dulu proses tendernya, baru pengikatan dari Kementerian Dalam Negeri. Bulan depan tender baru bisa dimulai,” paparnya.
Ketua DPRD DKI sekaligus Ketua Banggar DPRD DKI Ferrial Sofyan membenarkan pihaknya akan menggelar rapat paripurna untuk pengesahan APBD Penetapan tahun anggaran 2014 pada Rabu (22/1). Sebab, saat ini pembahasan Rancangan APBD DKI 2014 sudah selesai, serta sudah ada nomenklatur dan kode rekening yang jelas.
“Pembahasannya sudah clear, sudah selesai semua. Jadi tadi sudah diputuskan pembahasan sudah selesai. Sudah ada nomenklatur dan kode rekening yang jelas,” katanya.
Untuk mengisi nomenklatur dan kode rekening anggaran diserahkan kepada Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) DKI. Pihak BPKD DKI membutuhkan waktu dua hari untuk memasukkan seluruh anggaran kegiatan ke dalam nomenklatur dan kode rekeningnya.
Butuh waktu dua hari, lanjutnya, karena anggaran kegiatan dalam APBD DKI 2014 ada sebanyak 62.000 kegiatan dengan 400 sub kegiatan.
“Tadi kita tanyakan kepada BPKD, ini bisa diselesaikan besok tidak? Ternyata mereka bisanya Rabu. Makanya kita rencanakan rapat paripurna pengesahan APBD digelar hari Rabu. Setelah disahkan langsung dikirim ke Kemdagri,” ujar Ferrial. (beritasatu)
Selanjutnya untuk perihal jual beli tentu saja Haji Lulung tidak diikutsertakan dalam hal ini karena perihal jual beli adalah urusan pembeli dalam hal ini Pemrov DKI dan Penjual dalam hal ini RS sumber Waras.
Masuk KUA-PPAS
Gubernur DKl Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok sebelumnya menegaskan pembelian lahan RS Sumber Waras telah sesuai dengan prosedur. Ahok menyebut pembelian lahan sudah berdasarkan prioritas Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang kemudian disepakati dengan DPRD dan dituangkan dalam KUA-PPAS.
"Waktu saya memutuskan membeli (lahan) Sumber Waras saya harus membawa ke dalam KUA-PPAS dan ke ketua DPRD, (pimpinan) menandatangani semua. Kenapa berani masukkan (pembelian lahan) Sumber Waras karena memang RPJMD-nya kita mau menambah RS," kata Ahok saat bersaksi di Pengadilan Tipikor, Kamis (4/2/2016) lalu.
7. Permainan Opini tentang Pembelian Tak Wajar di Akhir tahun
Ketua BPK Harry Azhar Aziz dalam wawancaranya di sebuah stasiun televisi nasional menyatakan bahwa pembayaran ke Yayasan Sumber Waras sebesar Rp 755,69 miliar dilakukan secara tunai pada malam tahun baru 2015. Harry mempertanyakan transaksi pembayaran pada malam tahun baru itu dengan sengit. "Mau tahun baru tiba-tiba ada pembayaran tunai, ada apa ini?" kata Harry, Kamis, 14 April 2016.
Azhar mengatakan ada transaksi mencurigakan yang terjadi setelah masa habis penggunaan APBD DKI yang jatuh pada akhir bulan Desember 2014.
"Hasil dari kecurigaan pertama bahwa di 31 Desember 2014, ada bukti transfer, ada bukti cek tunai. Ini ada apa-apa. Kenapa ini seperti memaksakan," ujar Harry dalam diskusi 'Pro Kontra Audit Sumber Waras' di Warung Daun, Jakarta, Sabtu (16/4).
Harry mengatakan, transaksi yang terjadi pada malam hari sekitar pukul 07.00 WIB seolah terkesan dipaksakan. Ia membenarkan bahwa transaksi pembelian lahan setelah tanggal tersebut dianggap tidak sah.
Kepala Bidang Pembinaan Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah Lusiana Herawati mengatakan pembelian lahan tersebut bukan secara tunai seperti tuduhan Badan Pemeriksa Keuangan. “Cek, lalu transfer,” ujarnya kemarin.
Dalam istilah perbankan, Lusi melanjutkan, proses tersebut dinamakan pemindahbukuan atau overbooking dari rekening Dinas Kesehatan ke Yayasan Kesehatan Sumber Waras di Bank DKI sebesar Rp 755 miliar. “Jadi antar-Bank DKI,” ujar Sekretaris Perusahaan Bank DKI Zulfarshah.
Karena sesama rekening, ujar Zulfarshah, waktu transaksinya pun tak terikat waktu operasional bank. Jika antarbank, kata dia, baru tidak bisa ditransfer karena harus kliring lebih dulu pada jam operasional. Ia mengatakan pembayaran lahan yang akan dijadikan rumah sakit kanker dan jantung itu dilakukan pada 31 Desember 2014 pukul 19.00.
Selain itu, Zulfarshah mengatakan, Yayasan Kesehatan Sumber Waras merupakan nasabah lama Bank DKI. Lembaga tersebut, kata dia, membuka rekening di bank milik pemerintah Jakarta ini sejak 2011. “Bukan karena Sumber Waras dijual lalu buka rekening,” tutur Zulfarshah.
Ihwal pembayaran pada akhir tahun, Lusiana mengatakan, “Tahun anggaran berakhir pada 31 Desember pukul 23.59.”
Cerita Bank Soal Pembayaran RS Sumber Waras, Ternyata Pakai Cek
Polemik pembelian Rumah Sakit Sumber Waras seluas 3,6 hektare di Grogol, Jakarta Barat, terus bergulir. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sempat mengatakan ada kejanggalan dalam transaksi pembelian sebagian lahan RS Sumber Waras oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Ketua BPK Harry Azhar Aziz dalam wawancaranya di sebuah stasiun televisi nasional menyatakan bahwa pembayaran ke Yayasan Sumber Waras sebesar Rp 755,69 miliar dilakukan secara tunai pada malam tahun baru 2015. Harry mempertanyakan transaksi pembayaran pada malam tahun baru itu dengan sengit. "Mau tahun baru tiba-tiba ada pembayaran tunai, ada apa ini?" kata Harry, Kamis, 14 April 2016.
Pernyataan Ketua BPK itu memantik polemik, bagaimana mungkin dana sebesar Rp 750 miliar dibayar secara tunai? Berapa waktu untuk menyiapkan dana sebesar itu jika harus diberikan secara tunai.
Kepala Bidang Pembinaan Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah Lusiana Herawati mengatakan pembelian lahan tersebut bukan secara tunai seperti tuduhan Badan Pemeriksa Keuangan. “Cek, lalu transfer,” ujarnya kemarin.
Dalam istilah perbankan, Lusi melanjutkan, proses tersebut dinamakan pemindahbukuan atau overbooking dari rekening Dinas Kesehatan ke Yayasan Kesehatan Sumber Waras di Bank DKI sebesar Rp 755 miliar. “Jadi antar-Bank DKI,” ujar Sekretaris Perusahaan Bank DKI Zulfarshah.
Karena sesama rekening, ujar Zulfarshah, waktu transaksinya pun tak terikat waktu operasional bank. Jika antarbank, kata dia, baru tidak bisa ditransfer karena harus kliring lebih dulu pada jam operasional. Ia mengatakan pembayaran lahan yang akan dijadikan rumah sakit kanker dan jantung itu dilakukan pada 31 Desember 2014 pukul 19.00.
Selain itu, Zulfarshah mengatakan, Yayasan Kesehatan Sumber Waras merupakan nasabah lama Bank DKI. Lembaga tersebut, kata dia, membuka rekening di bank milik pemerintah Jakarta ini sejak 2011. “Bukan karena Sumber Waras dijual lalu buka rekening,” tutur Zulfarshah.
Menurut salinan dokumen yang diperoleh Tempo, pembayaran lahan RS Sumber Waras dilakukan menggunakan cek dan transfer antar-rekening di Bank DKI. Dana disetor Dinas Kesehatan DKI Jakarta melalui cek Nomor CK 493387 tertanggal 30 Desember 2014 ke rekening RS Sumber Waras di bank yang sama pada 31 Desember 2014 sebesar Rp 717.905.072.500. Bersama itu pula, Dinas Kesehatan DKI Jakarta mentransfer pembayaran pajak dengan cek Nomor CK 493388 sebesar Rp 37.784.477.500.
Ihwal pembayaran pada akhir tahun, Lusiana mengatakan, “Tahun anggaran berakhir pada 31 Desember pukul 23.59.” (Tempo)
Ahok menjelaskan waktu transaksi pembayaran untuk pengadaan barang dan jasa sebenarnya boleh dilakukan sampai pukul 24.00. Terlebih bila tenggang waktu pembayaran semakin sempit.
"Sekarang kalau kamu boleh bayar sampai tanggal 31 malam jam 24.00 WIB, dan kamu mau bayar pakai cara apa kalau buru-buru," terangnya.
Dia juga heran mengapa pembayaran lahan itu dilakukan di luar jam kerja. Padahal, Ahok mengaku sudah bersurat kepada Dinkes DKI agar mempersiapkan dari jauh hari baik anggaran dan administrasi agar tidak buru-buru.
"Kan sampai jam 12 malam boleh. Cuma kita selalu bersurat, (misalnya) tanggal 20 Desember ya, tanggal 25 Desember ya. Supaya jangan numpuk di posisi tanggal 31 Desember. Administrasinya nulisnya enggak keburu. Itu saja," tandasnya.
Ini reaksi Ahok disebut BPK waktu pembayaran Sumber Waras tak lazim
Gubernur DKI Jakarta Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mengaku tidak memerintahkan Dinas Kesehatan DKI Jakarta untuk melakukan transaksi di luar jam kerja dalam pembayaran lahan ke Yayasan Sumber Waras. Dia mengaku masalah teknis pembayaran itu bukan menjadi urusannya.
"Saya kan nggak perintah. Perintah apapun juga urusannya apa? Masa saya harus ngurusin teknis bayar-bayar, gila apa?" kata Ahok di Balai Kota, Jakarta, Jumat (15/4).
Pernyataan ini menanggapi pernyataan pihak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menyebut ada waktu transaksi tak lazim saat proses pembayaran lahan dari Pemprov DKI ke Yayasan Sumber Waras. BPK mengungkapkan pembayaran lahan RS Sumber Waras itu dilakukan melalui unit persediaan (UP) pada 31 Desember pukul 19.00 WIB.
Ahok menjelaskan waktu transaksi pembayaran untuk pengadaan barang dan jasa sebenarnya boleh dilakukan sampai pukul 24.00. Terlebih bila tenggang waktu pembayaran semakin sempit.
"Sekarang kalau kamu boleh bayar sampai tanggal 31 malam jam 24.00 WIB, dan kamu mau bayar pakai cara apa kalau buru-buru," terangnya.
Dia juga heran mengapa pembayaran lahan itu dilakukan di luar jam kerja. Padahal, Ahok mengaku sudah bersurat kepada Dinkes DKI agar mempersiapkan dari jauh hari baik anggaran dan administrasi agar tidak buru-buru.
"Kan sampai jam 12 malam boleh. Cuma kita selalu bersurat, (misalnya) tanggal 20 Desember ya, tanggal 25 Desember ya. Supaya jangan numpuk di posisi tanggal 31 Desember. Administrasinya nulisnya enggak keburu. Itu saja," tandasnya.
Terlepas dari tudingan waktu yang tak lazim, Ahok mengaku pembelian RS Sumber Waras sudah sesuai dengan Undang-undang. Ia pun enggan berdebat lagi dengan BPK soal dugaan kerugian daerah atas pembelian lahan itu.
"Cukup sudah. Jadi jangan lagi cari-cari alasan yang lain, sesuai temuan Anda kan mengatakan kerugian. Kalau nggak mau kalau ya sudah bawa ke pengadilan. Kita sudah ikuti UU," tutup orang nomor satu DKI ini. (Merdeka)
Karena hanya permainan opini, itulah makanya KPK belum mendapati harus masuk dan memulai dari mana untuk bisa menjerat pasal menangkap Ahok.
KPK PUN akan segera memutuskan ada tidaknya tindak pidana di penyelidikan kasus pembelian lahan Yayasan Sumber Waras. Meski banyak pihak yang 'jumping to conclution' dan menekan KPK akan menaikkan kasus ini ke tahap penyidikan, KPK tidak akan terpengaruh sedikitpun.
"Kami inikan lembaga independen, saya pikir itu lebihnya, Bahwa kami nggak merasa tertekan, baik dari pemerintah parpol maupun masyarakat itu sendiri," kata Wakil Ketua KPK, Laode Syarif di kantornya, Jl HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Jumat (15/4/2016). Syarif menegaskan, penyelidiknya bekerja berdasarkan ada tidaknya alat bukti.
Bila tidak ada alat bukti yang ditemukan, tentu saja kasus Sumber Waras tidak bisa dinaikkan ke tahap penyidikan, meskipun ada banyak tekanan dari luar.
"Kami mau bekerja berdasarkan fakta dan bukti. Kalau fakta dan bukti cukup maka akan kami lanjutkan, kalau nggak cukup maka kami tidak akan lanjutkan, tidak ada yang bisa menekan kami!" tegas Syarif.
"Jadi nggak perlu kita dengar kan dari siapa saja. Kami lengkap," imbuhnya.
Jadi bila tak ada indikasi Ahok terbukti punya niat Korupsi, siap - siap saja semua hater ahok bakal gigit jari.
Dari berbagai sumber media/ btc