Jakarta (RRN) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan mengajukan naskah akademik Peraturan Pemerintah terkait Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang menegaskan sanksi potong gaji dan penundaan pangkat untuk penyelenggara negara yang tak melapor.
"Naskah sedang kami buat. Jadi sanksi administratif kami perjelas seperti potong gaji dan penundaan kenaikan pangkat. LHKPN juga sebagai syarat wajib untuk promosi," kata Pahala di Kantor KPK, Jakarta, Rabu (16/3). Peraturan ini telah digodok oleh sejumlah pihak termasuk pakar dan akan diajukan tahun ini.
PP yang akan diajukan tahun ini akan berlaku untuk penyelenggara negara termasuk DPR dan DPRD. "Selama ini yang bikin undang-undang lupa karena ditulis cuma DPR, jadi DPRD bisa berkelit," katanya.
Dalam aturan itu, KPK juga mengajukan format baru dalam pelaporan. Dulu, LHKPN disetor setiap ada pergantian jabatan.
"Nanti kami usulkan setahun sekali saja seperti SPT (Surat Pajak Tahunan). Kalau misalnya tidak ada perubahan dengan hartanya, cukup bilang saja, tidak ada perubahan," katanya.
Selain itu, format formulir LHKPN juga akan dibuat lebih mudah dan dalam bentuk elektronik. Tak dipungkiri, Pahala menjelaskan alasan anggota dewan malas melapor lantaran mengaku kesulitan.
"Tapi kalau dibilang repot, kami sudah terima 250 ribuan LHKPN. Masak yang itu bisa yang lain tidak. Kalau dibilang susah mengisi pertama, ya memang susah, ada yang memang kesulitan mengiri formulirnya tapi ada yang memang tidak niat," katanya.
Pahala menambahkan, PP ini dibuat dengan semangat keterbukaan harta. Menurutnya, publik perlu tahu harta pejabat yang digaji dari pajak rakyat.
Hal ini lah yang dirasa belum terakomodasi di UU Nomor 28 Tahun 1999. Dalam aturan tersebut, seorang penyelenggara negara hanya diharuskan melapor dengan sanksi administratif yang tak jelas. Alhasil, apabila ditemukan indikasi tindak pidana maka tak dapat ditelusur.
"Awalnya kami ingin mengejar harta-harta yang diperoleh, lihat income dan hartanya, kalau meragukan kami panggil orangnya dan suruh membuktikan tapi undang-undangnya tidak sampai ke sana," ucapnya.
Jika ingin diubah ke ranah pidana maka harus merevisi undang-undang tersebut. "Harus ada revisi UU Nomor 28 Tahun 1999, satu atau dua pasal dan ya harus ada yang inisiasi kaya di Hong Kong," katanya.
Pahala mengutarakan seharusnya Indonesia dapat berkaca dari aturan yang diterapkan oleh KPK Hong Kong. Jika lembaga tersebut menerima data kekayaan pejabat dan dinilai tak sesuai maka dapat dituntut dan harus dibuktikan ke pengadilan.
"Ada pembuktian terbalik. Menteri yang mengawasi bahawannya dan berjenjang. Jadi atasannya bisa menuntut dan dibuktikan di pengadilan dan harus terbuka," ujarnya.
KPK pernah melakukan hal serupa dan membawa ke bagian penindakan. Tapi dasar pembuktian terbalik dirasa belum kuat dan sulit untuk mengusutnya.
Alih-alih menyeret ke ranah pidana, yang kini dilakukan KPK adalah menyerahkan data harta pejabat ke Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan. Jika ditemukan ketidakwajaran perolehan harta seperti hibah, harta tersebut dapat dikenakan pajak. "Sebulan lalu sudah kami serahkan tapi tidak tahu sudah dipakai atau belum," katanya.
Alx/ cnn