Pemilu Myanmar

Suu Kyi Lawan Jenderal-jenderal Tua

Administrator - Kamis, 12 November 2015 - 12:32:43 wib
Suu Kyi Lawan Jenderal-jenderal Tua
foto: detik.com

RANGOON (RRN) - Hampir dua tahun setelah menumpas protes dengan brutal hingga tandas pada 1988, junta militer Myanmar menggelar pemilihan umum. Seperti biasa, tanggal yang dipilih harus mencerminkan "keberuntungan" dan "keabadian" yakni angka 9.

"Kami tak berniat memegang kekuasaan dalam waktu lama," para jenderal yang ada dalam Dewan Pemulihan Ketertiban dan Hukum Myanmar (SLORC), menulis pernyataan. Pada Minggu, 27 Mei 1990 – jika dijumlah, angka 27 sama dengan 9 – 2297 kandidat dari 93 partai bertarung memperebutkan 492 kursi parlemen.

Di Rangoon, tentara bersiaga di seluruh penjuru kota. Hanya tampak segelintir orang tampak lalu lalang di jalan. Aroma pembantaian pada 1988 masih begitu pekat di udara. "Seperti kota mati," seorang diplomat asing menggambarkan suasana Rangoon kepada New York Times, kala itu. Junta militer masih kencang mencengkeram. Sejumlah pemimpin oposisi, seperti Aung San Suu Kyi, mantan Perdana Menteri U Nu, dan Sekretaris Jenderal Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) U Tin Oo, ada dalam penjara atau dikungkung tahanan rumah.

Di bawah intimidasi dan todongan senapan, Partai Persatuan Nasional (NUP), yang disokong habis-habisan junta, diramal bakal meraup sebagian besar kursi hluttaw atau parlemen Myanmar alias Burma. "Padahal, jika pemilihan berlangsung bebas dan adil, partai Suu Kyi, Liga Nasional untuk Demokrasi, sudah pasti bakal menang," kata sang diplomat. Tapi perhitungan para jenderal itu salah besar.

Rakyat Burma tak jeri dengan intimidasi. NLD menang besar. Dari 492 kursi parlemen, partai Suu Kyi menggaruk 392 di antaranya. Para jenderal dipermalukan. Partai yang mereka sokong, NUP, hanya dapat jatah 10 kursi. "Bahkan sebagian keluarga tentara, tak memberikan suara kepada junta," kata seorang diplomat asing.


Semula, junta tampak ikhlas menerima kekalahan. "Mereka boleh bergerak cepat dan segera mengambil kekuasaan," U Kyaw Sann, juru bicara junta, mempersilakan kelompok oposisi, dua hari setelah pemungutan suara. Tapi junta minta penyerahan kekuasaan dilakukan setelah konstitusi baru disahkan. U Kyaw berdalih, "Dengan konstitusi baru, pemerintah yang dibentuk nanti bakal lebih kuat dan stabil."

Rupanya junta hanya mengulur waktu. Dua bulan kemudian, SLORC menerbitkan dekrit untuk mengambil kekuasaan. Junta yang dipimpin Jenderal Saw Maung menganulir pilihan rakyat Myanmar.

Empat tahun lalu, di bawah payung "Demokrasi Berdisiplin", junta militer menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada pemerintah sipil. Dan pada Ahad kemarin, Myanmar menghelat pemilihan umum yang paling demokratis sejak 1990.

Dua puluh lima tahun setelah pemilu 1990, untuk kedua kalinya, hampir dipastikan Partai Liga Nasional untuk Demokrasi bakal menekuk partai yang disokong pemerintah, Partai Pembangunan dan Persatuan Solidaritas (USDP). Dari 54 kursi yang telah diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum kemarin, NLD menyapu 49 kursi.

Masih ada lebih dari 250 kursi yang mesti dibagi, tapi partai pemerintah telah mengibarkan bendera putih. Menyerah. "Kami kalah. Kami harus mencari tahu penyebabnya mengapa kami kalah," Htay Oo, Pelaksana Ketua Umum USDP, mengakui kekalahan, sehari setelah pemilihan umum, kepada Reuters. "Kami akan menerima hasilnya, tanpa syarat."


Apakah rezim militer Burma bakal dengan sukarela menyerahkan kekuasaan? Atau kejadian pada 1990 bakal terulang?

"Aku mendengar soal kabar kekhawatiran apakah hasil pemilu akan dihormati. Aku menegaskan sekali lagi bahwa pemerintah dan militer akan menghormati dan menerima hasil pemilihan umum. Aku akan menerima pemerintah baru hasil pemilu," Presiden Thein Sein memberi jaminan, seperti dikutip Irrawaddy, Sabtu lalu. Dia, kata Thein Sein, akan menemui semua pemimpin politik usai pemungutan suara untuk menjamin stabilitas Burma. "Kami akan bekerjasama di lapangan politik yang baru."

Tapi jauh-jauh hari, para jenderal sudah mengambil jatah untuk memastikan bahwa kekuasaan mereka tak beringsut. Menurut konstitusi yang disahkan pada masa "Demokrasi Berdisiplin", dari 664 kursi parlemen, militer mendapat jatah gratis 166 kursi. Urusan pertahanan, keamanan perbatasan, kementerian dalam negeri, dan luar negeri, termasuk anggaran belanjanya, juga tak boleh disentuh oleh penguasa sipil. Satu hal lagi kekuasaan besar para jenderal. Mereka berhak menentukan apakah "negara ada dalam bahaya", situasi yang memberi mereka kewenangan untuk mengambil alih kekuasaan.


"Militer tetap lebih berkuasa dari pemerintah sipil," kata Myint Lwin, pengurus NLD dan kandidat anggota Hluttaw dari kota Pazuntaung, kepada New Yorker. Myint hanya berharap, jika partainya berkuasa, mereka bisa tawar menawar dengan para jenderal yang berkuasa di balik layar, untuk mengubah konstitusi. Syaratnya, NLD harus memberi "insentif" kepada para jenderal itu, salah satunya adalah jaminan bahwa mereka tak akan menuntut balas atas dosa mereka di masa lalu.

"Jual-beli" dengan para jenderal tua berkuasa ini terang bukan hal gampang. "Tak ada tanda mereka bersedia mundur satu inci pun," kata Mark Farmaner, Direktur Burma Campaign. (sap/iy/fn)