JAKARTA (RR) - Dunia perguruan tinggi dihebohkan dengan penonaktifan puluhan kampus swasta akibat kekurangan dosen. Pemerintah membuat regulasi baru untuk mengatasi kekurangan dosen ini. Sehingga kampus berstatus nonaktif bisa kembali beroperasi dan menerima mahasiswa baru lagi.
Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristek Dikti) Mohammad Nasir menuturkan, regulasi rasio jumlah dosen dengan mahasiswa harus wajar. "Tidak boleh lagi ada rasio satu dosen mengajar hingga ratusan mahasiswa," katanya di sela peninjauan ujian mandiri masuk Universitas Diponegoro (Undip) di SMKN 29 Jakarta kemarin.
Nasir menuturkan banyak sekali kampus swasta yang disanksi nonaktif karena memiliki rasio jumlah mahasiswa dengan dosen yang tidak wajar. Diantara contohnya adalah di Universitas PGRI Jember. Hingga saat ini ada 20 unit PTS di Jawa Timur yang berstatus nonaktif. Dia menegaskan bahwa kampus dengan status nonaktif tidak boleh menerima mahasiswa baru tahun akademik 2015-2016 sampai statusnya aktif kembali.
"Pemerintah tetap melakukan pembinaan. Caranya dengan membuat regulasi baru pemenuhan jumlah dosen," ujar mantan rektor Undip Semarang itu. Strateginya adalah dengan membuat nomor induk dosen nasional khusus (NIDNK). Dalam waktu dekat Permenristekdikti terkait NIDNK ini akan diterbitkan.
Dengan skema NIDNK itu, Nasir berharap pemenuhan dosen di kampus-kampus yang kekurangan dosen bisa segera tercapai. Selama ini pengisian dosen yang resmi dihitung oleh pemerintah hanya dosen yang memiliki nomor induk dosen nasional (NIDN). "Jadi sekarang selain diisi oleh dosen yang ber-NIDN, juga ada dosen yang ber-NIDNK," tuturnya.
Lantas siapa yang bisa menjadi dosen dan memiliki NIDNK itu? Nasir mengatakan dosen-dosen dengan NIDNK bisa diisi oleh dosen-dosen PNS yang sudah pensiun. Selain itu juga bisa diisi oleh guru-guru bergelar S2 untuk mengajar mahasiswa S1. Dengan catatan guru yang direkrut oleh kampus itu harus meninggalkan profesi guru dan menanggalkan nomor unik pendidik dan tenaga kependidikan (NUPTK).
Nasir mengatakan meskipun ada keleluasan mencari dosen baru, aturan bakunya tetap berlaku. Yakni dosen-dosen "cabutan" harus berkualifikasi S2 untuk mengajar mahasiswa S1. Kemudian harus S3 untuk mengajar mahasiswa S2. Dengan sistem baru ini, kampus swasta juga bisa merekrut guru besar yang sudah pensiun sebagai PNS.
"Catatan lainnya adalah, sepanjang para dosen pensiunan itu masih sehat. Masih kuat mengajar di jam perkuliahan," tutur Nasir. Mereka tidak boleh hanya menumpang titip absen sebagai formalitas pemenuhan jumlah dosen di kampus swasta. Tetapi harus benar-benar mengajar seperti dosen biasanya.
Nasir juga menegaskan bahwa pemerintah tidak bertanggung jawab atas gaji, tunjangan profesi dosen, serta hak-hak jaminan sosial lainnya kepada dosen ber-NIDNK. Semua kewajiban jaminan sosial dan kesejahteraan itu mutlak tanggung jawab kampus yang merekrut. Berbeda dengan dosen ber-NIDN yang berhak memperoleh tunjangan sertifikasi selama memenuhi syarat.
Melalui skema ini keberadaan jumlah dosen di PTS tidak hanya dihitung dari yang ber-NIDN saja. Tetapi juga diakumulasikan dengan dosen-dosen "cabutan" yang ber-NIDNK tadi. Jika skema ini berjalan lancar, maka penambahan jumlah dosen di kampus swasta bisa berjalan cepat. Penambahan jumlah dosen tidak hanya berjalan secara alami dengan merekrut tenaga-tenaga baru lulusan S2.
Memasuki tahun akademik 2015-2016, Nasir juga mengingatkan supaya masyarakat cerdas memilih kampus. "Lihat di pangkalan data kami, jangan masuk ke kampus yang berstatus nonaktif," tuturnya. Resiko paling berat jika memaksakan kuliah di kampus nonaktif adalah legalitas ijazah tidak diakui.(rpc/rr)