Sebanyak 500 Ribu Orang Asia Pasifik Tewas dalam Bencana

Administrator - Jumat, 30 Oktober 2015 - 12:09:35 wib
Sebanyak 500 Ribu Orang Asia Pasifik Tewas dalam Bencana
FOTO: cnnindonesia

JAKARTA (RRN) - Laporan Bencana PBB Asia-Pasifik 2015 yang dirilis pada Selasa (27/10) menyebutkan bahwa kawasan Asia Pasifik, yang sebagian besar wilayahnya merupakan wilayah paling rawan bencana di dunia, hingga 2014 lalu dilanda 1.625 bencana selama dekade ini, menyebabkan sekitar 500 ribu korban tewas.

Laporan itu juga menyebutkan total bencana di kawasan Asia Pasifik, yang mencapai 40 persen dari total bencana dunia, memberikan dampak bagi 1,4 miliar orang dan menyebabkan kerugian ekonomi senilai US$523 miliar.

Tingginya angka bencana di kawasan ini membuat PBB mendesak pemerintah negara-negara setempat untuk berinvestasi lebih banyak dalam upaya beradaptasi dengan perubahan iklim dan persiapan bencana. Belum lagi, pertumbuhan ekonomi yang pesat dan menjamurnya populasi semakin meningkatkan risiko tingginya jumlah korban dalam bencana yang terjadi.
•    
"Membangun ketahanan bukanlah pilihan atau tindakan yang mewah bagi kami, tapi merupakan suatu keharusan," kata Shamshad Akhtar, kepala pembangunan daerah PBB untuk Asia Pasifik dalam perilisian laporan tersebut di Bangkok, Thailand, dikutip dari Channel NewsAsia, Selasa (27/10).

"Berinvestasi dalam pengurangan risiko bencana tentu terbukti efektif. Ini adalah daerah kritis, tetapi (investasi semacam) itu diabaikan," ujar Akhtar.

Laporan tersebut juga menyebutkan terdapat sekitar 772 juta rakyat miskin di kawasan Asia Pasifik yang sangat rentan terhadap bencana dan cenderung hidup di wilayah yang kumuh pinggir kota yang rawan bahaya, seperti di lereng curam, dataran langganan banjir dan bantaran sungai.

Akhtar memaparkan mereka kekurangan sumber daya untuk mencegah terjadinya bencana dan tidak memiliki tabungan ketika bencana melanda.

Menurut laporan tersebut, bantuan internasional untuk penanggulangan bencana berjumlah US$28 miliar pada periode 2004 hingga 2013. Namun, sebagian besar dari jumlah dana tersebut digunakan untuk tanggap darurat dan rehabilitasi pasca bencana, dan bukan untuk pencegahan.

Di negara kepulan Fiji, misalnya, pemerintah mulai mengalokasikan dana untuk pengurangan risiko bencana pada 2013, "bergeser dari budaya reaksi menjadi budaya pencegahan", kata Menteri Manajemen Bencana Nasional Fiji, Inia Batikoto Seruiratu.

Berpenduduk sekitar 887 ribu orang, Fiji memperbaiki kondisi jalan, jembatan dan dermaga, serta sejumlah infrastruktur air dan listrik, menurut pemaparan Seruiratu di pusat konferensi PBB di Bangkok.

Dengan sebagian besar penduduknya tinggal di daerah pedesaan, Fiji juga berfokus pada sejumlah program yang bertujuan untuk memastikan kesejahteraan ekonomi. Fiji juga meningkatkan anggaran untuk membantu masyarakat pedesaan memperbaiki atau membangun kembali rumah mereka dengan bahan yang memiliki kualitas yang lebih baik, sehingga dapat menahan badai.

"Jika Anda melihat jumlah bantuan dari bencana sebelumnya, banyak uang yang dihabiskan untuk rehabilitasi perumahan karena kebanyakan orang kehilangan rumah mereka," kata Seruiratu.

"Ini tentang biaya dan manfaat: tingkatkan alokasi dana pada perumahan, ketimbang menghabiskan lebih banyak uang ketika bencana datang," ujar Seruiratu.

Kerja sama regional

Sementara, Akhtar menyatakan bahwa kerja sama regional diperlukan karena banyak bencana yang menyerang sejumlah negara secara bersamaan, termasuk banjir, angin topan, kekeringan, dan yang terbaru adalah gempa berkekuatan 7,5 SR pada Senin (26/10) yang menewaskan lebih dari 300 orang di Afghanistan dan Pakistan.

"Ini menjadi keprihatinan kami bahwa bencana terjadi lebih sering, jauh lebih besar dari sebelumnya dan lebih intens," katanya.

"Peningkatan ancaman bencana lintas batas membuat permintaan soal pembagian informasi dan kerja sama lintas batas meningkat," ujar Akhtar.

Akhtar juga menyatakan bahwa sistem peringatan dini akan membantu menyelamatkan banyak nyawa, jika sistem peringatan dini dapat menyebarkan peringatan bencana dengan cepat dan meningkatkan kesadaran masyarakat soal cara menanggapi bencana yang akan terjadi. Selain itu, harus ada keberlanjutan keuangan jangka panjang untuk mendukung pengembangan mekanisme ini.

"Sejak tsunami Samudera Hindia terjadi tahun 2004, sistem peringatan dini kita menguat, namun kesenjangan masih ada," kata Akhtar. (ama/stu/fn)