Dituduh Lakukan Spionase, Dua Warga Jepang Ditahan China

Administrator - Jumat, 02 Oktober 2015 - 13:51:57 wib
Dituduh Lakukan Spionase, Dua Warga Jepang Ditahan China
FOTO: cnnindonesia

JAKARTA (RRN) - China menahan dua warga Jepang atas tuduhan spionase. Laporan yang diberitakan oleh harian Asahi ini membuat Jepang langsung menampik tuduhan bahwa negaranya memata-matai China atau negara lain.

Diberitakan Asahi seperti dilansir Reuters, dua orang yang bekerja di sektor swasta tersebut sebenarnya telah ditahan selama beberapa bulan.

Pria pertama ditahan di Provinsi Liaoning, China, dekat perbatasan dengan Korea Utara. Sementara satu terduga mata-mata lainnya dibekuk di Provinsi Zhejiang, dekat fasilitas militer.
•    
Menurut Asahi, China nampaknya akan mencari tahu apakah kedua orang tersebut bekerja di bawah instruksi pemerintah Jepang.

"Kami mengetahui laporan itu, tapi menahan diri untuk berkomentar mengenai insiden spesifik. Dalam setiap kasus, negara kami selalu memikirikan segala upaya untuk menjamin keselamatan warga negara kami di luar negeri," ujar Kepala Sekretaris Kabinet Jepang, Yoshihide Suga.

Ketika ditanya apakah Jepang pernah terlibat dalam upaya mata-mata terhadap China, Yoshihide kembali memilih bungkam.

"Negara kami tentu tidak melakukan hal semacam itu. Saya ingin mengatakan bahwa ini juga terjadi kepada semua negara," katanya.

Presiden China, Xi Jinping, belakangan ini memang tengah melakukan kajian ulang seluruh hukum dan regulasi keamanan. Salah satu upayanya adalah membentuk komisi keamanan nasional baru dan mengganti namanya menjadi Hukum Kontra-Spionase.

Pada 2010, empat warga Jepang ditahan sementara di China atas dugaan memasuki wilayah militer dan mengabadikan foto tanpa izin. Penahanan tersebut terjadi ketika hubungan China dan Jepang sedang tegang.

Hubungan kedua negara selalu mengalami pasang surut sejak berakhirnya Perang Dunia II dan diwarnai dengan saling klaim wilayah. Namun, hubungan mulai cair setelah Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe, beberapa kali bertemu dengan Xi pada November tahun lalu. (stu/fn)