RADARRIAUNET.COM: Polemik terbit atau tidaknya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) terkait UU No. 19 tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) terus menjadi perbincangan publik. Terutama, setelah Presiden Jokowi menyatakan tidak akan mengeluarkan Perppu KPK sebelum ada putusan pengujian UU KPK.
Alasan Presiden menghargai proses pengujian Perubahan UU KPK yang sedang berlangsung di Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai adab sopan santun dalam kehidupan bertata negara. "Saya kira kita harus tahu sopan santun dalam bertata negara," ujar Presiden Jokowi
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Jember Bayu Dwi Anggono menilai adab sopan santun bertata negara tidak dikenal dalam hukum tata negara. Justru, jika adab sopan santun bertata negara dijalankan akan terjadi kemandekan dalam bernegara. Misalnya, karena adab sopan santun anggota BPK tidak berani mengawasi pengelolaan anggaran DPR karena mereka dipilih oleh DPR,menyitat dari TRT Kamis (14/11/2019).
Begitu pula KPK tidak berani menindak anggota DPR yang terlibat kasus korupsi karena mereka dipilih oleh DPR. “Jika ini yang terjadi, maka rakyat yang dirugikan. Terjadi kemandekan bernegara,” kata Bayu.
Menurut Bayu, adab sopan santun itu lebih tepat jika dikaitkan dengan pemimpin yang mengingkari janji kampanye. Sejak terpilih sebagai Presiden periode 2014-2019, Bayu menilai Presiden Jokowi tidak pernah serius atau kemauan menjalankan program pemberantasan korupsi dan memperkuat KPK.Padahal dalam periode tersebut, Presiden Jokowi sedikitnya punya 3 kesempatan untuk membuktikan komitmen dan keseriusannya terhadap isu antikorupsi.
Pertama, Presiden Jokowi seharusnya tidak menerbitkan Surat Presiden (surpres) yang memerintahkan jajarannya untuk membahas revisi UU KPK dengan DPR. Tapi faktanya, Presiden menerbitkan surpres.
Kedua, saat pembahasan revisi UU KPK di DPR Presiden bisa menarik menterinya agar tidak melanjutkan pembahasan, tapi itu tidak dilakukan. Ketiga, saat hasil revisi UU KPK disetujui Presiden Jokowi tidak menandatanganinya, tapi juga tidak menerbitkan Perppu. “Kalau begini dimana komitmen pemberantasan korupsi Presiden Jokowi?”
Bayu mengingatkan Pasal 22 UUD 1945 menyebut dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa Presiden berhak menetapkan Perppu. Artinya Perppu merupakan kewenangan yang dimiliki dan hak subyektif Presiden setelah menimbang kondisi (kegentingan). “Tidak ada dalam konstitusi bahwa Perppu tergantung lembaga lain,” kritiknya.
Baginya, menerbitkan Perppu KPK tergantung kemauan dan niat baik Presiden. Presiden tidak perlu melempar tanggung jawabnya kepada lembaga lain. Sebab, sebenarnya polemik revisi UU KPK yang terjadi di masyarakat disebabkan oleh pemerintah dan DPR. Jika memang Presiden merasa ada yang tidak benar dalam revisi UU KPK, dia seharusnya sejak awal mengambil tanggung jawab itu tanpa menunggu putusan MK.
Ketimbang memberi harapan yang tidak pasti kepada masyarakat, Bayu mengusulkan Presiden Jokowi untuk tegas menyatakan apakah dia mendukung atau tidak UU KPK hasil revisi itu. Jika Presiden mendukung revisi itu, maka dia bisa mengatakan agar pihak yang tidak setuju untuk melakukan uji materi ke MK.
Jika Presiden Jokowi menerbitkan Perppu, Bayu menyebut uji materi UU KPK di MK akan selesai karena obyeknya gugur. Bayu mengingatkan hasil putusan MK nanti belum tentu mengabulkan seluruh permohonan yang diajukan para pemohon. Karena itu, penyelesaian polemik Perubahan UU KPK ini lebih tepat melalui penerbitan Perppu KPK oleh Presiden.
Bukan soal adab
Direktur KoDe Inisiatif Veri Junaidi berpendapat kegentingan menjadi alasan kuat terbitnya Perppu dan tidak perlu menunggu pengujian Perubahan UU KPK di MK. Sebab, proses pengujian di MK hanya menyasar konstitusionalitas UU KPK itu. “MK hanya menguji apakah regulasi itu bertentangan dengan konstitusi atau tidak,” kata dia.
Veri mengingatkan dalam beberapa kesempatan Presiden Jokowi sempat berjanji akan mempertimbangkan untuk menerbitkan Perppu, sehingga tidak perlu lagi menunggu putusan MK karena Presiden bisa menerbitkan Perppu dengan alasan kegentingan. Seperti Bayu, Veri yakin terbitnya Perppu itu dapat menyelesaikan persoalan terkait polemik revisi UU KPK.
Menurut Veri, polemik ini bukan soal adab sopan santun bertatanegara, tapi posisikan setiap lembaga sesuai kewenangannya yang diatur konstitusi. Saat ini proses uji materi di MK terus berjalan, tapi Presiden pun punya hak untuk menerbitkan kebijakan lewat Perppu KPK. Baginya, jika Perppu yang diterbitkan nanti mengubah substansi Revisi UU KPK atau mengembalikan pada UU KPK sebelumnya, maka obyek uji materi UU KPK otomatis akan hilang.
Selanjutnya, tergantung pemohon apakah ingin melanjutkan persidangan atau mencabut permohonan. “Jika Perppu KPK terbit dan pemohon minta agar persidangan dilanjutkan, maka hasilnya nanti bisa dipastikan putusannya N.O (niet ontvankelijke verklaard),” kata Veri.
Wakil Ketua Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Bivitri Susanti menilai alasan Presiden tidak menerbitkan Perppu KPK karena ada uji materi di MK kurang tepat. Sebab, penerbitan Perppu tidak bisa digantungkan pada proses uji materi yang dilakukan lembaga lain. “Jadi kapanpun Presiden merasa ada kegentingan memaksa, maka Perppu bisa dikeluarkan. Jadi tidak ada deadline (putusan MK, red),” kata Bivitri.
Menurut Bivitri, terbitnya Perppu KPK tidak menjadi persoalan ketika ada proses uji materi di MK. Sebab, cabang kekuasaan eksekutif dan yudikatif antara Presiden dan MK berbeda fungsi dan wewenangnya. Dia yakin 9 hakim MK tak tersinggung bila Presiden menerbitkan Perppu, meskipun proses uji materi masih berjalan karena menyadari memiliki perbedaan fungsi dan wewenangnya.“Argumentasi Presiden menerbitkan Perppu mesti menunggu proses di MK adalah keliru, bahkan menyesatkan!”
Dia menambahkan jika Perppu KPK tak terbit, maka KPK menjadi lembaga pencegahan korupsi karena fungsi penindakan telah dilucuti dengan keberadaan Dewan Pengawas dan dihilangkannya fungsi pimpinan KPK sebagai penyidik dan penuntut. “Pemberantasan korupsi bakal terjun bebas dan indeks persepsi korupsi di Indonesia bakal jeblok.
RR/DRS/HKN