RADARRIAUNET.COM: Dua dari tiga penerima nobel bidang ekonomi yakni pasangan suami istri Abhijit Banerjee dan Esther Dufflo menulis buku Poor Economics yang berisikan potret kemiskinan yang menjerat dunia. Dalam bukunya itu disebutkan perlunya cara radikal guna memerangi kemiskinan. Buku ini menjadi menarik karena Indonesia menjadi salah satu dari puluhan negara yang mereka teliti tentang kemiskinan.
Terdapat beberapa kisah dari buku itu yang menggambarkan tentang realitas kemiskinan yang membelenggu sekitar 25,14 juta orang Indonesia (Data BPS, Maret 2019).
Misalnya kisah Pak Sudarno, seorang pemulung di daerah kumuh di Jawa Barat yang memiliki 9 anak. Dari hasil wawancara Abhijit dan Dufo pada 2008, terungkap bahwa alasannya memiliki banyak anak berasal dari pemikiran bahwa anak adalah ‘insurance’ bagi dia di masa tua nanti.
Dengan memiliki banyak anak, pak Sudarno merasa yakin bahwa minimal salah satu dari anak-anaknya pasti akan mengurus dirinya di masa tua. Anak menjadi portofolio bagi orang tua. Meski dirinya tahu bahwa ada risiko besar juga timbul dengan memiliki banyak anak yakni kemampuan memberikan penghidupan yang layak.
Pemikiran seperti itu sebenarnya sudah ada dari zaman manusia purba, seperti yang ditulis oleh ahli sejarah Yuval Harari dalam bukunya Homo Deus, bahwa manusia purba hidup berkelompok dan tidur sambil menatap wajah anak-anaknya yang akan menjadi ‘polis asuransi’ bagi kehidupan masa tua mereka. Adapun pemikiran kuno itu telah lama dikikis di masyarakat Barat. Di belahan Eropa ataupun Jepang, tidak lagi dijumpai orang tua yang hidup bersama anaknya yang sudah berkeluarga. Fungsi asuransi di hari tua telah digantikan oleh negara yang menyediakan social security net (jaring pengaman) bagi para lansia. Selain juga kesadaran masyarakat modern untuk mengasuransikan dirinya ke perusahaan asuransi.
Kembali ke potret kemiskinan di Indonesia, Ahbijit dan Dufflo juga mewawancarai Pak Solhin (mungkin sebenarnya Solihin) seorang buruh tani yang harus pensiun dini di usia 40-an. Solihin berkisah bahwa orangtuanya dulu adalah petani dengan 13 anak. Areal sawah yang dimiliki keluarga besar habis terbagi untuk menyediakan rumah bagi 13 anaknya. Berubahlah nasib keluarga Solihin dari petani yang memiliki lahan menjadi petani tanpa lahan alias buruh tani.
Kenaikan harga-harga bahan produksi pertanian seperti bibit, pupuk dan lainnya menyebabkan pemilik lahan mem-PHK Solihin dan buruh tanah lainnya. Karena tidak memiliki ketrampilan untuk bekerja di sektor lain, maka untuk menopang keluarga berangkatlah istrinya untuk menjadi asisten rumah tangga (ART) di Jakarta. Namun upah sebagai ART tidaklah bisa diandalkan. Akibatnya, anak tertuanya putus sekolah di tingkat SMP dan menjadi buruh bangunan dan dua anaknya dititipkan kepada nenek kakeknya.
Adapun Solihin sendiri tidak bisa lagi bekerja karena tidak memiliki keahlian. Sementara pemilik lahan pertanian lain pun tidak ingin merekrut dia karena dianggap sudah tidak lagi bertenaga di usianya yang sebenar masih di masa produktif.
Kisah dua wanita tidak luput direkam oleh pasangan suami istri Ahbijit dan Dufflo. Ada kisah ibu Emptat yang tinggal di daerah slump Cicadas dan tidak berdaya mengobati penyakit yang diderita suami dan anaknya. Pada mulanya ibu Emptat meminjam uang kepada rentenir untuk mengobati suaminya yang sakit mata. Dalam waktu singkat, pinjaman sekitar Rp100 ribu meningkat menjadi satu juta rupiah karena ia tidak mampu untuk membayar. Si rentenir sudah mengancam untuk mengambil barang apapun yang ada di rumah ibu Emptat sebagai bayaran utangnya. Alhasil, si bungsu yang menderita asma, tidak bisa memperoleh pengobatan karena tidak ada uang untuk berobat ke layanan kesehatan.
Yang mengherankan adalah ibu Emptat ini memiliki seorang anak yang sudah berkeluarga dan baru saja membeli televisi seharga Rp800 ribu. Ia memberikan tv lamanya kepada ibu Emptat. Ahbijit bertanya mengapa tidak diberikan saja uang Rp800 ribu pembeli tv kepada ibu Emptat dan sang anak masih bertahan dengan tv lamanya. Namun si ibu hanya menggelengkan kepala dan mengatakan bahwa keluarga anaknya memiliki permasalahan. Kisah ini sebenarnya meruntuhkan teori bahwa anak adalah jarang pengaman sosial atau asuransi di masa tua.
Kisah seorang ibu lain yang terekam oleh Ahbijit dan Dufflo adalah ibu Tina. Seorang istri dari empat anak yang sempat menjalani kehidupan berwirausaha bersama sang suami. Dalam perjalanan bisnisnya sebagai pelaku UKM tekstil, mereka ditipu oleh pembelinya sebesar Rp20 juta. Mereka mengadukan itu ke aparat penegak hukum. Sang aparat meminta ‘dana operasional’ Rp2,5 juta untuk menuntaskan kasus itu. Si pengemplang ditangkap dan ditahan selama beberapa minggu, dan keluar dari tahanan setelah memberikan uang Rp4 juta dan janji melunasi kewajibannya. Dari Rp4 juta yang dibayarkan pengemplang, dana Rp2 juta diminta aparat. Sehingga keluarga ibu Tina total mengeluarkan dana Rp4,5 juta untuk mendapatkan uang Rp4 juta dari pengemplang yang pada akhirnya kabur melarikan diri entah kemana.
Ibu Tina sempat berusaha bangkit lagi dengan meminjam uang Rp15 juta dari program PUKK. Usaha sempat berjalan, namun kembali ambruk karena pesanan pakaian yang diterima dari seorang pelanggannya batal dan tidak terbayar. Sehinggga pakaian pesanan itu hanya menumpuk dan tidak bisa jadi modal untuk berusaha lagi. Setelah kegagalan berusaha itu, sang suami pun meninggalkan dia. Dan tinggallah ibu Tina dengan empat orang anaknya bersama ibu kandungnya yang sudah tua dan juga dua saudara laki-lakinya yang berprofesi sebagai supir taksi dan buruh bangunan di rumah kecil di kawasan kumuh Bandung.
Potret kemiskinan yang dipaparkan oleh duo penerima nobel ekonomi itu memang terjadi satu dekade lalu. Saat ini pemerintah sudah menggelontorkan berbagai program bagi masyarakat miskin. Bantuan permodalan usaha telah dilakukan melalui Kredit Usaha Rakyat ataupun Program Keluarga Harapan. Bantuan finansial juga diberikan bagi keluarga yang memiliki anak usia sekolah dan tidak mampu. Jaminan kesehatan nasional telah diwujudkan melaui BPJS Kesehatan. Dan beragam program upaya pengentasan kemiskinan terus dijalankan.
Satu hal yang paling relevan untuk terus diperjuangkan di Indonesia dan juga negara lainnya adalah membangun sistem demokrasi yang tangguh. Dengan demokrasi, pilihan kebijakan yang tepat dapat dijalankan. Sebab sebuah policy yang bagus tidak bisa dilaksanakan dalam iklim demokrasi yang buruk. Korupsi menjadi salah satu musuh bersama yang perlu diberangus. Sebab Korupsi membuat upaya pengentasan kemiskinan tidak berjalan dan menciptakan kemiskinan baru. Bagian terakhir dari buku Ahbijit dan Dufflo layak dibaca dan dipahami secara mendalam oleh para politikus kita yang saat ini berkiprah di DPR, DPRD, MPR dan DPD. Di tangan mereka jugalah sebagian upaya pengentasan kemiskinan berada.
RR/MI