Menghargai Kehadiran Macan Tutul Jawa di Papandayan

Administrator - Rabu, 24 April 2019 - 13:30:49 wib
Menghargai Kehadiran Macan Tutul Jawa di Papandayan
Seekor macan tutul jawa (Panthera pardaus melas) ditemukan warga tergeletak dengan kondisi mata kanan buta dan sedikit luka di kepala di Dusun Kersamenak, Desa Pamokolan, Ciamis, Jawa Barat. cnni pic

Jakarta : Nasib Macan Tutul Jawa (Panthera pardus melas) dengan predikat raja hutan di kawasan konservasi Gunung Guntur-Papandayan di wilayah Kabupaten Bandung dan Garut, kini semakin terancam karena habitatnya semakin memprihatinkan.

Pemegang tahta tertinggi dalam rantai makanan ini, tidak berdaya karena hutan yang menjadi tempat tinggalnya semakin terbatas dan sulit untuk mendapatkan mangsa akibat ulah manusia yang merambah wilayah mereka.

Nasib Macan Tutul Jawa memang belum sampai seperti Harimau Sumatera, namun faktanya populasi fauna ini semakin terbatas, bahkan sudah diambang kepunahan.


Disitat CNN Indonesia, Rabu (24/4/2019), berdasarkan survei yang diselenggarakan Conservation International Indonesia bekerja sama dengan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Barat menggunakan perangkap kamera (camera trap) 30 titik sepanjang 2016-2018, berhasil merekam 83 gambar Macan Tutul Jawa.

Senior Manager Terrestrial Program Conservation International Indonesia, Anton Ario, menjelaskan survei dilakukan dengan membagi seluruh kawasan menjadi empat blok, yaitu Blok Guntur, Kamojang, Darajat, dan Papandayan, meliputi luasan sampling 120 kilometer persegi.

Sebanyak 30 kamera tersebut ditempatkan pada dua blok (masing-masing 15 unit) dan setelah 30 hari pengoperasian, secara bergantian kamera dipindahkan pada dua blok berikutnya, sehingga total petak contoh yang terisi kamera berjumlah 60 petak.


Dalam setiap periode pengoperasian di lapangan, setiap camera trap beroperasi selama 30 hari, yang merupakan peristiwa pendataan (sampling occation).

Selama periode pemasangan kamera di Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK) Guntur-Papandayan, kehadiran Macan Tutul Jawa diperoleh 36 dari 60 lokasi, meliputi 11 di Blok Darajat, 15 di Blok Papandayan, tiga lokasi di Blok Guntur, dan tujuh lokasi di Blok Kamojang.

Setiap individu Macan Tutul Jawa dapat dibedakan satu sama lain berdasarkan ukuran tubuh, jenis kelamin dan pola totol di tubuh masing-masing.


Berdasarkan hasil identifikasi setiap individu, terdeteksi 10 individu Macan Tutul Jawa di lokasi penelitian yang terdiri atas tiga individu jantan dewasa dan tujuh individu betina dewasa.

Luas sampling area dalam penelitian ini 120 kilometer persegi. Berdasarkan analisis dengan menggunakan model Spatially Explicit Capture-Recapture (SECR), diperoleh kepadatan populasi Macan Tutul Jawa di KPHK Guntur-Papandayan, yaitu satu individu per 19,6 kilometer persegi.

Habitat potensial yang dapat digunakan (mask area) seluas 197 kilometer persegi, lebih luas dari kawasan KPHK Guntur-Papandayan (sekitar 15.318 hektare).

Hal itu berarti kawasan penyangga (buffer zone) KPHK Guntur-Papandayan, yaitu kawasan Perhutani, merupakan area yang memiliki potensi dalam mendukung populasi Macan Tutul Jawa.


Berdasarkan hasil foto, keberadaan Macan Tutul Jawa terdeteksi pada ketinggian antara 1.114-2.635 meter dari permukaan laut. Hal ini karena hampir sebagian besar kawasan KPHK Guntur-Papandayan merupakan daerah ekosistem hutan hujan pegunungan dataran tinggi.

Macan Tutul Jawa terdeteksi aktif sepanjang hari, baik pagi-siang-hingga malam hari. Waktu terfoto tertinggi antara pukul 06.00-08.00 WIB (15 persen) dan terendah pada pukul 10.00-12.00 WIB (3,3 persen).

Gunung Guntur dan Papandayan adalah bagian dari salah satu lanskap penting bagi kawasan prioritas konservasi di Jawa Barat.

Lanskap ini berisi keanekaragaman flora dan rumah bagi beberapa spesies satwa unik dan terancam punah, seperti Owa Jawa (Hylobates moloch), Surili (Presbytis comata), Elang Jawa (Nisaetus bartelsi), Kukang (Nycticebus javanicus), dan Macan Tutul Jawa.


Anton mengungkapkan pekerjaan rumah terbesar untuk menjaga kelestarian flora dan fauna di kawasan konservasi KPHK Guntur-Papandayan adalah menghadapi para perambah yang berusaha menanami kawasan konservasi dengan tanaman produktif, seperti sayuran, kopi, dan tanaman buah lainnya.

Menurut Anton, persoalan ekonomi menjadi penyebab masyarakat merambah lahan konservasi. Untuk itu perlu dilakukan pemberdayaan masyarakat melalui rangkaian kegiatan pelatihan, berupa pembibitan, penanaman, dan pemeliharaan pohon, pembuatan pupuk organik dan pestisida organik, demplot biogas, pertanian, peternakan dan perikanan terintegrasi, serta penguatan kelembagaan kelompok masyarakat.

Anton mengatakan masyarakat dilibatkan untuk menanam dan memelihara tanaman yang merupakan endemi kawasan konservasi, tujuannya mengembalikan fungsi lahan yang sudah terlanjur berubah menjadi lahan pertanian.

Dengan mengembalikan fungsi kawasan di KPHK Guntur-Papandayan diharapkan fauna yang selama ini menjadi buruan Macan Tutul Jawa juga ikut berkembang.


KPHK Guntur Papandayan ditetapkan berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan RI No: SK.984/Menhut-II/2013 tentang wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi Guntur-Papandayan, yang terletak di Kabupaten Bandung dan Kabupaten Garut, Jawa Barat seluas sekitar 15.318 hektare.

Kawasan ini meliputi lima kawasan, antara lain Taman Wisata Alam Gunung Guntur seluas sekitar 250 hektare, Taman Wisata Alam Gunung Papandayan seluas sekitar 225 hektare, Cagar Alam Gunung Papandayan seluas sekitar 6.807 hektare, Taman Wisata Alam Kawah Kamojang seluas sekitar 500 hektare, dan Cagar Alam Kawah Kamojang seluas sekitar 7.536 hektare.

KPHK Guntur-Papandayan saat ini berada dalam pengelolaan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Barat, Bidang wilayah III, seksi wilayah V Garut. Terdapat 43 desa penyangga dan 15 kecamatan di sekitar KPHK Guntur-Papandayan .

Menurut Kepala KPHK Guntur-Papandayan, Gede Gelgel Darma Putra, dalam kerja sama dengan Conservation Internasional lebih bersifat pendampingan, dalam artian untuk memastikan program pelestarian yang dijalankan menggunakan tanaman endemi kawasan konservasi serta benar-benar melibatkan masyarakat setempat.


RRN/CNNI