Ikhtiar Terakhir Menjaga Demokrasi

Administrator - Sabtu, 13 April 2019 - 23:59:24 wib
Ikhtiar Terakhir Menjaga Demokrasi
Ilustrasi. Foto: MI

RADARRIAUNET.COM: Journal of Democracy edisi Januari 2015 mengangkat topik tentang menurunnya performa demokrasi secara global. Larry Diamond dalam tulisannya di jurnal itu, Facing Up to the Democratic Recession, menyebut bahwa resesi demokrasi ini terjadi sejak 2006. Penurunan itu terjadi bukan hanya di negara-negara yang baru berdemokrasi dan new emerging market, melainkan juga Eropa Barat dan Amerika Serikat. Pada saat yang sama, terjadi pendalaman otoritarianisme di Rusia dan Tiongkok.

Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, dalam buku How Democracies Die, bahkan melangkah lebih jauh mendeteksi tanda-tanda kematian demokrasi. Keduanya menemukan bahwa saat ini ancaman terhadap demokrasi tidak lagi datang dari sekelompok militer yang merancang kudeta.

Demokrasi mati bukan oleh pengerahan panser dan unjuk senjata di jalan-jalan Ibu Kota. Demokrasi terancam karena para diktator memenangi pertarungan politik di pemilu, seperti Hugo Chavez di Venezuela, para pemimpin terpilih di Georgia, Hungaria, Nikaragua, Peru, Filipina, Polandia, Rusia. Selain itu, Sri Lanka, Turki, dan Ukraina juga melakukan upaya mendegradasi demokrasi.

Dari 15 pemimpin yang terpilih dari 1990 sampai 2012 di Amerika Latin, lima di antaranya, yakni Alberto Fujimori, Hugo Chavez, Evo Morales, Lucio Gutierrez, dan Rafael Correa, tampil sebagai pemimpin yang melemahkan demokrasi di negaranya masing-masing. Kasus yang paling mutakhir ialah terpilihnya Jair Bolsonaro di Brasil.

Tanda-tanda politikus otoriter

Juan Linz mengemukakan sejumlah ciri tokoh atau kekuatan politik yang potensial menjadi otoriter. Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt kemudian merangkumnya dalam empat perilaku. Pertama, mereka menolak, baik dalam tindakan maupun ucapan, mekanisme demokratis. Misalnya, mereka menuduh proses demokrasi tidak sah sejak awal tanpa bukti jelas atau menghadirkan bukti-bukti palsu yang mereka produksi sendiri. Contoh lain ialah mereka mengancam akan melakukan gerakan nondemokratis untuk mendelegitimasi hasil pemilu.

Ciri kedua ialah mereka berupaya mendelegitimasi lawan politik. Misalnya, mereka menyebut lawan politik adalah keturunan negara asing atau terlibat organisasi terlarang yang dengan begitu membuat lawan politik terancam kehilangan legitimasi untuk ikut bertarung. Hal itu pernah dialami Barack Obama dan Joko Widodo.

Ketiga, mereka menoleransi, bahkan mendorong aksi kekerasan. Mereka mengintimidasi pendukung lawan. Contoh terbaik ialah pada Pilkada DKI Jakarta. Saat itu banyak sekali beredar kabar tentang bagaimana para pendukung petahana, Basuki Tjahaja Purnama, ketika itu mendapatkan intimidasi yang dilakukan secara masif dan terencana.

Ciri terakhir ialah mereka menunjukkan suatu tendensi untuk mengurangi kebebasan sipil, termasuk di dalamnya kebebasan pers. Di Amerika Serikat, sikap antipers mainstream ditunjukkan berkali-kali oleh Presiden Donald Trump baik pada masa kampanye maupun setelah terpilih menjadi presiden.

Perlawanan

Levitsky dan Ziblatt menyatakan bahwa seorang politikus yang memiliki satu saja karakter semacam itu patut dicurigai, apalagi jika keempatnya ada di satu sosok. Politikus semacam itu harus dihindarkan dari kekuasaan.

Jika tanda-tanda muncul pada satu pemimpin, besar kemungkinan dia akan menjadikan pemilu untuk merebut kekuasaan lalu tidak melepaskannya lagi untuk jangka waktu yang lama. One man, one vote, one time.

Nancy Bermeo, ilmuwan perilaku politik, mengajukan strategi distansiasi (distancing) untuk mencegah politikus otoriter atau diktator berkuasa. Pertama, kelompok-kelompok prodemokrasi, terutama partai politik, perlu sejak awal menolak menominasikan tokoh atau partai yang memiliki karakter otoriter.

Kedua, basis-basis dukungan kelompok diktator di akar rumput perlu dilemahkan sejak dini. Support finansial perlu dipotong, bahkan tidak diberi sama sekali. Namun, dengan tidak adanya support finansial, misalnya dari pemerintah daerah dan pusat, mereka akan kehilangan energi untuk bergerak.

Ketiga, kekuatan prodemokrasi harus menghindari semua bentuk koalisi atau kerja sama dengan partai atau tokoh yang diidentifikasi membawa semangat otoritarianisme.

Strategi terakhir, kapan pun tokoh atau kekuatan antidemokrasi itu tampak mendekati kemenangan. Maka dari itu, seluruh kekuatan prodemokrasi harus bersatu padu bergerak mengalahkan mereka di bilik-bilik suara. Ego partai dan kelompok harus disampingkan. Segala daya dan energi dicurahkan untuk melawan sang diktator dalam proses pemilu.

Bahkan, bukan hanya partai yang berkewajiban turun, melainkan juga semua elemen masyarakat, seperti jurnalis, akademisi, mahasiswa, aktivis, organisasi-organisasi massa profesi, dan kaum profesional.

Semua elemen masyarakat bergandengan tangan menjadi benteng terakhir demokrasi. Inilah upaya terakhir menjadi demokrasi agar sistem politik ini bisa terhindar dari erosi dan kehancuran dari dalam.

 

Penulis: Saidiman Ahmad, Peneliti Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Alumnus Crawford School of Public Policy, Australian National University/MI