Surabaya: PolMark Indonesia dalam hasil surveinya menunjukkan elektabilitas Jokowi-Ma'ruf Amin sebesar 40,4 persen dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno meraih 25,8 persen suara. Survei dilakukan di 73 daerah pemilihan (dapil) sejak Oktober 2018 sampai Februari 2019.
Meski unggul, CEO sekaligus Founder PolMark Eep Saefulloh Fatah menyebut posisi petahana belum benar-benar aman. Sebab, perolehannya belum dapat melampaui angka 50 persen.
Kondisi tersebut, kata Eep, membuat Jokowi seakan-akan sedang 'dihukum' publik. Padahal, Jokowi telah menampakkan diri atau 'kampanye' sejak menjadi Presiden 2014 silam.
"Dengan 'kampanye' yang lama, petahana belum melampaui 50 persen, maka artinya pemilih sedang menghukum yang bersangkutan (Jokowi)," kata Eep, di Hotel Mercure Grand Mirama Surabaya, seperti sitat CNN Indonesia, Rabu (6/3/2019).
"Hukuman ringan adalah belum memilih, sedangkan hukuman beratnya adalah tidak memilih," tambah Eep.
Elektabilitas petahana disebut Eep diperparah dengan jumlah 33,8 persen responden yang belum menentukan pilihannya (undecided voters).
Selain itu, Eep mengungkapkan dari 40,4 persen suara petahana terdapat 8,9 responden yang menyatakan pilihannya kepada Jokowi masih bisa berubah.
"Dari sisi petahana ini sangat menantang sekaligus membahayakan," ujarnya.
Dari peta elektabilitas tersebut, Eep mengatakan ada 48 persen suara yang sesungguhnya masih bisa diperebutkan untuk pemilihan presiden 2019.
Eep melihat tren survei serupa pernah terjadi pada pemilihan kepala daerah DKI 2012 dan 2017 lalu. Dalam dua Pilkada DKI itu calon petahana tumbang. Eep pun menyebut hal itu bisa saja terulang di pemilihan presiden 2019.
Saat Pilkada DKI 2012 lalu, ketika tren survei mengarah ke pertahana Fauzi Bowo, di akhir nyatanya kemenangan malah diperoleh Jokowi-Ahok.
"Saya teringat Pilkada Jakarta Fauzi Bowo, waktu itu juga mengalami situasi yang mirip dengan pemilihan presiden yang akan terjadi nanti," katanya.
Begitu pula pada 2017, Ahok-Djarot unggul di sejumlah lembaga survei, namun kemenangan malah jatuh ke Anies Baswedan-Sandiaga Uno.
Atas hal tersebut Eep mengaku tak heran kubu petahana kencang menggaungkan langkah pemenangan hingga memunculkan istilah 'perang total'.
"Pak Basuki (Ahok) pada 2017 juga menghadapi persolan serupa. Maka dari itu kami tidak heran kenapa petahana mengikrarkan perang total, karena untuk menuju bagian dari pertarungan (17 april mendatang)," kata Eep.
Survei PolMark Indonesia berlangsung pada 7 Oktober 2018 hingga 12 Februari 2019. Survei dilakukan di 73 daerah pemilihan dari seluruh Indonesia, hasil kerja sama dengan Partai Amanat Nasional (PAN).
Dari 73 dapil, sebanyak 72 dapil yang disurvei melibatkan masing-masing 440 responden. Sisanya, 1 dapil yang disurvei yakni Jawa Barat 3 melibatkan 880 responden. Dengan demikian keseluruhan responden sebesar 32.560 orang yang tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia.
Pengambilan sampel dilakukan menggunakan metode multistage random sampling dengan margin of error kurang lebih 4.8 persen untuk masing-masing 72 dapil. Satu dapil lain yakni Jawa Barat 3 memiliki margin of error kurang lebih 3.4 persen dengan tingkat kepercayaan survei hingga 95 persen.
Responden yang terpilih diwawancarai dengan metode tatap muka oleh pewawancara yang telah dilatih secara khusus. PolMark Indonesia juga melakukan quality control (pengawasan) dengan cara mendatangi kembali (rekonfirmasi) 20 persen responden yang terpilih secara acak.
Hasil survei PolMark Indonesia ini berbeda dengan sejumlah lembaga lain yang rata-rata mencatat elektabilitas Jokowi-Ma'ruf di atas 50 persen.
Salah satunya adalah survei terbaru Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA pada 18-25 Februari 2019 yang dirilis bersamaan.
Survei LSI Denny JA tersebut menemukan elektabilitas Jokowi-Ma'ruf sebesar 58,7 persen dan Prabowo-Sandi 30,9 persen dengan suara tidak sah 0,5 persen dan 9,9 persen yang belum memutuskan. tidak tahu, tidak jawab, dan rahasia.
RRN/CNNI