Jakarta: Anggota Komisi XI DPR RI dari fraksi Partai Demokrat, Amin Santono divonis 8 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta. Amin juga didenda Rp300 juta subsider 3 bulan kurungan.
"Mengadili, menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan korupsi secara bersama-sama dan melakukan gabungan beberapa kejahatan," kata ketua majelis hakim Muhammad Arifin saat membaca amar putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin, 4 Februari 2019.
Dalam pertimbangan hakim, Amin selaku anggota DPR dinilai tidak mendukung pemerintah yang bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Amin terbukti menerima suap sebesar Rp3,3 miliar dari Kepala Dinas Bina Marga Kabupaten Lampung Tengah Taufik Rahman dan Direktur CV Iwan Binangkit Ahmad Ghiast.
Amin dinilai menerima uang bersama-sama dengan konsultan Eka Kamaluddin dan pegawai Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, Yaya Purnomo. Uang itu diberikan agar Amin Santono melalui Eka dan Yaya mengupayakan Kabupaten Sumedang mendapatkan alokasi tambahan Dana Alokasi Khusus (DAK) pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2018.
Uang itu juga diberikan agar Kabupaten Lampung Tengah mendapatkan alokasi anggaran yang bersumber dari DAK dan Dana Insentif Daerah (DID) APBN 2018. Awalnya, Amin menyetujui usulan Eka untuk mengupayakan beberapa kabupaten atau kota mendapatkan tambahan anggaran yang bersumber dari APBN, atau APBN-P dengan menggunakan usulan atau aspirasi Amin selaku anggota Komisi XI DPR.
Selanjutnya, Amin memerintahkan Eka untuk mengajukan proposal penambahan anggaran beberapa daerah. Anggaran itu untuk membiayai bidang pekerjaan prioritas, seperti pembangunan jalan dan jembatan, irigasi, rumah sakit dan pasar.
Proposal tersebut akan diteruskan juga kepada Kemenkeu melalui Ditjen Perimbangan Keuangan, badan anggaran (Banggar) DPR dan Komisi XI DPR. Amin meminta agar diberikan fee sebesar 7 persen dari setiap total anggaran yang akan diterima pemerintah daerah.
Dari total Rp3,3 miliar, sebanyak Rp475 juta diberikan kepada Eka. Sedangkan, Yaya menerima Rp300 juta.
Amin terbukti melanggar Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 jo Pasal 65 ayat 1 KUHP.
KPK memastikan tidak akan mengabaikan fakta-fakta persidangan yang terjadi dalam perkara suap terkait RAPBN-P 2018 yang menjerat mantan anggota DPR Amin Santono dan mantan pejabat di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Yaya Purnomo. Terlebih, dalam pusaran perkara itu muncul dugaan keterlibatan 9 kepala daerah, termasuk Riau.
"Terbuka kemungkinan dilakukan pengembangan sejak awal. Kami juga periksa sejumlah saksi dari sejumlah daerah karena kami duga yang terjadi pada tersangka yang diproses tersebut juga terjadi di daerah lain," kata Kabiro Humas KPK Febri Diansyah, melansir detik.com, Selasa (22/1/2019).
Sembilan nama kepala daerah itu disebut dalam tuntutan Yaya Purnomo dalam persidangan pada Senin, 21 Januari kemarin. Nama-nama yang disebut dalam tuntutan itu pun sudah dimintai keterangan oleh KPK. Febri menyatakan KPK terus mencermati berbagai fakta dan bukti untuk keperluan pengembangan.
"Tentu kami juga tidak bisa mengatakan, KPK akan mentersangkakan kepala daerah lain itu nanti tergantung kecukupan bukti, tapi pengembang sangat dimungkinkan, dan kami cermati," ucapnya.
Di antara nama-nama itu ada yang masih aktif, ada yang sudah mantan, bahkan ada pula yang sudah meninggal dunia. Siapa saja?
Mustafa selaku Bupati Lampung Tengah
Mustafa disebut memberikan uang suap Rp 3,1 miliar lewat seseorang bernama Taufik Rahman yang kemudian diserahkan ke Eka Kamaludin. Uang dari Mustafa itu sebenarnya ditujukan untuk Amin Santono dan Yaya Purnomo sebagai fee pengurusan DAK (Dana Alokasi Khusus) Lampung Tengah.
Rudi Erawan selaku Bupati Halmahera Timur
Rudi disebut memberi gratifikasi kepada Yaya Purnomo sebesar Rp 1,6 miliar untuk kepentingan DAK dan DID (Dana Insentif Daerah) Halmahera Timur pada APBNP 2017.
Aziz Zaenal selaku Bupati Kampar
Dalam tuntutan itu disebut Aziz yang kini sudah almarhum memberi gratifikasi Rp 175 kepada Yaya terkait DAK Kabupaten Kampar bidang pendidikan tahun 2018.
Zulkifli As selaku Wali Kota Dumai
Dia disebut memberi gratifikasi secara bertahap kepada Yaya dan seorang bernama Rifa Surya senilai Rp 450 juta dan SGD 35 ribu untuk mengamankan alokasi DAK Kota Dumai.
Khairudin Syah Sitorus selaku Bupati Labuhanbatu Utara
Khairudin disebut memberi gratifikasi senilai Rp 400 juta dan SGD 290 ribu kepada Yaya Purnomo terkait dengan DAK Labuhanbatu Utara 2018.
Rizal Effendy selaku Wali Kota Balikpapan
Dia disebut bersama Kadis PUPR Balikpapan Tara Allore memberi Rp 1,4 miliar ke Yaya Purnomo terkait pengurusan DID Balikpapan 2018.
Aunur Rafiq selaku Bupati Karimun
Aunur Rafiq terkait pemberian gratifikasi untuk kepentingan DID Karimun. Gratifikasi dari Aunur itu disebut berjumlah Rp 500 juta.
Budi Budiman selaku Wali Kota Tasikmalaya
Dia disebutkan dalam dakwaan tersebut memberi sekitar Rp 700 juta yang dibagikan oleh Yaya Purnomo kepada Puji Suhartono dan Rifa Surya.
Ni Putu Eka Wiryastuti selaku Bupati Tabanan
Eka disebut memberi gratifikasi Rp 600 juta dan USD 55 ribu kepada Yaya Purnomo. Uang itu disebut sebagai gratifikasi untuk kepentingan pengurusan DID Tabanan tahun 2018.
lex/azf/mtvn/haf/dhn/dtc