Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai proses pemberhentian pegawai negeri sipil (PNS) yang divonis bersalah karena korupsi masih terbilang lambat. Lembaga Antirasuah melihat hal itu berdasarkan data yang diterima dari Badan Kepegawaian Nasional (BKN).
Juru bicara KPK Febri Diansyah menjelaskan salah satu penyebabnya lantaran adanya surat dari Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Korps Pegawai Negeri (Korpri) yang meminta penundaan pemberhentian PNS yang terlibat. Selain itu, ada keraguan pejabat pembina kepegawaian (PPK) sehingga menunda pemberhentian PNS.
"Per 14 Januari 2019, dari data BKN, hanya 393 PNS yang diberhentikan tidak dengan hormat dari daftar 2.357 PNS yang telah divonis bersalah melalui putusan berkekuatan hukum tetap," kata Febri melalui keterangan tertulis,Jakarta, disitat metrotvnews.com Jumat 1 Februari 2019.
Menurut dia, di luar 2.357 PNS itu, ada 498 PNS yang terbukti korupsi telah diberhentikan. Total PNS yang diberhentikan karena kasus korupsi pun mencapai 891 orang.
Untuk instansi pemerintah pusat, dari 98 PNS yang divonis bersalah karena korupsi, baru 49 orang yang diberhentikan. Beberapa kementerian tercatat belum memberhentikan sejumlah PNS yang melakukan korupsi.
Di Kementerian Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, ada 9 PNS belum dipecat; Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi 9 orang; Kementerian Kelautan dan Perikanan 4 orang, Kementerian Pertahanan 3 orang; Kementerian Pertanian 3 orang; dan banyak lainnya. Sementara itu, Kementerian terbanyak memberhentikan PNS terbukti korupsi adalah Kementerian Perhubungan sebanyak 17 orang dan Kementerian Agama 7 orang.
KPK pun menyayangkan rendahnya komitmen PPK baik di pusat dan daerah dalam menjalankan perundangan-undangan yang berlaku. KPK masih berkoordinasi untuk memastikan hambatan dalam pemberhentian ini bisa lenyap.
"Apalagi sejak 13 September 2018 telah ditandatangani Keputusan Bersama Mendagri (Menteri Dalam negeri Tjahjo Kumolo), Menpan RB (Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Syafruddin) dan Kepala BKN (Bima Haria Wibisana). Seharusnya hal ini dipatuhi," tutur Febri.
RRN/mtvn