Jakarta: Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengatakan kinerja lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) cenderung menurun setiap tahun. Lucius bahkan menilai DPR periode saat ini merupakan yang terburuk sejak era reformasi.
"Saya kira secara umum bisa kita katakan kinerja DPR sangat buruk kalau dibandingkan dengan DPR-DPR selama era reformasi," kata Lucius di kantor Formappi, Matraman, Jakarta Timur, seperti dikutip dari medcom.id Jumat, 23 November 2018.
Lucius mengatakan tren penurunan kinerja DPR telah terjadi sejak tahun pertama DPR periode ini menjabat pada 2014 lalu.
Dia mencatat pada tahun pertama, DPR hanya berhasil mengegolkan tiga rancangan undang-undang. Jumlah itu meningkat pada tahun kedua menjadi 10 RUU dan terus mengalami penurunan hingga tahun ini.
"Tahun lalu hanya enam dari 52 RUU yang berhasil disahkan DPR, dan tahun ini yang akan segera berakhir dalam hitungan bulan, DPR baru mensahkan 4 RUU dari total 50 RUU yang direncanakan," papar dia.
Padahal, kata dia, biaya yang dikeluarkan DPR untuk membahas satu RUU bisa mencapai Rp8 miliar. Kebiasaan DPR yang kerap memperpanjang masa pembahasan RUU dianggap sebuah inefesiensi besar-besaran.
"Bayangkan setiap tahun DPR memperpanjang masa pembahasan RUU yang sama dari tahun ke tahun. Itu berarti setiap satu RUU setiap tahun memakan anggaran Rp8 miliar," tutur dia.
Lebih lanjut, Lucius mengatakan pembagian tanggung jawab legislasi antara pemerintah dan DPR tidak bisa dijadikan alasan menurunnya kinerja DPR. Dewan tetap merupakan lembaga yang memiliki kontrol untuk proses legislasi.
"Sehingga mestinya tak ada alasan lari dari tanggung jawab terkait dengan sedikitnya undang-undang yang dihasilkan DPR dari prolegnas prioritas, apalagi kalau dibandingkan anggaran pembahasan DPR per satu RUU itu mencapai Rp8 miliiar lebih," tegas dia.
Ren/medcom.id