Korupsi tetaplah korupsi, berapa pun besarnya.
Pelakunya tetap harus dihukum. Oleh karena itu, semestinya tidak ada istilah operasi tangkap tangan recehan.
Istilah OTT recehan mengemuka ketika Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap basah Kasi Intel III Kejaksaan Tinggi Bengkulu Parlin Purba dengan barang bukti Rp10 juta pada 8 Juni lalu.
Sebutan OTT recehan juga dipakai dalam perkara sebelumnya, yakni ketika KPK meringkus Ketua Komisi B DPRD Jatim dari Fraksi Partai Gerindra Mochamad Basuki dengan barang bukti Rp150 juta, 5 Juni lalu.
Paling mutakhir, terminologi OTT recehan dialamatkan ke KPK manakala komisi antirasywah ini membekuk enam tersangka korupsi di Mojokerto, Jawa Timur, Jumat (16/6).
KPK menetapkan Ketua DPRD Mojokerto Purnomo, Wakil Ketua DPRD Mojokerto Umar Faruq dan Abdullah Fanani, Kepala Dinas PU Kota Mojokerto Wiwiet Febryanto, serta dua perantara. Dalam OTT tersebut, KPK menyita barang bukti duit Rp470 juta.
Disebut OTT recehan karena duit yang disita sebagai barang bukti jumlahnya terbilang kecil. Orang membayangkan bahwa dalam kasus korupsi yang ditangani KPK, jumlah duit barang bukti harus miliaran rupiah.
Pelaku korupsi biasanya di awal melakukan korupsi sedikit-sedikit.
Karena tak ketahuan atau tak ditindak, lama-kelamaan korupsinya membukit.
Mencegah korupsi recehan mungkin dianggap aksi lebih jitu ketimbang menindaknya.
Itulah sebabnya kita bersukacita ketika pekan lalu Badan Pusat Statistik merilis survei yang menyebutkan sikap antikorupsi di kalangan masyarakat meningkat.
Sikap anti dalam survei BPS itu dialamatkan kepada korupsi recehan seperti memberi uang pelicin ketika mengurus sesuatu.
Ini lazim disebut pungutan liar alias pungli.
Kita menganggap peningkatan sikap antikorupsi di kalangan rakyat itu sebagai sinyal mulai berhasilnya pencegahan korupsi di Tanah Air.
Namun, korupsi kecil-kecilan atau recehan pun bila tertangkap basah harus ditindak.
Itulah sebabnya pemerintah membentuk Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar.
Pembentukan Satgas Saber Pungli memperlihatkan keseriusan negara menindak korupsi recehan.
Yang menindak sebetulnya bisa aparat penegak hukum mana pun, baik Satgas Saber Pungli, polisi, kejaksaan, maupun KPK.
Justru salah besar bila KPK mengetahui terjadi korupsi, tapi mendiamkannya karena nilai korupsinya recehan.
Namanya juga operasi tangkap tangan, siapa yang tahu besar duit yang menjadi barang bukti korupsi.
Ternyata bukan cuma KPK yang menindak korupsi recehan tersebut.
Jaksa Agung HM Prasetyo menindak Parlin Purba dengan memberhentikannya.
PDI Perjuangan juga menindak kadernya, Ketua DPRD Kota Mojokerto Purnomo, dengan memberhentikannya dari keanggotaan partai.
Semua penindakan itu memperlihatkan kita sesungguhnya antikorupsi recehan. Ini tentu pertanda baik.
Celaka bila kita permisif terhadap korupsi recehan. Bukan tidak mungkin lama-kelamaan kita permisif terhadap korupsi gede-gedean.
Meski begitu, KPK harus memandang istilah OTT recehan sebagai pemacu bagi institusi antirasywah ini untuk tidak mengabaikan korupsi raksasa, semisal korupsi KTP elektronik, Hambalang, Century, serta BLBI.
Mtvn/RRN/MI