Agama dalam Bineka

Administrator - Selasa, 16 Mei 2017 - 20:05:05 wib
Agama dalam Bineka
Ilustrasi. Thinkstock Pic/cnni

Jakarta: Indonesia adalah bineka. Indonesia adalah majemuk. Indonesia adalah bukti konkret indahnya gradasi kulit di bawah satu langit dan tanah senada. Namun kata hanyalah kata, ternyata, hingga zaman ini, masih banyak warga Indonesia yang menganggap pernyataan itu hanya klise semata.

Agama merupakan salah-satu isu fragile yang rentan memecah belah suatu bangsa. Dalam komunikasi personal, pun ranah publik, isu ini selalu memunculkan ketidakstabilan emosi individu yang ujung-ujungnya memicu kelompok mereka dengan latar belakang agama yang sama untuk menggelar aksi kebencian terhadap lain agama.

Apapun bentuknya, pada akhirnya hal itu hanya akan mematahkan semboyan negeri yang diusung jauh sebelum pertiwi seramai saat ini.

Dari dulu, perdamaian telah diusung oleh semua agama. Ulama pun pendeta mengurai soal yang sama dalam ceramahnya. Pluralisme kemudian menjadi hal yang sangat penting ketika hidup berdampingan lain keyakinan. Tapi, penanaman toleransi lebih jauh lagi harus diutamakan bagi tiap individu. Untuk itulah pluralisme sengaja diselipkan pemerintah pada instansi pendidikan pada tiap tingkatan. Baik secara jelas, maupun tersirat.

Secara harfiah, pluralisme merupakan paham yang menganggap bahwa semua agama sama-sama sedang menuju kebenaran (Tuhan) yang Esa. Oleh karenanya, Tuhan yang tiap-tiap agama menghamba kepada-Nya ialah Tuhan yang sama. Namun, pernyataan itu tidak selalu berarti semua agama memiliki konsep ketuhanan seirama. Ketika mengekspresikan Tuhan mereka, agama satu dengan lainnya menempuh jalur berbeda.

Di Indonesia, hanya beberapa agama yang diberi ucapan selamat datang. Di antaranya, Islam, Kristen, Budha, Hindu, dan Konghucu. Ketentuan tersebut sudah tertera hitam di atas putih oleh pemerintah, dalam upaya pemerataan demi terciptanya negara kesatuan.

Namun, sekali lagi, ungkapan bineka tunggal ika hanya di bibir saja. Nyatanya, egoisme penganut agama yang merasa kepercayaannya paling utama menyulut konflik di mana-mana. Muslim membakar gereja di Aceh, Kristiani membakar masjid di Papua, siklus dendam yang tidak akan berhenti sampai ada salah-satu pihak yang mengendurkan perasaan agamanya paling benar. Padahal, semua agama itu baik dan mengajarkan kebaikan.

Persoalan yang seolah ringan ini ternyata cukup buas menebarkan anyir darah dalam tubuh bangsa Indonesia. Maka, kesadaran perlu semakin dikokohkan dalam benak masing-masing orang, bahwa Tuhan itu Maha Cinta, Tuhan itu mencintai perdamaian.

ded/cnni