Jakarta: Dilansir dari metrotvnews.com, Hizbut Tahrir legal di Inggris, tetapi ilegal di dunia Arab.
Penggalan tulisan dari memoar berjudul The Islamist (2007) itu terkesan menohok. Tapi bagi sang penulis, Ed Husain, itulah akar dari seabrek keheranannya pada organisasi yang sudah ia geluti selama lima tahun terakhir. Sebelum memutuskan hengkang, pria asal India itu kerap bertanya-tanya, mengapa 'perjuangan Islam' justru cenderung mendapat penolakan dari negeri-negeri 'seiman'.
Husain tidak ngawur. Sebab, organisasi berjejaring internasional ini memang dilarang di banyak negara, utamanya Timur Tengah. Mesir melarang Hizbut Tahrir pada 1974, Suriah (1998-1999), Turki (2009), bahkan di Yordania, organisasi yang didirikan di Al-Quds, Palestina ini sudah tidak boleh melakukan kegiatan terbuka sejak 1950-an.
Alasannya, beragam. Dari kehadiran dan aktivitas Hizbut Tahrir yang dianggap meresahkan, dituduh menyimpang, hingga terlibat aktif dalam percobaan kudeta dan ambil alih kekuasaan.
Beda lagi dengan yang di Inggris. Hizbut Tahrir malah bisa menjadikan London sebagai nerve center, alias pusat saraf penyebaran informasi kepada sel lainnya.
Dan hari ini, Senin 8 Mei 2017, giliran Indonesia. Melalui Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto, Pemerintah Indonesia menganggap Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sudah memenuhi syarat untuk dibubarkan.
Wiranto meminta masyarakat tak salah paham. Katanya, keputusan diambil demi menjaga keutuhan Pancasila dan konstitusi negara.
"Bukan berarti pemerintah anti ormas Islam. Tapi, semata-mata untuk menjaga dan merawat keutuhan NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945," kata Wiranto saat konferensi pers di Kemenko Polhukam, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.
PR lama
Lepas dari pro-kontra yang muncul, keputusan pemerintah patut diapresiasi. Lantaran perkara ini sudah cukup lama mengambang tak jelas, tak karuan.
Baca: Memangkas Proses Pembubaran Ormas
Mengulur-ulur keputusan, jangan dikira tak berdampak. Di tengah masyarakat, gesekan yang terjadi akibat beda pandangan tentang sikap bernegara sekaligus beragama ini sudah banyak menguras energi. Bahkan, menimbulkan kerugian sosial.
Pun, dalam mengartikan dan menempatkan posisi Pancasila.
HTI, misalnya, berkeyakinan bahwa segala permasalahan negara bisa tuntas dengan cara pendirian khilafah dan penerapan syariat Islam. Ini, tentu berseberangan dengan pemahaman banyak kelompok lain yang lebih mementingkan prinsip menghargai kebinekaan dalam negeri seberagam Indonesia.
Ketika desakan pembubaran makin naik ke permukaan, juru bicara HTI Ismail Yusanto menampik jika organisasinya itu anti-Pancasila dan menentang NKRI. HTI pun tak segan menilai pemerintah melanggar hak dan kebebasan kelompok jika membubarkan secara sepihak.
"Kami berharap proses ini tidak berujung pada apa yang disebut pembubaran, karena itu sangat tidak elok dan menciderai hak anak bangsa untuk berpartisipasi dalam membangun bangsa," kata Ismail di Kantor DPP HTI, Tebet, Jakarta Selatan, Senin 8 Mei 2017.
Boleh jadi, ini lah titik perkaranya. Pemerintah cuma bisa maju-mundur lantaran semua pihak dapat dengan mudah mengklaim tidak anti-Pancasila, pro-NKRI. Tapi segenap aktivitasnya, berlawanan dengan cita-cita pendiri bangsa.
Manifesto Hizbut Tahrir untuk Indonesia (2009) yang dijadikan pegangan HTI, menyatakan diri "menentang keras konsep-konsep yang lahir dari paham sekulerisme seperti demokrasi, patriotisme, sosialisme dan kapitalisme atau isme-isme lain.”
Memang, tak spesifik menyebut Pancasila. Tapi, istilah negara sistem kufur dan pemerintah thaghut kerap terlontar dengan enteng dalam beberapa aksi yang mereka lakukan.
Kabar bagusnya, pemerintah dengan legawa mengatakan pembubaran ini akan ditempuh melalui jalur hukum. Itu artinya, ada kesempatan bagi HTI untuk menampik segala tuduhan dengan bukti-bukti konkret. Bukan sekadar demo sana, demo sini.
Jangan terprovokasi
Sekali lagi, pemerintah sudah menunaikan tugasnya. Tinggal bagaimana proses hukum itu berlanjut.
Yang penting, publik tetap tenang, dewasa, dan matang.
Jika tidak, bisa-bisa masyarakat terperosok dalam jebakan politik identitas warisan Pilkada DKI Jakarta yang sudah sedemikian parahnya. Ini, jelas menjadi ancaman NKRI selanjutnya.
Pemerintah, atau masyarakat Indonesia secara umum, sebenarnya tidak aneh-aneh amat dengan peristiwa yang hadir hari ini. Soal mempertahankan keutuhan bangsa, atau bagaimana cara pemerintah dan masyarakat mendialogkan makna Pancasila.
Bahkan, demi persatuan itu, di era 1980-an negara memberlakukan Pancasila sebagai asas tunggal. Pancasila merupakan satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Masing-masing kelompok pun menyatakan Pancasila sebagai asas tunggal demi terjaganya tenun kebinekaan.
Bagaimanapun, ormas adalah salah satu sokoguru demokrasi. Di dalam Negara Pancasila ini, kebebasan berkumpul, berserikat, dan mengutarakan pendapat dijamin undang-undang. Ribuan ormas tumbuh subur. Sangat wajar jika pemerintah mengawasi ormas demi menjamin berkembangnya demokrasi yang sejalan dengan ideologi negara.
Bukankah jika menengok data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), saat ini ada 254.633 ormas. Belum lagi, 2.477 ormas di tingkat provinsi, 1.807 di tingkat kabupaten/kotamadya, 62 di Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), dan 250.000 ormas di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).
Toh, mereka tak ada soal jika dinilai tak mengancam?
Yang perlu ditekan, HTI hanyalah satu entitas Islam politik. Banyak kelompok Islam lain yang juga aktif dan ada di Indonesia. HTI tidak bisa dipaksakan sebagai keterwakilan mutlak Islam. Atau sebaliknya, Islam diseret-seret dalam perkara kecil soal pembubaran ormas.
Ini penting. Sebab, bisa ditebak, di belakang sudah banyak yang siap ambil untung.
Satu HTI yang dievaluasi pemerintah, tidak pas jika dijadikan senjata dengan dalih 'selamat datang otoritarianisme.'
Di ujung pembubaran HTI, sesungguhnya terdapat pesan yang jelas dan terang benderang;
Jayalah Pancasila, majulah demokrasi, majulah Islam.