Budaya Jajan dan Anak Sekolah

Administrator - Jumat, 28 Oktober 2016 - 15:44:25 wib
Budaya Jajan dan Anak Sekolah
ilustrasi. kps

RADARRIAUNET.COM - Kebiasaan mengonsumsi makanan sehat sejak usia dini akan meningkatkan kualitas generasi muda kita. Kebiasaan makan sangat dipengaruhi salah satunya oleh kultur budaya masyarakat. Kultur budaya inilah yang melahirkan beragam kekayaan kuliner tanpa batas.

Di Indonesia, umumnya dikenal budaya makan teratur tiga kali sehari: umumnya makan pagi, siang, dan malam hampir memiliki porsi sama, ditambah jajan, ngemil, dan sebagainya.

Alasan orang suka jajan, di antaranya, karena enak, nikmat, hiburan, dan kesenangan atau kebiasaan. Budaya jajan ini juga merambah kalangan anak-anak kecil hingga sekolah dasar (SD). Berdasarkan survei Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), lebih dari 99 persen anak mengonsumsi jajanan saat di sekolah.

Di beberapa negara Asia, seperti Thailand, Vietnam, Malaysia, negara Afrika juga dikenal budaya jajan masakan di pinggir jalan. Namun, budaya ini lebih mengarah pada makan keseharian dengan mengonsumsi makanan jalan atau street food.

Budaya jajan di kalangan anak SD lebih cenderung kepada "snacking", mengonsumsi makanan ringan yang dijual di pinggir jalan. Definisi street food berdasarkan klasifikasi Organisasi Makanan dan Pertanian (FAO) adalah makanan dan minuman yang siap saji, siap santap, dibuat, dan dijual oleh penjual atau penjaja di pinggir jalan dan tempat-tempat umum yang sejenis.

Dampak kesehatan
Minimnya tingkat pengetahuan anak usia SD dan kurang waspadanya mereka akan bahaya jajanan yang dikonsumsi, membuat mereka menjadi target pasar bagi penjaja jajanan sekolah. Berdasarkan hasil penelitian di Jakarta ataupun Bandung, hampir semua pangan jajanan tidak memenuhi syarat keamanan pangan karena kandungan di dalamnya.

Beragam jajanan yang ditawarkan memiliki daya tarik bagi anak-anak. Entah dari warnanya yang mencolok, baunya yang kuat, harganya yang murah dan relatif terjangkau, serta berbagai jenis pilihan yang tersedia.

Budaya jajan di SD terbentuk karena lingkungan yang mendukung. Banyaknya penjual jajanan di pinggir pagar sekolah, tidak adanya kantin, tidak ada aturan larangan berjualan, atau jajan di luar pagar. Rendahnya kesadaran pihak sekolah dan orang tua akan bahaya jajanan serta ketidakpedulian pada kesehatan, ditambah minimnya pendidikan bagi anak untuk lebih waspada terhadap konsumsi makanan.

Hasil penelitian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyimpulkan, persentase makanan jajanan anak SD yang dicampur zat berbahaya masih sangat tinggi. Salah satu alternatif makanan bagi anak sekolah, nilai gizi dan nilai keamanan perlu mendapat perhatian (Qonita, 2010).

Penyakit yang diderita anak SD terkait perilaku jajanan tidak sehat, di antaranya cacingan 40-60 persen, anemia 23,2 persen, karies dan periodontal 74,4 persen. Perilaku ini bisa menimbulkan persoalan lebih serius, seperti ancaman penyakit menular karena sekolah lokasi sumber penularan penyakit infeksi pada anak (Depkes, 2005).

Penelitian BPOM (2011) di Jakarta Timur mengungkapkan, jenis jajanan yang sering dikonsumsi anak sekolah adalah lontong, otak-otak, tahu goreng, mi bakso dengan saus, ketan uli, es sirop, dan cilok. Berdasarkan uji laboratorium, pada otak-otak dan bakso ditemukan borax, tahu goreng dan mi kuning basah ditemukan formalin, dan es sirop merah positif mengandung rhodamin B (Judarwanto, 2011).

Bahan-bahan ini terakumulasi pada tubuh manusia dan bersifat karsinogenik, yang dalam jangka panjang menyebabkan penyakit kanker dan tumor pada organ tubuh manusia. Kandungan gizi dari makanan jajanan, seperti cilok terdiri atas kadar karbohidrat tinggi, proteinnya rendah, mi bakso terdiri atas lemak (2,51 persen), protein (5,78 persen), karbohidrat (39,30 persen), dan kandungan tambahan lain seperti air (50,13 persen).

Mengonsumsi cilok dan mi bakso dapat menambah kebutuhan protein, lemak, dan karbohidrat, tapi tanpa bahan tambahan pangan berbahaya yang tidak baik bagi tubuh (Anita, 2006).

Terungkap juga reaksi simpang makanan tertentu ternyata mempengaruhi fungsi otak, termasuk gangguan perilaku pada anak sekolah. Gangguan perilaku ini meliputi gangguan tidur, konsentrasi, emosi, hiperaktif, dan memperberat gejala pada penderita autisme. Pengaruh jangka pendek penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) ini menimbulkan gejala sangat umum, seperti pusing, mual, muntah, diare, atau kesulitan buang air besar (Judarwanto, 2006).

Logam berat
Implikasi terkait kontaminasi logam berat menjadi perhatian di berbagai negara karena umumnya, logam berat tidak dapat terurai di dalam tubuh, memiliki potensi terakumulasi di dalam organ tubuh manusia. Logam berat sejatinya unsur penting yang dibutuhkan setiap makluk hidup.

Sebagai trace element, logam berat, seperti tembaga, selenium, dan seng penting untuk menjaga metabolisme tubuh manusia. Namun, beberapa di antaranya bersifat racun pada kadar tertentu. US EPA --lembaga proteksi lingkungan-- mencatat setidaknya 13 jenis logam berat yang berbahaya bagi lingkungan, seperti arsenik (As), timbal (Pb), merkuri alias air raksa (Hg), dan cadmium (Cd).

Manusia yang terpapar logam berat dalam waktu relatif lama akan memiliki potensi kesehatan, bahkan dalam konsentrasi yang sangat kecil. Masuknya logam berat ke dalam tubuh dapat menyebabkan gangguan kesehatan.

Jajanan di jalanan merupakan salah satu sumber risiko kesehatan dan sangat mungkin terkontaminasi oleh berbagai bakteri pathogen. Demikian juga, dengan zat kimia lainnya serta logam berat.

Beberapa penelitian terkait kualitas mutu jajanan di pinggir jalan menunjukkan, makanan ini merupakan salah satu sumber gangguan kesehatan, dan setiap orang yang mengonsumsinya berisiko tinggi mengalami gangguan kesehatan.

Pusat Sains dan Teknologi Nuklir Terapan Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) Bandung bekerja sama dengan Teknik Lingkungan ITB, melakukan pengambilan 24 macam jajanan anak SD di empat SD di Kota Bandung. Jajanan yang meliputi bakwan, martabak, kentang goreng, cakue, telur puyuh, cireng, cilok, baso tahu, batagor, agar-agar, bacil, cimol, dan jajanan lainnya.

Berbagai penelitian telah banyak dilakukan yang berfokus pada zat kimia, pengawet atau pewarna, tetapi masih jarang yang melakukan penelitian khususnya di Indonesia, terkait dengan kandungan logam berat di berbagai makanan.

Penelitian yang dilakukan Batan Bandung dan ITB difokuskan pada penentuan kandungan logam berat di dalam jajanan, dengan mengaplikasikan teknologi nuklir. Karena kecilnya kandungan logam berat yang ada di dalam makanan itu, teknologi analisis nuklir menjadi salah satu solusi dalam penentuan kandungannya.

Hasil penelitian menunjukkan, untuk kandungan logam berat merkuri ditemukan adanya nilai yang melebihi ambang batas yang diperbolehkan (>0,05 mg/kg setara 0.05 ppm --part per million). Di samping itu, juga terdapat indikasi adanya kontaminasi logam berat krom dan seng.

Edukasi
Berkaitan dengan kesehatan, merkuri merupakan logam berat berbahaya yang bisa menimbulkan gangguan kesehatan, seperti gangguan sistem syaraf, kerusakan fungsi otak, kerusakan DNA dan kromosom. Juga efek negatif reproduksi, seperti kerusakan sperma, kecacatan pada bayi, dan keguguran.

Kerusakan fungsi otak dapat menyebabkan penurunan kemampuan belajar, tingkat kecerdasan atau intelegensi, perubahan kepribadian, tremor/gemetaran, gangguan penglihatan, ketulian, gangguan koordinasi otot, dan kehilangan memori. Mengingat bahaya logam berat, perlu dilakukan studi yang lebih komprehensif terkait hal ini. Sayang sekali data penelitian ini masih belum banyak dipublikasikan.

Sebagai konsumen yang cerdas, kita semua harus lebih sadar dan waspada akan bahaya ini. Sebagai orang tua, kita harus menanamkan serta mendidik anak-anak kita, generasi penerus bangsa yang paling rentan akan bahaya jajanan agar lebih memiliki pengetahuan dan kecerdasan, terkait keselamatan pangan dan membiasakan untuk tidak jajan sembarangan.

Supervisi dan pembimbingan kepada para penjaja jajanan juga harus dilakukan, agar tingkat kesadaran penjual akan kualitas mutu makanan mereka tidak merugikan konsumen atau masyarakat luas. Tentunya, peran berbagai pihak terkait sangat diperlukan agar tercipta kesadaran bersama mewujudkan makanan yang baik, aman, dan sehat.

Mari kita membiasakan budaya makan yang lebih baik dan cerdas dalam memilih makanan.
 


Oleh Diah Dwiana Lestiani
Peneliti Madya di Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), Anggota Ikatan Alumnus Program Habibie (Iabie)/rol