Sinopsis Ekonomi Boediono

Administrator - Kamis, 13 Oktober 2016 - 13:33:33 wib
Sinopsis Ekonomi Boediono
Buku tulisan Prof Boediono, Ekonomi Indonesia; Dalam Lintasan Sejarah, yang diterbitkan oleh Mizan (Juni 2016). mizanstore
RADARRIAUNET.COM - Buku tulisan Prof Boediono, Ekonomi Indonesia; Dalam Lintasan Sejarah, yang diterbitkan oleh Mizan (Juni 2016) adalah jawaban atas kebutuhan buku referensi sinopsis tentang perekonomian Indonesia yang berbobot.
 
Buku ini akan menambah sejumlah referensi mengenai perekonomian Indonesia dari perspektif historis. Beberapa di antaranya ditulis oleh Indonesianis, seperti dari Heinz Ardnt (1970), Anne Booth-McCawley (1985), Hal Hill (1996), ataupun penulis Indonesia, seperti Prof Sumitro Djohohadikusumo (1985), Sjahrir (1991), Soedrajat Djiwandono (2001), dan Tulus Tambunan (beberapa seri).
 
Sejak 1980-an, Pak Boediono sudah aktif menulis buku ajar untuk mahasiswa fakultas ekonomi, di antaranya adalah seri Sinopsis Ekonomi Makro, Mikro, Moneter, Internasional dan Ekonomi Pembangunan. Bersama Prof Mubyarto (alm), beliau mengedit buku yang terkenal, Ekonomi Pancasila (1981). Buku-buku itu menjadi bahan ajar rutin di fakultas ekonomi dari dulu hingga kini. Dalam setiap bukunya, Pak Boediono selalu percaya bahwa ilmu ekonomi bukanlah sebuah kotak-kotak kosong yang hanya berisi teori tanpa bukti empiris di dalamnya. Demikianlah yang beliau selalu sampaikan di kala sedang mengajar.
 
Usaha mengisi kotak-kotak kosong bisa ditelusuri dari isi pidato pengukuhan profesor beliau. Dalam pidato pengukuhan guru besar ekonomi Pak Boed di UGM pada 24 Februari 2007, beliau meyakini adanya keterkaitan antara teori ilmu ekonomi dengan kehidupan nyata. Kita masih ingat tesis dari Pak Boed bahwa pada suatu negara dengan penghasilan per kapita di atas 6.000 dolar AS, daya hidup sistem demokrasi jauh lebih besar dan probabilitas kegagalannya hanya 1/500. Kalau diaplikasikan ke Indonesia hari ini, menurut Pak Boed berarti kita baru dua per tiga langkah menuju kehidupan demokrasi yang aman.
 
Buku setebal 300 halaman bisa dikategorikan sebagai ringkasan sinopsis perekonomian Indonesia. Durasi waktu mulai zaman VOC Belanda abad ke-17 hingga 2014. Bisa dibayangkan lima abad perjalanan ekonomi Indonesia hanya dituangkan dalam buku 300 halaman.
 
Di awal, buku ini membahas apa dan bagaimana bentuk perekonomian pada abad ke-17, 18, 19. Saya masih belum membayangkan seperti apa dan bagaimana bekerjanya kongsi dagang Belanda atau VOC hingga menguasai di hampir seluruh belantara nusantara pada zaman tanpa pelabuhan modern, komputer, dan internet. Kemudian, pergeseran monopoli perdagangan VOC beranjak menjadi pemerintahan kuasi Belanda. Menarik membaca kotak perenungan di halaman 40 mengenai kekuasaan desentralisme ekstrem yang dijalankan oleh VOC yang kemudian dikoreksi untuk memberikan keseimbangan batas kewenangan pusat dan daerah.
 
Kasus korupsi yang melanda VOC di belahan kedua abad ke-18 berujung pada kebangkrutan VOC adalah fenomena yang terjadi untuk menjadikan pelajaran buat kita semua akan bahaya korupsi bagi perekonomian nasional.
 
VOC bangkrut karena tata kelola pemerintahan yang buruk terus dibiarkan. Abad ke-19 dan awal 20 adalah perjalanan pengelolaan ekonomi menuju sistem pemerintahan kolonial modern. Dampaknya kemakmuran bagi negara-ibu, Belanda, tetapi buruk bagi Indonesia.
 
Dampak Great Depression tahun 1930-an juga melanda Indonesia, harga komoditas ekspor Hindia Belanda tahun 1929-34, seperti karet, kopra, kopi, gula, dan timah jatuh lebih dari 50 persen telah menyebabkan depresi dan PHK, khususnya pada sektor perkebunan.
 
Program stabilitas pada zaman awal kemerdekaan banyak dibahas dalam buku ini. Masa konsolidasi pascastagnasi dan hiperinflasi pada 1950-1965 adalah masa yang paling sulit dalam perjalanan pembangunan di Indonesia. Keadaan dipersulit karena pemerintahan tidak stabil, kabinet berganti-ganti.
 
Berbagai krisis terus melanda perekonomian Indonesia. Entah berapa banyak kita mengalami yang namanya krisis dalam pemerintaan Orde Baru. Krisis anggaran (1968), krisis beras (1972/73), krisis Pertamina (1975), dan gejala penyakit Belanda (dasawarsa 70-an) pascabom minyak.
 
Kebijakan banting setir terjadi mulai awal 1980, sebagai upaya melepaskan ketergantungan pada minyak dan membangun sektor nonmigas. Pemerintah Orde Baru melakukan devaluasi rupiah (maret 1983), pengetatan fiskal (Mei 1983 dan 1986), deregulasi perbankan dan sektor keuangan Juni 1983 dan 1988-89, reformasi perpajakan September 1983 dan kepabeanan April 1985, devaluasi September 1986, deregulasi perdagangan dan investasi Mei 1986.
 
Di tengah-tengah pertumbuhan ekonomi tinggi, muncul benih-benih kerawanan (tahun 90-an): gelembung ekonomi terjadi pada sektor properti, saham dan keuangan tanpa dibarengi dengan perbaikan tata kelola. Keduanya memperparah dampak krisis yang terjadi pada 1998.
 
Dari krisis keuangan pada 1997 telah beranjak ke krisis politik dan pergantian pemerintahan Orde Baru. Tahap awal krisis memang dimulai dari adanya penularan dari Thailand, tapi respons awal dan kepanikan di Indonesia telah memperburuk krisis. Indonesia memutuskan mengundang IMF pada Oktober 1997.
 
Menurut Pak Boediono, program IMF gagal karena informasi kondisi perbankan tidak akurat, tidak ada payung penjaminan penuh, dan inkonsistensi pelaksanaan serta tidak kredibilitasnya kebijakan pemerintah. Krisis semakin memburuk dan terjadi pelarian modal serta sistem pembayaran macet.  
 
Biaya pemulihan yang sangat mahal karena porak-porandanya sistem perbankan berimbas pada sektor riil. Menghidupkan kembali sektor perbankan di Indonesia telah memakan biaya 60 persen dari PDB kita, terbesar di dunia. Restrukturisasi dari utang kita juga memaksa Indonesia masuk dalam perundingan Paris Club. Bersyukur Indonesia berhasil keluar dari program IMF tanpa menimbulkan keguncangan pasar.
 
Krisis global 2008-2009 lebih dahsyat, tetapi episentrumnya dari AS dan Eropa. Sektor keuangan kita sudah cukup resilien, kebijakan moneter pruden, dan fiskal aman, perbankan cukup kuat. Satu-satunya kebijakan yang menimbulkan kegaduhan ekonomi dan politik adalah skandal Bank Century. BI dan Departemen Keuangan waktu itu telah melakukan respons kebijakan mengatasi krisis sistemis dan menyelamatkan sistem perbankan pada waktu itu dan bukan melindungi pemilih Bank Century. Sayangnya, proses politik dan hukum tidak bisa dikendalikan dan tidak sejalan dengan tujuan ekonominya.
 
Salah satu yang menjadi perhatian Pak Boed dalam buku ini adalah bagaimana Indonesia menyiapkan generasi unggul dan reformasi institusi publik untuk menghadapi globalisasi dan krisis keuangan global. Sinyaleman ini tidak hanya teoretis, Pak Boed melakukannya sendiri. Pada waktu di Departemen Keuangan, yang pertama kali dilakukan adalah reformasi birokrasi, menyiapkan generasi penerus dan memperbaiki kelembagaan. Birokrasi adalah barometer utama pelaksanaan meritokrasi. Reformasi gelombang pertama di pajak, bea cukai, dan perbendaharaan mulai 2002 pada zaman beliau dilanjutkan oleh Sri Mulyani 2007-2010 pada reformasi gelombang kedua membawa hasil nyata.
 
Dalam bukunya, Pak Boed banyak menyinggung mengenai kehidupan demokrasi dan kaitannya dengan pembangunan ekonomi. Demokrasi di Indonesia telah menyejajarkan kekuatan eksekutif dan legislatif. Meskipun sudah berumur 15 tahun lebih, hingga kini keseimbangan keduanya belum terjadi.
 
Buku Ekonomi Indonesia Dalam Lintasan Sejarah yang ditulis oleh Prof Boediono ini nyaris tanpa jeda dari cakupan historis panjang yang runtut. Bukan hanya itu, Prof Boediono adalah bagian penting dari tiga dekade perekonomian Indonesia, 1982 hingga 2014. Beliaulah yang ikut membuat lintasan sejarah siklus perekonomian Indonesia. Beliaulah yang menuliskan sendiri tinta emas perjalanan perekonomian Indonesia secara original dan faktual. Ada penjelasan, autokritik, pembenaran, dan justifikasi atas berbagai kebijakan dan kejadian ekonomi (dan sosial) di sana-sini di mana beliau terlibat. Selamat atas terbitnya buku bersejarah ini.
 
 
Anggito Abimanyu
Dosen FEB-UGM, Yogyakarta/rol