RADARRIAUNET.COM - Kasus Dimas Kanjeng Taat Pribadi menyentakkan banyak orang tidak saja karena tindak kriminal, tetapi justru karena terdapat simbol-simbol agama, bungkus ketokohan dan juga menyeret tokoh cendekiawan terkenal. Ini menjadi topik perbincangan/perdebatan bahkan di beberapa stasiun TV. Kasus sejenis ini sebetulnya bukan pertama kali muncul di lingkungan masyarakat kita. Kepercayaan masyarakat terhadap kekuatan-kekuatan magis alam—benda-benda tertentu dan bahkan manusia yang dipercayai istimewa—adalah cerita lama. Inilah yang dalam literatur disebut sebagai kepercayaan animisme dinamisme.
Kepercayaan masyarakat primitif seperti ini meniscayakan adanya kebergantungan pada benda-benda alam (bisa batu, pohon, sungai dan lain-lain) dan bahkan manusia yang memang diyakini mempunyai keistimewaan dan kekuatan gaib atau supranatural mendatangkan malapetaka atau sebaliknya mencurahkan kebahagiaan, ketenteraman, kedamaian, dan rezeki. Untuk kebutuhan terakhir, masyarakat harus memperlakukan dengan cara-cara khusus menyervis dan menyenangkan pemilik kekuatan gaib itu. Menghormati, mendengarkan, mengikuti, atau melayani kehendak pemilik kekuatan gaib itu sangat kunci dari sistem kepercayaan primitif begini.
Karena itu, masyarakat harus mengenal dan mengerti betul karakteristik pemilik kekuatan gaib sekaligus mengerti bagaimana berhubungan dengan tepat melalui pelayanan dan pengabdian yang sempurna. Jika tidak, maka kesengsaraan (miseries) akan menimpa baik secara personal maupun kolektif. Dalam kausa kata Islam, ini disebut dengan azab.
Tidak mengherankan jika kemudian muncul tradisi “kultus” (cult) di mana ada seseorang yang diyakini mempunyai keistimewaan dan keajaiban luar biasa yang tidak dimiliki oleh orang-orang lain. Dengan keistimewaan dan keajaiban ini, dia menyandang kesucian dan puncak kehormatan di mata orang banyak. Karena itu, cara hidup yang benar bagi masyarakat adalah berhubungan sedekat-dekatnya dengan sang tokoh yang sangat suci dan terhormat ini agar bahagia jasmani rohani.
Jika diperlukan dan bisa dilakukan, simbol-simbol kesucian dan kehormatan sang tokoh diduplikasi, misalnya pakaian, tata tutur, perilaku sang tokoh. Makin dekat hubungan dengan sang tokoh, makin sempurna dan bermaknalah kehidupan ini. Kehidupan didedikasikan untuk itu. Sang tokoh menjadi karismatik di mata penganut primitifnya sebagai pusat tumpuan dan harapan, apalagi di tengah situasi kehidupan yang sulit dan dinilai serba tidak menentu (uncertain) secara sosial, kultural, ekonomi dan bahkan politik.
Kepercayaan kepada pemerintah, lembaga sosial, tokoh dan pemimpin, lembaga pendidikan, berbagai institusi pelayanan seperti rumah sakit dan bahkan kepada agama ambrol karena dinilai gagal menghadirkan kebahagiaan, ketenangan dan kesejahteraan. Situasi sulit seperti ini, nampaknya memberikan ruang paling tidak terhadap dua cara keluar alternatif yaitu ekstrem radikalis dan ekstrie cultist.
Pertama, dengan penuh marah dan dendam dibungkus doktrin agama melakukan tindakan destruktif dan teror. Yang kedua, cenderung memperkuat keyakinan spiritual di luar ajaran standar agama dan menjanjikan kehidupan yang lebih menenteramkan di bawah kontrol tokoh suci.
Dimas Kanjeng Taat Pribadi adalah fenomena cultist yang mengeksploitasi simbol-simbol keagamaan, karisma, kemiskinan untuk memberikan janji-janji finansial, kehormatan dan kebahagiaan masa depan tidak saja bagi rakyat miskin tapi kaum profesional dan bahkan cendekiawan sekalipun. Kepercayaan yang lazimnya hidup dan berkembang di lingkungan masyarakat primitif, berhasil diawetkan dengan cara-cara baru oleh Taat Pribadi.
Bisa jadi tindakan kriminal yang dilakukan sesungguhnya memperoleh justifikasi dalam sistem kepercayaan ini atas nama kesucian agama dan membahagiakan orang banyak. Apa bedanya dengan doktrin Fai di lingkungan gerombolan Salafisme jihady Qitaly yang menghalalkan melakukan kejahatan perampasan terhadap hak milik orang lain?
dibaca 1.949x
entu saja fenomena ini menimbulkan keprihatinan mendalam karena ini membuktikan dengan kasatmata bahwa ternyata masih banyak hal yang secara fundamental belum terselesaikan dalam kehidupan masyarakat kita. Ini adalah khurafat yang dalam sejarah Islam di mana-mana, termasuk di Indonesia, menjadi sasaran dakwah purifikatif dan liberatif.
Salah satu gerakan Islam penting terkait hal ini ialah Muhammadiyah dengan visi Tajdidnya. Tentu saja Tajdid dan gagasan berkemajuan ini semestinya menjadi perhatian semua pihak agar Indonesia benar-benar menjadi sebuah bangsa besar dengan peradaban agung, terbebas dari khurafat; menjadi bangsa yang kompetitif terbebas dari mimpi-mimpi kosong. Wallahu a’lam.
Sudarnoto Abdul Hakim
Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta,
peneliti Malaysia, Ketua Komisi Pendidikan dan Kaderisasi MUI Pusat)/snc