RADARRIAUNET.COM - Letusan senapan memecah suasana di Pulau Nusakambangan, Jawa Barat yang mencekam, pada Jumat (29/7) dini hari. Tanda bahwa eksekusi mati telah dilaksanakan. Hari itu, empat terpidana mati tewas ditembus timah panas regu tembak.
Satu di antaranya adalah terpidana mati dalam kasus narkotik, Freddy Budiman. Tiga terpidana lain adalah warga negara Nigeria dan Afrika Selatan.
Eksekusi tersebut meninggalkan sejumlah pertanyaan yang belum dijawab tuntas oleh pemerintah melalui Kejaksaan Agung. Publik, misalnya, mempertanyakan mengapa pemerintah hanya mengeksekusi empat dari 14 terpidana mati yang rencananya dieksekusi pada hari itu.
Di sisi lain, Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat, empat terpidana mati itu tengah mengajukan upaya hukum grasi saat dieksekusi regu tembak di Nusakambangan. Padahal, Undang-undang Grasi Pasal 13 menjelaskan larangan eksekusi bagi terpidana mati yang tengah mengajukan grasi.
Tertutupnya informasi bagi keluarga maupun terpidana mati juga dianggap sebagai kejanggalan pelaksanaan eksekusi mati.
Kepala Divisi Pembelaan Hak Sipil dan Politik KontraS Putri Kanesia mengatakan, ada tekanan cukup keras dari publik pada pelaksanaan eksekusi mati gelombang tiga tersebut. Tak heran bila pelaksanaannya dilakukan sedemikian tertutup.
Tekanan itu juga mempengaruhi kejaksaan dalam memilih terpidana. Menurut Putri, ada kesan kejaksaan memilih terpidana yang akan dieksekusi berdasarkan negara asal terpidana mati tersebut.
“Kalau dibandingkan hukuman mati gelombang satu dan dua, eksekusi mati kali ini hanya dilakukan kepada terpidana yang asal negaranya masih menerapkan hukuman mati. Sama seperti Indonesia,” kata Putri.
Dia membandingkan dengan pelaksanaan hukuman mati gelombang dua pada tahun 2015. Tekanan saat itu muncul usai Indonesia mengeksekusi mati warga negara Australia terkait kasus narkotik. Pemerintah Negeri Kanguru' bahkan langsung menarik duta besarnya dari Jakarta sebagai tanggapan terhadap eksekusi tersebut.
“Mungkin alasan itu yang dihitung kejaksaan untuk melaksanakan eksekusi mati tahun ini lebih tertutup,” ucapnya.
Sejak lama, pelaksanaan hukuman mati di Indonesia memang menuai kontroversi. Banyak pihak yang mendukung, namun tak sedikit pula yang menentang.
Perlawanan pada praktik hukuman mati sendiri telah lama diperingati pada hari anti hukuman mati sedunia yang jatuh tiap tanggal 10 Oktober. Mereka yang anti, berpendapat hukuman mati melanggar hak asasi.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) sebelumnya juga menilai eksekusi mati pada terpidana kasus narkotik bukan solusi mengurangi peredaran narkotik di Indonesia. ICJR menyarankan solusi hukuman penjara seumur hidup tanpa grasi dan remisi, ketimbang mengeksekusi mati.
Cacat Hukum
Indonesia bukan satu-satunya negara yang memberikan vonis hukuman mati pada terpidana kasus narkotik. Terdapat 32 negara lain yang juga menerapkan hukuman mati untuk kejahatan ini, di antaranya adalah Arab Saudi, Bangladesh, China, Korea Utara, Mesir, India, Iran, Pakistan, dan sejumlah negara lain.
Dari data Amnesty International sebanyak 1.634 orang dieksekusi mati pada tahun 2015. Jumlah ini meningkat 54 persen atau 573 lebih banyak dibandingkan tahun 2014. Pelaksanaannya sebagian besar dilakukan di tiga negara yakni Arab Saudi, Iran, dan Pakistan.
Namun, ternyata masih banyak cacat hukum pada praktik hukuman mati yang diterapkan. Salah satunya adalah eksekusi mati pada terpidana yang berusia di bawah umur. Kasus itu ditemui di Iran dan Pakistan.
Kasus serupa ternyata juga terjadi di Indonesia. Sebut saja kasus terpidana mati asal Nias, Yusman Telaumbanua. Dia divonis hukuman mati pada 2013 karena diduga membunuh atasannya. Namun setelah diteliti lebih jauh, Yusman ternyata masih berusia 16 tahun saat hukuman mati itu dijatuhkan.
Minimnya pengetahuan Yusman membuatnya terpaksa menandatangi Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dari kepolisian. Dia saat ini tengah menunggu proses pengajuan Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung.
Selain itu, ketiadaan tafsir baku atas kejahatan luar biasa yang mesti diganjar hukuman mati juga menimbulkan polemik tersendiri. Muncul kesan bahwa hukuman mati cenderung digunakan sebagai basis legitimasi politik ketimbang menghadirkan keadilan seluas-luasnya pada publik.
Kini, 14 tahun hari anti hukuman mati diperingati untuk mengingat praktik penghilangan nyawa manusia yang mengatasnamakan hukum. Pemerintah dianggap tak serius dalam pelaksanaan hukuman mati.
Di satu sisi pemerintah ingin menunjukkan watak ketegasan, namun di sisi lain terus menghadirkan kontradiksi yang tak pernah mendapatkan ruang koreksi. Evaluasi diharapkan menjadi langkah pemerintah di sela waktu penundaan eksekusi 10 orang terpidana mati.
cnn/radarriaunet.com