RADARRIAUNET.COM - Dialektika seputar guru besar (profesor) kembali menggeliat. Di berbagai media, wacana ini mengemuka dengan sangat deras. Di luar tulisan hardnews dan softnews, sejak bulan lalu, Republika tak kalah garangnya dengan media sejenis menurunkan topik ini. Tiga tulisan menarik seputar ini. Yakni, "Nasib Profesor Indonesia" (25/8 dan 1/9 2016) dari Azyumardi Azra ("Resonansi") dan "Profesor, Scopus dan Alternatif" (14/9) dari Moeflich Hasbullah di kolom "Opini".
Secara singkat tiga tulisan itu memaparkan segala sesuatunya tentang guru besar, mulai dari persyaratan, administrasi, mekanisme, tata kerja, dan alternatifnya. Namun, ada satu yang terlewat dari tiga tulisan tersebut padahal sangat substansial, yakni guru besar sebagai hasil dari penjajahan intelektual. Dalam konteks itulah tulisan ini diapungkan.
Relasi Kekuasaan
Michel Foucault melalui arkeologi dan genealogi memotret bahwa kekuasaan, salah satunya, dihasilkan melalui peraturan-peraturan. Kekuasaan tidak bekerja melalui represi atau penindasan, tetapi terjadi dalam kondisi normal dan dengan regulasi. Kehadiran susunan, aturan, sistem regulasi, meniscayakan kuasa ada. Regulasi ini pulalah yang ada dalam kekuasaan jurnal internasional yang merupakan syarat mutlak untuk menjadi guru besar. Ketika tulisan dipastikan akan dimuat di jurnal internasional, penulis harus menyetor uang yang tidak sedikit. Begitu tulisan sudah dimuat di jurnal tersebut, penulis harus membayar untuk mengaksesnya secara online. Karya intelektual yang seharusnya dihargai (dibayar) malah diharuskan membayar untuk memublikasikannya. Semakin besar pengaruh jurnal itu di dunia internasional, kian besar bayaran yang harus dikeluarkan oleh penulis.
Foucault melanjutkan, kekuasaan (persyaratan) dan pengetahuan (jurnal) merupakan pasangan yang mengekspresikan terikatnya diskursus secara erat maupun ekspresi kapasitas produksi kekuasaan menciptakan diskursus. Pengetahuan dan kebenaran, pengetahuan dan fakta selalu memiliki hubungan yang sistemis. Pertautan pengetahuan dan kekuasaan bukan saling meniadakan, melainkan saling menguatkan.
Dengan begitu, menurut Foucault, kekuasaan selalu teraktualisasi melalui pengetahuan; pengetahuan senantiasa memiliki efek kuasa. Penyelenggaraan kekuasaan selalu memproduksi pengetahuan sebagai basis kekuasaannya. Sedangkan, pengetahuan menghasilkan kekuasaan. Pengetahuan bukan hanya sekadar refleksi atas realitas. Ia adalah konstruksi kekuasaan dan rezim pengetahuan yang berbeda sehingga menentukan benar dan salah; absah atau tidaknya.
Dalam konteks relasi kekuasaan ala Foucault ini pulalah titel guru besar adalah penjajahan intelektual jika pemuatan karya tulis menjadi persyaratan mutlaknya. Terminologi ini berangkat dari asumsi teori imperialisme media (sebagian ada yang menyebutkan teori imperialisme budaya). Bahwa penjajahan intelektual—seperti pemuatan karya di jurnal internasional— memuat dan mempunyai kepentingan tertentu (sosial, budaya, politik, dan ekonomi). Konstruksi tersebut merupakan pandangan Barat terhadap negeri ini. Secara lebih luas dan dalam istilah Louis Althusser, media (jurnal) adalah bagian dari ideological state apparatuses. Imperialisme media menggambarkan tentang efek dan pengaruh media dalam benak khalayak.
Pertarungan Ideologi
Setiap penjajahan meniscayakan hadirnya penyuntikan ideologi. Dalam pandangan Raymond Williams, ideologi digunakan dalam tiga perangkat, yakni sistem keyakinan yang menandai kelas tertentu, suatu sistem keyakinan ilusioner, dan proses umum produksi makna dan gagasan. Pengertian yang terakhir adalah yang sesuai dengan tulisan ini. Menurut Arief Budiman, ideologi adalah pengetahuan yang disusupi kepentingan tertentu/subjektif. Ia secara sadar atau tidak dipakai untuk menipu kelompok lain. Ideologi adalah pengetahuan subjektif. Karena itu ia salah. Ideologi berfungsi membentuk pandangan dunia kelompok dominan untuk membenarkan dan mempertahankan kekuasaannya. Artinya, jurnal internasional (bahasa) adalah salah satu alat untuk melanggengkan kekuasaan Barat.
Di sisi lain, kewajiban menulis di jurnal internasional yang terindeks scopus wa akhwatuha adalah salah satu bentuk hegemonisasi intelektual dan homogenisasi media. Hegemonisasi dan homogenisasi tersebut menimbulkan pola komunikasi dan arus informasi yang timpang; tidak adil; tidak seimbang. Lumrah kalau kemudian budaya yang tercipta pun pincang. Hal tersebut untuk menciptakan ketergantungan intelektual anak negeri ini terhadap negara lain. Inilah sesungguhnya ideologi yang ingin ditancapkan oleh penguasa jurnal internasional. Namun, kita tidak menyadarinya. Ironis dan mengerikan memang.
Sebagai penutup, penulis ingin menegaskan bahwa penahbisan guru besar dengan syarat jurnal internasional adalah penjajahan intelektual. Ia melanjutkan kolonialisme puluhan tahun silam terhadap negeri ini dalam bentuk lain (pemikiran). Pun, kolonialisme budaya yang sedang dialami anak negeri ini. Oleh sebab itu, jika negeri ini masih memiliki independensi, muruah, dan merdeka di bidang intelektual, syarat mutlak guru besar memiliki karya di jurnal internasional fardhu 'ain hukumnya ditolak tanpa alasan apa pun. Penolakan tersebut adalah penolakan terhadap penjajahan intelektual guru besar negeri ini. Wallahu a'alam bishowab.
Oleh Dudi Sabil Iskandar
Dosen Fikom Universitas Budi Luhur Jakarta dan Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran/rol