Tionghoa Makin Berkurang

Administrator - Senin, 19 September 2016 - 16:47:56 wib
Tionghoa Makin Berkurang
Huang Meili, gadis Tionghoa Sidoarjo. hurek.blogspot.co.id

RADARRIAUNET.COM - Berapa jumlah warga negara Indonesia (WNI) keturunan Tionghoa? Angkanya masih simpang siur. Ada pengamat yang menyebut lima juta jiwa. Ada yang bilang tujuh juta. Ada lagi yang menyebut muslim Tionghoa mencapai 1,5 juta.

Kalau yang muslim saja 1,5 juta, jika digabungkan dengan penganut agama-agama lain (Katolik, Kristen Protestan, Buddha, Konghucu, Tao), populasi Tionghoa tentu jauh lebih besar. Tapi, yang menarik, hasil sensus penduduk 2010 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, saat ini penduduk Indonesia yang mengaku keturunan Tionghoa hanya 2,8 juta jiwa.

Adapun total penduduk Indonesia mencapai 237 juta jiwa. Dus, persentase Tionghoa sekarang 1,2 persen. Mengapa jumlah dan persentase Tionghoa menurun? Dan apakah penurunan ini akan berlangsung terus-menerus?

Menurut sejumlah analis, penurunan ini merupakan bukti suksesnya upaya pembauran dan akulturasi budaya di kalangan warga Tionghoa dengan penduduk setempat.

Begitu membaurnya dengan warga lokal, ketika ditanya petugas sensus, orang-orang Tionghoa generasi baru itu mengaku sebagai bukan lagi 'orang Tionghoa', melainkan orang Bangka, Belitung, Singkawang, Pontianak, Flores, Timor, Jawa, Madura, dan sebagainya. Apalagi, banyak generasi muda Tionghoa yang sudah lama 'hilang' ketionghoaannya.

Menurut Jousairi Hasbullah, analis statistik BPS, seorang imigran yang telah menetap lama di sebuah daerah, dari generasi ke generasi, niscaya dipengaruhi tradisi, bahasa, budaya, dan norma setempat. Akhirnya, dia mengaku sebagai anggota suku tempat dia berada.

"Petugas sensus akan mencatat sesuai pengakuan orang itu," kata Hasballah tentang pendekatan etnodemografis yang lazim dipakai BPS saat sensus penduduk di Indonesia.

Faktor lain adalah kawin campur. Ketika orang Tionghoa menikah dengan penduduk setempat, maka keturunannya biasanya cenderung masuk kategori pribumi. Asimilasi tuntas ini, menurut mendiang Dr Ong Hok Ham, banyak terjadi di Pulau Madura, khususnya Sumenep.

Karena itu, populasi Tionghoa yang cukup signifikan di Sumenep sejak tahun 1790, ketika Raja Sumenep mendatangkan tukang-tukang dari Tiongkok untuk membuat keraton dan masjid, lama-lama berkurang... dan akhirnya tinggal sedikit saat ini.

Mengapa?
Ketika imigran Tiongkok generasi awal, yang semuanya laki-laki itu, ingin menikah dengan perempuan lokal, harus lebih dulu masuk Islam. Keturunan mereka kian melebur dalam budaya, agama, dan bahasa setempat, dan tak lagi mengenal tradisi, bahasa, atau agama leluhurnya.

Karena itu, bisa dipahami jika Hasbullah dalam tulisannya di KOMPAS edisi 2 Desember 2011 menyebutkan bahwa populasi Tionghoa saat ini (sensus tahun 2010) menurun drastis dibandingkan sensus penduduk tahun 1930. Saat sensus di era Hindia Belanda itu populasi Tionghoa mencapai 2,04 persen.

Selain itu, menurut saya, penurunan persentase Tionghoa di Indonesia ini juga akibat represi rezim Orde Baru yang berkuasa sejak 1966 hingga 1998. Selama 32 tahun orang-orang Tionghoa dipaksa MENJADI INDONESIA dengan kewajiban ganti nama, ganti agama, dan tidak boleh melestarikan atau mengembangkan budaya leluhur. Ekspresi budaya Tionghoa hanya dilakukan di dalam rumah atau komunitas khusus.

32 tahun jelas bukan masa yang pendek. Suka tidak suka, Tionghoa generasi Orde Baru yang lahir setelah tahun 1966 ini, sudah berbeda dengan orang tua mereka yang rata-rata bersekolah di sekolah-sekolah Tionghoa. Tionghoa Orba ini umumnya sekolah di sekolah-sekolah Katolik, Protestan, negeri, atau sekolah swasta umum. Bahasa Tionghoa generasi Tionghoa Orba pun tidak sefasih orang tua, apalagi kakek-neneknya.

Orang-orang Tionghoa Orba ini, yang sekarang berusia di bawah 45 tahun, pun tidak begitu tersinggung, apalagi marah, ketika kita menggunakan istilah CINA (tanpa H) dan bukan TIONGHOA. Yenny Wijayanti, mahasiswi Universitas Kristen Petra Surabaya, misalnya, selalu menulis CINA dan bukan TIONGHOA seperti dianjurkan oleh bapak-bapak dan ibu-ibu aktivis masyarakat Tionghoa di Kota Surabaya.

Yenny alias Huang Meili ini mengaku tidak bisa mengerti mengapa saya selalu mengubah istilah CINA yang dia tulis dengan TIONGHOA atau TIONGKOK. Begitulah. Tionghoa Orba ini rata-rata kurang membaca sejarah dan asyik-asyik aja mau disebut CINA, CHINA, CHINESE, TIONGHOA, atau apa saja... terserah.

Tapi jangan coba-coba menyebut CINA, apalagi CINO, atau menulis CINA (tanpa H) di depan Pak Lim yang Tionghoa golongan totok. Beliau pasti marah dan akan memberi kuliah khusus tentang masalah ini secara panjang lebar.

"Wartawan itu harus tahu sejarah dan banyak baca. Kalau Saudara males baca, tidak mau tahu sejarah, sebaiknya pulang saja ke kampung halamanmu. Pasti tulisanmu akan kacau!" begitu antara lain kata-kata Pak Lim.

Dan saya setuju pendapat beliau. Kita harus banyak baca, belajar sejarah, tenggang rasa, sensitif memilih kata atau istilah agar orang lain tidak tersinggung.

Karena berkali-kali dapat 'kuliah' macam ini di Surabaya, sejak delapan tahun lalu saya tidak pernah menggunakan kata CINA dalam semua tulisan saya. Saya selalu pakai TIONGHOA atau TIONGKOK, dan belakangan ini ZHONGGUO (baca: Cungkuo) setelah saya mulai sedikit-sedikit paham karakter hanzhi di komputer atau telepon seluler.


hurek.blogspot.co.id/fn/radarriaunet.com