RADARRIAUNET.COM - Penanganan perkara peredaran narkotik di Indonesia melalui hukuman mati dinilai mengabaikan prinsip hak asasi manusia (HAM) walaupun sering disebut sebagai upaya efek jera. Padahal, selama ini belum ada kajian hukuman mati mengurangi jumlah kasus narkotik.
"Dengan dalih memerangi narkotik mereka (pemerintah) justru mengabaikan prinsip HAM," kata Ketua Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat Ricky Gunawan di Jakarta, Rabu (7/9) dalam penyataan sikap menolak hukuman mati dari Koalisi Masyarakat untuk Penghapusan Hukuman Mati di ASEAN atau CAPDA.
Menurut Ricky, yang juga anggota CAPDA, penggunaan kata perang oleh pemerintah dalam pemberantasan kejahatan narkotik, juga kurang tepat. Dia menuturkan dalam perang harus ada upaya untuk melindungi korban.
Ricky menegaskan peredaran gelap narkotik di Asia Tenggara memang sulit untuk dibendung. Namun, sambungnya, bukan berarti dengan tindakan pelanggaran HAM seperti menjatuhkan hukuman mati.
"Ada cara-cara seperti memperluas akses rehabilitasi bagi pecandu dan mengkaji ulang kebijakan kriminalisasi pengguna narkoba," katanya.
CADPA, menurut Ricky, menilai hukuman mati tak memiliki cukup pengaruh terhadap angka kejahatan narkotik. Bahkan, tak jarang hukuman mati malah menimpa orang yang sebenarnya tidak bersalah.
Dia mengungkapkan orang-orang yang sebenarnya merupakan korban jaringan narkoba internasional malah menjadi pesakitan dan harus meregang nyawa karena hukuman mati.
Nama-nama seperti Mary Jane Veloso, Merri Utami, dan Rita Krisdianti menjadi contoh buruh migran perempuan yang dianggap CAPDA sebagai korban perdagangan manusia dan peredaran gelap narkotik. Mereka kini tengah menunggu pelaksanaan eksekusi mati.
Sementara itu, pegiat seni Melanie Subono mengatakan bahwa yang memiliki hak untuk menentukan hidup dan mati seseorang adalah Tuhan. Menurut dia, jika seseorang tak punya kemampuan menciptakan maka dia tak berhak untuk mengambil ciptaan tersebut. Hukuman mati, menurutnya, bukan solusi karena itu tak membuat orang jadi lebih baik.
cnn/radarriaunet.com