RADARRIAUNET.COM - Hutan rawa gambut merupakan ekosistem yang unik, yang di dalamnya terdapat flora dan fauna yang khas. Hutan gambut juga merupakan ekosistem yang rentan (fragile), yang sangat mudah terganggu atau bahkan rusak, dan sangat sulit untuk kembali ke kondisi awalnya. Idealnya pada lahan gambut perlu dilakukan upaya perlindungan, atau pencegahan dari berbagai kemungkinan yang bisa menyebabkan kerusakan.
Pengelolaan lahan yang salah, dan pemilihan komoditas tanaman yang tidak sesuai dengan karakteristik lahan gambut menjadi penyebab kerusakan fungsi ekosistem gambut. Menjadi semakin buruk karena penanaman dibarengi dengan pengurasan air gambut yang berakibat kekeringan permanen pada gambut itu sendiri, dan menjadikannya mudah terbakar. Kebakaran yang terjadi hampir setiap tahun merupakan pertanda bahwa gambut tidak lagi dalam kondisi alaminya, atau sudah mengalami kerusakan.
BRG
Atas keprihatinan itu, dan dalam rangka percepatan pemulihan kawasan dan fungsi hidrologis gambut secara khusus, sistematis, terarah, dan terpadu maka Pemerintah membentuk Badan Restorasi Gambut, yang ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2016.
Sejumlah penyelenggaraan fungsi oleh BRG ditetapkan dalam Pasal 3 PP Nomor 1 Tahun 2016. Di antaranya adalah penetapan zonasi fungsi lindung dan fungsi budidaya, pemetaan kesatuan hidrologis gambut, dan pelaksanaan konstruksi infrastruktur pembasahan (rewetting) gambut dan segala kelengkapannya. BRG juga menyelenggarakan fungsi koordinasi, dan penguatan kebijakan dalam pelaksanaan restorasi gambut.
Pemetaan Gambut
Pemetaan areal gambut menjadi langkah pertama BRG dalam upayanya melakukan restorasi. Berita media sebulan lalu menyebutkan bahwa BRG menargetkan penyelesaian pemetaan untuk sekitar 860.000 (delapan ratus enam puluh ribu) hektar gambut yang menjadi prioritas restorasi di empat kabupaten tahun ini. Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau, yang menjadi salah satu prioritas target capaian BRG karena dinilai memiliki peta relatif detail dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Permasalahan peta menjadi menarik untuk ditelaah karena dalam hal pengelolaan gambut, dan pemanfaatan hutan gambut pihak KLHK juga melakukan pemetaan. Dalam pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan menetapkan Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPPIB) melalui SK.323/Menhut-II/2011, yang dalam peta tersebut lokasi lahan gambut ditandai berwarna merah. Pada areal bukan gambut ditandai berwarna putih.
Untuk melanjutkan upaya penyempurnaan tata kelola hutan dan lahan gambut Presiden menerbitkan Inpres Nomor 8 Tahun 2015. Sesuai Amar Ketiga Inpres tersebut KLHK menerbitkan Revisi PIPPIB X (kesepuluh) pada 20 Mei 2016 melalui SK 2300/MenLHK-PTKL/IPSDH/PLA.1/5/2016.
Izin Pemanfaatan
Terkait pemanfaatan areal di hutan gambut, melalui Surat Keputusan Nomor SK.208/Menhut-II/2007, Menteri Kehutanan memberikan Addendum Perluasan IUPHHK-HT PT Sumatera Riang Lestari (SRL). Salah satu unit pengelolaannya berada di Pulau Rangsang, Kabupaten Kepulauan Meranti. Pada peta lampiran IUPHHK-HT PT SRL, areal pada Blok V tersebut dinyatakan sebagai rawa dengan status fungsi Hutan Produksi Terbatas (HPT).
Dalam peta PIPPIB yang pertama kali diterbitkan oleh Kementerian Kehutanan melalui SK.323/Menhut-II/2011, areal Blok V SRL dinyatakan sebagai gambut, berwarna merah. Enam bulan kemudian Dirjen Planologi, Bambang Sepijanto, atas nama Menteri Kehutanan menerbitkan Revisi I PIPPIB melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.7416/Menhut-VII/IPSDH/2011, areal Blok V SRL tidak lagi dinyatakan sebagai gambut, karena berwarna putih.
Pertanyaannya kemudian, apakah dengan diterbitkannya IUPHHK-HT kemudian sebuah areal bisa dinyatakan sebagai bukan gambut? Apakah karena telah menjadi kering lalu areal tersebut tidak lagi dinyatakan sebagai gambut? Lalu bila terjadi kebakaran di areal tersebut statusnya bisa kembali menjadi gambut?
Ke mana Ramin
Seringnya pemberitaan media tentang kebakaran di areal gambut akibat gambut yang mengering membuat orang lupa bahwa ada lebih banyak sumberdaya alam lainnya yang hilang selain lahan yang terbakar. Kalaupun tidak ikut ditebang pada saat kegiatan penyiapan lahan (land clearing) flora khas rawa gambut akan mati karena tempat tumbuhnya dikeringkan. Tidak pernah ada pemberitaan tentang keberhasilan upaya restorasi vegetasi yang hilang dari lahan gambut. Yang ada hanyalah upaya untuk mengkonservasi sebelum dilakukan penebangan habis juga pada akhirnya nanti.
Jenis-jenis pohon khas yang hanya tumbuh di habitat rawa gambut antara lain Ramin (Gonystylus bancanus), Kempas (Kompassia mallacensis), Nyatoh (Palaquium spp.), Bintangur (Callophylum spp.), Meranti Rawa (Shorea pauciflora), Belangeran (Shorea belangeran). Pohon-pohon tersebut sangat kecil kemungkinan bisa hidup di tanah mineral yang kering.
Ramin (Gonystylus bancanus), misalnya, yang kabarnya memiliki harga jual bagus di pasar kayu internasional, dikenal sebagai pohon yang sulit tumbuh. Sebagai pohon khas hutan gambut tentu genangan gambut menjadi persyaratan utamanya, dan itu belum cukup untuk membuatnya hidup sampai menjadi pohon (diameter batang 30 cm). Lalu satu-satunya upaya yang bisa dilakukan untuk membuat Ramin tetap ada adalah dengan melarang penebangannya. Karena habitatnya sudah tergantikan oleh akasia dan sawit.
Restorasi = Rewetting?
Mengingat besarnya kerugian akibat kerusakan ekosistem gambut, pemerintah menyatakan berkomitmen untuk melakukan upaya rehabilitasi dan pemulihan fungsi ekosistem gambut sampai pada kondisi alaminya. Prioritasnya pada restorasi tata air yang dilakukan dengan penutupan sepenuhnya seluruh kanal-kanal yang sudah terlanjur ada di sekitar atau di bagian bawah dari kubah gambut (termasuk kanal-kanal yang terdapat dalam wilayah konsesi perkebunan kelapa sawit, HTI akasia, maupun pertanian masyarakat.
Sementara kehilangan flora dan fauna khas rawa gambut tampaknya bukan merupakan hal penting. Seluruh peraturan tentang perlindungan dan pengelolaan gambut, termasuk tentang restorasi gambut, tidak pernah menjelaskan tentang upaya pemulihan ekologis secara menyeluruh. Yang terpenting hanya bagaimana membuat gambut menjadi kembali basah sehingga tidak mudah terbakar, bukan untuk mengembalikan flora dan fauna yang hilang akibat pemanfaatan gambut. Dengan demikian seolah-olah saja kita melakukan restorasi. Atau memang restorasi yang dimaksud hanya sebatas rewetting?
Biaya Restorasi
Pada April 2016 lalu, BRG mengumumkan bahwa untuk memperbaiki tata kelola gambut yang rusak dibutuhkan dana lebih dari Rp 12 (dua belas) juta per hektar. Selama 5 (lima) tahun ke depan dibutuhkan Rp 11, 196 triliun untuk seluruh provinsi Riau. Seolah ingin menyampaikan betapa mahalnya biaya restorasi gambut itu.
Kabarnya harga kayu Ramin di pasar internasional mencapai US$ 1.000 per meter kubik. Jika benar demikian maka biaya restorasi gambut per hektar hanya seharga 1 meter kubik kayu Ramin saja. Belum lagi jika dihitung harga pasar kayu-kayu lain yang hilang bersama hutan gambut. Lalu mengapa tidak pernah diumumkan berapa besarnya nilai ekonomi kayu yang hilang bersama habisnya hutan gambut, bahkan tidak perlu sampai gambut itu terbakar? Padahal setiap pemegang izin wajib menginventarisasi kayu yang akan ditebang dari hutan alam kepada Kementerian Kehutanan, sekarang KLHK. Karena kayu yang bukan hasil tanaman mereka adalah milik negara. Lalu siapa yang menikmatinya? Siapa yang harus bertanggung jawab?
Semoga bisa menjadi renungan untuk pembuat kebijakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya seharusnya digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Oleh: T. Nala Puruhita