Pengaturan Utang Luar Negeri Swasta

Administrator - Ahad, 16 Agustus 2015 - 23:33:02 wib
Pengaturan Utang Luar Negeri Swasta
Petugas menghitung pecahan Dolar AS di salah satu gerai penukaran mata uang asing di Jakarta. (foto: Antara/Rivan Awal Lingga).
Penulis: Kusfiardi Sampai saat ini, Bank Indonesia (BI) belum pernah mengatur utang luar negeri (ULN) sektor swasta. Setiap korporasi hanya diminta oleh BI untuk memberikan laporan ULN mereka. Kondisinya saat ini ULN swasta sudah memasuki taraf yang harus diwaspadai. Dengan demikian maka keinginan BI untuk meregulasi ULN swasta patut disambut baik. Meskipun demikian, pengaturan ULN swasta oleh BI melalui regulasi itu harus mempertimbangkan aspek yang memicu transaksi ULN swasta selama ini. Selain itu juga mempertimbangan pelajaran dari kondisi yang terjadi pada masa lalu dalam transaksi ULN swasta. Faktor yang Mempengaruhi Transaksi ULN swasta selama ini dipengaruhi oleh faktor didalam negeri seperti tingginya rasio simpanan dan pinjaman (Loan to Deposit Ratio/LDR) dan mahalnya suku bunga pinjaman di bank dalam negeri. Kondisi ini berhadapan dengan situasi ketersediaan likuiditas global yang bunganya-pun rendah. Kesulitan mengakses likuiditas didalam negeri dengan pemberlakuan kebijakan LDR dan tingkat suku bunga yang membuat biaya pinjaman menjadi mahal, mendorong pihak swasta untuk memanfaatkan dana luar negeri yang berbiaya murah. Ditengah kondisi tersebut, posisi ULN Swasta per Juni tahun ini sudah mencapai 153,22 miliar dolar AS. Utang tersebut terdiri dari ULN jangka pendek (kurang dari satu tahun) sebesar 43,98 miliar dolar AS dan ULN jangka panjang (lebih dari satu tahun) sebesar 109,24 miliar dolar AS. Dalam penilaian Bank Indonesia, perkembangan ULN swasta tersebut sudah kian membesar dan perlu dilakukan pengaturan. Pengalaman Masa Lalu Kesadaran pihak bank sentral untuk melakukan pengaturan ini tidak terlepas dari pengalaman pengelolaan ULN swasta pada masa sebelum krisis. Aspek pengelolaan yang kurang berhati-hati membuat ULN swasta Indonesia melampaui batas kewajaran. Pemerintah kurang mempertimbangkan risiko yang akan terjadi di kemudian hari akibat transaksi ULN swasta ini. Pada saat itu Indonesia sedangan berada dalam era pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat. Bahkan bisa sampai di atas 7 persen. Kinerja pertumbuhan ekonomi yang mengesankan tersebut membuat pemerintah Indonesia memberikan keleluasaan kepada sektor swasta untuk memperoleh dana dari luar negeri untuk menjalankan operasional perusahaannya. Kebijakan tersebut merupakan bagian dari kebijakan pemerintah untuk mendorong peran sektor swasta dalam pembangunan. Namun karena kurang memperhatikan aspek kehati-hatian dalam pengelolaannya, dampak yang serius mulai dirasakan seiring dengan ULN swasta yang terus meningkat pada masa krisis dan setelah krisis. Situasi ini mengharuskan Pemerintah terlibat dalam melakukan restrukturisasi untuk membantu menyelesaikan ULN swasta. Pemerintah Indonesia melakukan restrukturisasi dengan membuat sebuah forum yang bertujuan membantu menyelesaikan ULN swasta melalui Frankfurt Agreement. Skema penyelesaian ULN swasta lewat persetujuan tersebut menghasilkan tiga program, yaitu pertama, penyelesaian masalah Pinajaman Luar Negeri antar bank melalui program Interbank Debt Exchange Offer. Kedua, penyelesaian kendala pembiayaan perdagangan melalui program Trade Maintence Facility. Ketiga, penyelesaian masalah pinjaman sektor swasta non bank melalui program Indonesian Debt Restructuring Agency. Dengan melihat pengalaman masa lalu dan perkembangan yang ada saat ini, langkah Bank Indonesia untuk memberlakukan kebijakan pengaturan ULN swasta patut disambut baik. Kebijakan Pengaturan Kebijakan pembatasan ULN yang sudah diberlakukan terhadap pinjaman komersial luar negeri yang dilakukan oleh perusahaan negara (BUMN) perlu untuk diperluas. Selain keharusan untuk melakukan lindung nilai ULN swasta melalui hedging, pilihan untuk menetapkan batasan ULN swasta terhadap aset valas juga bisa membuat transaksi ULN swasta lebih terkendali. Namun perlu diingat bahwasanya kebijakan pengendalian ULN swasta tersebut tidak cukup hanya dengan melakukan lindung nilai dan membatasi rasio ULN swasta terhadap aset valas yang mereka miliki. Pihak otoritas moneter, Bank Indonesia, harus menyadari bahwa rezim nilai tukar bebas mengambang dan devisa bebas juga perlu mendapat perhatian serius. Selama ini kedua kebijakan tersebut turut berkontribusi terhadap mahalnya biaya pinjaman didalam negeri yang likuiditasnya juga terbatas. Pihak otoritas moneter, Bank Indonesia, selama ini menggunakan instrumen suku bunga sebagai alat untuk stabilisasi nilai tukar mata uang Rupiah. Kebijakan suku bunga tersebut turut mempengaruhi tingkat suku bunga pinjaman yang berlaku di perbankan dan lembaga keuangan di dalam negeri. Kondisi ini turut menyulitkan dalam mendapatkan likuiditas guna mendukung kegiatan ekonomi dunia usaha. Mahalnya biaya utang didalam negeri yang dipengaruhi tingkat suku bunga yang berlaku akan membuat ULN menjadi sumber pembiayaan yang tetap dilirik sebagai alternatif pembiayaan. Berawal dari kebutuhan pengaturan ULN swasta ini, Bank Indonesia sebagai bank sentral yang memegang otoritas moneter harapannya juga mau mempertimbangkan alternatif kebijakan pengganti rezim devisa bebas dan nilai tukar bebas mengambang. Penerapan kedua kebijakan tersebut selama ini telah berdampak luas dan membutuhkan biaya sosial maupun ekonomi politik yang sangat mahal untuk menciptakan stabilitas moneter didalam negeri. Pengamat Ekonomi