Dokter Lie: Apapun Etnis Korban 1998, Kejahatan Harus Dihukum

Administrator - Sabtu, 21 Mei 2016 - 19:04:15 wib
Dokter Lie: Apapun Etnis Korban 1998, Kejahatan Harus Dihukum
Dokter Lie Dharmawan menolak mentah-mentah membuka identitas korban pemerkosaan. cnn
RADARRIAUNET.COM - Mei 1998, seorang pasien perempuan mendatangi dokter Lie Agustinus Dharmawan dengan kaki membengkak. Ia rupanya menginjak pecahan kaca saat lari bak dikejar setan. Tak heran, perempuan itu merasa hidupnya terancam. Iblis menjelma pada diri pria yang hendak memerkosanya. 
 
“Dia merasa ketakutan sekali. Dia baru diancam akan diperkosa,” kata Lie di Sekretariat Indonesia Tionghoa, Kemayoran, Jakarta Pusat. 
 
Kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan etnis Tionghoa pada Mei 1998 kerap diragukan kebenarannya oleh pemerintah Indonesia. Para korban yang tak mau buka suara membuat pemerintah enggan menindaklanjuti kasus tersebut.
 
Lie yang dulu ikut menangani korban kekerasan seksual pada Mei 1998, pun pernah diminta menunjukkan bukti bahwa dia benar-benar menangani korban. Namun Lie menolak mentah-mentah. 
 
“Saya tidak akan menunjukkan (korban) hanya karena nafsu mereka yang ingin melihat bukti itu. Saya sudah disumpah jabatan untuk merahasiakan identitas pasien,” ujar Lie, geram.
 
Dokter kelahiran Padang Sumatra Barat, April 1946, itu menegaskan kasus-kasus pemerkosaan benar terjadi kala kerusuhan Mei 1998 merebak, terlepas dari perdebatan soal jumlah korban.
 
Lie mengatakan, ia bahkan beberapa kali menangani pasien yang mengalami gangguan jiwa karena diperkosa. 
 
Lulusan Free University of Berlin itu kecewa dengan sikap pemerintah yang terkesan membiarkan dan tak menindak tegas pelaku-pelaku kekerasan seksual Mei 1998.
 
“Siapapun yang jadi korban perkosaan, apapun etnisnya, kejahatan itu perlu ditindak,” kata Lie.
 
Ia yakin kerusuhan Mei 1998 yang menjadikan etnis Tionghoa sebagai sasaran utama, sengaja diciptakan. Menurut Lie, ada sejumlah pihak yang sengaja melakukan provokasi untuk memicu kekacauan dan perseteruan antara Tionghoa dan pribumi.
 
Keyakinan Lie itu muncul dari fakta bahwa kerusuhan bukan hanya terjadi di Jakarta, tapi serempak di kota-kota besar lain di Indonesia.
 
“Para pelaku (kerusuhan) sudah terlatih dan teratur. Hanya orang Tionghoa minoritas, tidak punya akses untuk melawan,” katanya.
 
Pendiri organisasi kemanusiaan nirlaba doctorSHARE itu menduga, dahulu ada pihak-pihak tertentu yang sengaja menyebarkan ketakutan hingga membuar warga Tionghoa merasa tidak aman dan ingin pergi dari Indonesia.
 
Etnis Tionghoa, menurut aktivis perempuan Andy Yentriyani, memang jadi mayoritas korban kekerasan seksual sepanjang Mei 1998. Ia berkata, pelaku memilah dulu calon korbannya apakah dia beretnis Tionghoa atau pribumi.
 
Secara acak, para pelaku berkeliling di jalanan, bus, hingga pertokoan untuk mencari korban. Mereka yang pribumi, kata Andy, menarik napas lega karena tak jadi korban. Sementara mereka yang Tionghoa hanya bisa pasrah menerima perlakuan kejam.
 
Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 yang dibentuk pemerintahan BJ Habibie menemukan bahwa kasus-kasus pemerkosaan itu benar terjadi. Namun berkas hasil penyelidikan TGPF itu berkali-kali dikembalikan oleh Kejaksaan Agung karena dianggap tak lengkap.
 
TGPF menyatakan terdapat 85 kasus kekerasan seksual, dengan 52 di antaranya berupa pemerkosaan massal. Angka tersebut belum mencerminkan jumlah total korban karena mayoritas korban justru memilih bungkam, bahkan mengubah identitas dan meninggalkan Indonesia untuk memulihkan kondisi psikologis dan memulai hidup baru di negeri asing.
 
 
RRN/Cnn/hrf