BPK Temukan Kerugian Negara Rp1,7 T di Provinsi Riau

Administrator - Jumat, 01 Februari 2019 - 18:14:43 wib
BPK Temukan Kerugian Negara Rp1,7 T di Provinsi Riau
Inspektorat Jenderal Kemendagri menandatangi Perjanjian Kerja Sama dengan Bareskrim Polri serta Kejaksaan Agung. FOTO/DOK.KEMENDAGRI/Sindonews.com

Pekanbaru: Melansir/menyitat riaupos.co Kamis 31 Januari 2019. Badan Akuntabilitas Publik (BAP) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia (RI), menindaklanjuti temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI tahun 2018 terkait adanya kerugian negara yang terjadi di lima daerah di Riau. Total kerugian negara tersebut jika ditotal mencapai Rp1,7 triliun.

Tindak lanjut tersebut dilakukan dengan cara menggelar rapat bersama lima daerah yang mendapatkan catatan BPK tersebut, di antaranya Pemerintah Kabupaten Siak, Bengkalis, Indragiri Hulu, Kota Dumai dan Pemerintah Provinsi Riau, di Kantor Gubernur Riau, Rabu (30/1) siang.

Jika dirincikan, total kerugian negara tersebut, yakni Pemerintah Provinsi Riau Rp972,4 miliar, Kabupaten Bengkalis Rp271,2 miliar, Kabupaten Inhu Rp240,8 miliar, Kota Dumai Rp71,7 miliar dan Kabupaten Siak Rp145,8 miliar.

Ketua BAP DPD RI, Gafar Usman mengatakan, rapat ini dilakukan untuk mendapatkan pandangan yang komprehensif mengenai permasalahan temuan BPK yang belum ditindaklanjuti pemerintah daerah di Riau, karena itu pihaknya memandang hal ini perlu mengadakan rapat kerja.

“Kami ingin memperoleh informasi sejauh mana rekomendasi BPK telah ditindaklanjuti oleh masing-masing pemerintah daerah guna menjamin bahwa pertanggungjawaban atas pengelolaan keuangan negara yang merugikan,” katanya.

Lebih lanjut dikatakannya, dalam rapat tersebut pihaknya juga ingin mendapatkan penjelasan mengenai langkah-langkah dan kendala-kendala yang dihadapi oleh Pemprov Riau, Pemda di Riau dalam menindaklanjuti temuan hasil pemeriksaan BPK, khususnya yang menyangkut kasus-kasus yang dapat mengakibatkan kerugian negara dan daerah.

“Ini juga dalam rangka pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang APBN maupun dalam rangka tindak lanjut hasil pemeriksaan BPK yang keduanya diamanatkan oleh UUD 1945,” jelasnya.

Karena menurutnya, sesuai dengan kewenangan BAP DPD RI perihal pengawasan, maka Riau salah satu yang menjadi pengawasan pihaknya terkait hasil temuan BPK.

“Kami juga pertanyakan sudah berapa temuan BPK yang ditindaklanjuti. Kemudian yang belum ditindaklanjuti. Kami minta kepastian kapan bisa diselesaikan. Kemudian kelima daerah itu menyanggupi paling lama ditindaklanjuti Juni tahun ini,” sebutnya.

Untuk temuan yang tidak bisa ditindaklanjuti, demikian Gafar Usman, pihaknya menyiapkan diri kepada daerah untuk mediasi kepada BPK pusat. Namun itu tentunya harus melampirkan syarat administrasi.

“Misalnya orangnya sudah meninggal, tentu harus ada bukti meninggal, lalu ahli warisnya tidak mampu membayar hasil temuan BPK, tentu harus ada surat keterangan tidak mampu,” ujarnya.

Menurut Gafar Usman, selama syarat-syarat tersebut dipenuhi, sesuai kewenangan pihaknya akan memperjuangan dan mediasi ke BPK pusat.

“Sedangkan kalau menyangkut regulasi, kenapa yang bersangkutan tak sanggup membayar karena ada aturan. Kami akan membuat daftar inventarisasi masalah (DIM) yang akan menjadi masukan dalam perubahan undang-undang,” tutupnya.

Perjanjian Kerja Sama Tiga Instansi Berpotensi Lindungi Koruptor

Melansir/menyitat sindonews.com Jumat 1 Februari 2019. terkait perjanjian kerja sama (PKS) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dengan kejaksaan dan kepolisian dinilai berpotensi menghambat pemberantasan korupsi. Pasalnya, instrumen-instrumen pendukung pelaksanaan PKS tersebut dinilai belum jelas.

Pakar hukum Universitas Parahyangan Asep Warlan Yusuf angkat bicara - mengatakan, lahirnya aturan tersebut berlatar belakang bahwa tidak semua pelanggaran yang dilakukan aparat pemerintahan berujung pada pidana. Namun begitu, untuk pelaksanaannya dibutuhkan kesiapan semua instrumen. "(Potensi kongkalikong) kekhawatiran kita juga begitu. Jika tidak dipersiapkan malah jadi memperlemah," ungkap Asep.

Sebelumnya, Kemendagri, Kejaksaan Agung, dan Polri telah menandatangani PKS yang merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang (UU) 23/2014 tentang Pemerintah Daerah, terutama terkait pasal 385 yang mengatakan bahwa setiap aduan yang masuk terkait dugaan korupsi harus dikoordinasikan dengan Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP).

APIP nanti yang akan menjadi penentu apakah aduan tersebut masuk pelanggaran administrasi atau pidana. Menurut Asep, aturan ini bisa memperkuat, tapi juga bisa memperlemah. Aturan ini akan memperkuat jika dibarengi dengan aturan yang lebih detail sebab persoalan ini tidak cukup hanya dengan penanda tanganan PKS semata.

"PKS sifatnya tidak mengikat. Ini harus setingkat perpres. Harus detail agar tidak multitafsir dan menjadi celah menghindari pidana korupsi," tandasnya.

APIP yang memiliki wewenang cukup strategis memang harus diperkuat. Menurut Asep, posisi APIP saat ini jauh dari kuat. Karena itu, APIP harus bisa memahami bagaimana melihat ada tidaknya niat jahat dari pelanggaran yang ditemukan. "Jangan sampai dia melindungi koruptor dengan cara penindakan administrasi. Posisinya harus diperkuat. Sayangnya, kita belum punya UU terkait pengawas internal pemerintahan. Mestinya itu ada dulu baru dilaksanakan," ujarnya.

Asep menilai harus ada lembaga yang melakukan supervisi terhadap APIP. Dengan begitu, kewenangan yang dimiliki tidak disalahgunakan. "Saya pikir KPK bisa menjadi lembaga yang tepat untuk menyupervisi putusan-putusan APIP terhadap laporan yang masuk," ujarnya.

Asep mengatakan, seorang pejabat pemerintah yang melanggar administrasi dan menyebabkan kerugian negara memang tidak harus diselesaikan dengan pidana. Dalam UU 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan sudah disebutkan bahwa jika kesalahan tersebut dampak dari kebijakan negara maka APBN yang mengganti. Namun jika pribadi maka ganti rugi dari yang bersangkutan.

"Tapi kalau ada unsur niat jahatnya maka tidak usah melalui APIP lagi, langsung ke aparat penegak," tandasnya.

Asep tidak mempermasalahkan adanya aturan ini sepanjang ada penguatan-penguatan. Dengan begitu maka tidak dianggap sebagai pengaman koruptor. "Dulu banyak kasus administrasi. UU ini mencoba melindungi. Misalnya karena terlambat mencatat dan melaporkan, ini bisa dipidana, padahal ini bisa administrasi saja. Penempatan pos yang salah bisa jadi temuan juga," ungkapnya.

Pelaksana Tugas Irjen Kemendagri Sri Wahyuningsih menegaskan bahwa PKS yang sudah ditandatangani itu bukan untuk melindungi koruptor. Menurut dia, peranan APIP tidak sampai mencampuri urusan penyelidikan. "APIP hanya pada tahap awal sebelum penyelidikan. Jadi bukan untuk melindungi koruptor," tandasnya.

Dia juga menjelaskan, dalam melakukan kajian laporan, APIP akan terus berkoordinasi dengan aparat penegak hukum (APH). Hal ini untuk saling bertukar informasi dan mengawal kasus tersebut. "Kan kita bersama-sama. Kalau ada indikasi korupsi akan lebih cepat, dan tidak mungkin APH diam saja kalau ada yang coba melindungi koruptor," katanya.

Sri memastikan bahwa jika sudah terindikasi pidana dan ada alat bukti yang cukup, APIP tidak akan masuk mencampuri. Aduan tersebut akan sepenuhnya diserahkan kepada APH. "Justru ini membuat garis yang jelas antara mana administrasi dan pidana. APH pun akan protes kalau jelas pidana tapi dimasukkan ke administrasi. Kita sekarang ini mulai transparan," tandasnya.

Penguatan APIP pun terus dilakukan. Salah satunya pemerintah tengah melakukan perubahan PP 18/2016 tentang OPD, di mana APIP eselonisasinya akan sejajar dengan sekda. "Termasuk pemberhentian dan pengangkatan tidak lagi oleh kepala daerah, tapi atas persetujuan mendagri. Ini akan memperkuat," paparnya.

Dia juga memastikan bahwa setiap pelanggaran administrasi akan mendapatkan sanksi sesuai aturan yang berlaku, yang untuk kepala daerah dan DPRD diatur dalam PP 12/2018. "Pasti ada sanksinya. Sesuai dengan aturan yang berlaku," katanya.

 

RRN/dari berbagai sumber