RADARRIAUNET.COM - Sejumlah kalangan memperkirakan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bakal menguat tajam seiring adanya aliran dana ratusan triliun rupiah ke Indonesia melalui Tax Amnesty.
Bahkan, kalangan pengusaha memperkirakan, dolar AS bisa turun hingga di kisaran Rp8.000-Rp9.000.
Meski demikian, Ekonom PT. Bank Central Asia Tbk (BBCA) David Sumual melihat, penguatan rupiah tidak akan setajam itu. Menurut David, Bank Indonesia (BI) selaku otoritas moneter tidak akan membiarkan rupiah menguat terlalu tajam.
"Pasti BI akan jaga stabilitas. Nggak akan membiarkan rupiah terlalu kuat. Karena kalau terlalu kuat itu biasanya nggak sustain, sementara BI kan jaga agar rupiah tidak terlalu fluktuatif," terang David saat dihubungi awak media, Kamis (30/6/2016).
David menjelaskan, penguatan rupiah paling tidak bisa terjadi di rentang Rp12.500-Rp13.000. Penguatan tersebut dinilai sudah terlampau tinggi.
David menyebutkan, angka ideal untuk posisi rupiah saat ini paling tidak di kisaran Rp13.000-Rp13.500. Angka tersebut dinilai kompetitif bagi Indonesia untuk bisa bersaing di pasar ekspor. Level tersebut, menunjukkan jika Real Effective Exchange Rate (REER) rupiah berada di angka 95-97%. Artinya, nilai rupiah pas alias tidak mahal dan tidak murah.
"Kita lihat Rp13.000-Rp13.500 itu REER-nya di bawah 100, sekitar 95-97%, cukup kompetitif. Terlalu kuat di Rp12.000 itu mengganggu daya saing," jelas dia.
Lebih jauh David menjelaskan, saat rupiah terlalu tinggi atau kuat, maka barang-barang ekspor Indonesia menjadi mahal. Hal ini membuat barang-barang ekspor Indonesia kalah bersaing.
Saat Indonesia masih berjaya dengan booming komoditas, nilai ekspor Indonesia cukup tinggi mencapai US$ 200 miliar per tahun. Saat ini, ekspor Indonesia terus menurun.
"Kalau terlalu kuat bahaya juga, nggak bagus, nggak bersaing ke ekspor. Waktu booming komoditas, ekspor kita US$ 200 miiar setahun, dulu sebulan US$ 20 miliar, sekarang cuma US$ 10 miliar," katanya.
Di sisi lain, David menyebutkan, Indonesia juga perlu waspada terhadap berbagai gejolak global seperti dampak Brexit atau keluarnya Inggris dari Uni Eropa yang kemungkinan masih akan berlanjut dan naiknya suku bunga bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed). Dua sektor tersebut bakal menahan laju penguatan rupiah.
"Ada risiko yang harus diwaspadai, risiko Brexit, Fed naikkan suku bunga, itu bisa mengganggu, rupiah bisavolatile," pungkasnya.
dtc/fn/radarriaunet.com