RADARRIAUNET.COM - Sebagaimana diketahui pemerintah telah menganggarkan pendirian dan operasi bank tanah dalam Rancangan APBN-Perubahan 2016, dengan alokasi anggaran yang diperkirakan melebihi Rp2,5 triliun. Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, Askolani, dalam Rapat Koordinasi Pembangunan Tingkat Pusat di Jakarta, baru-baru ini, menyatakan bank tanah ini nanti berbentuk Badan Layanan Umum (BLU) dan akan memfasilitasi penyediaan lahan untuk pembangunan proyek-proyek infrastruktur di Indonesia, terutama untuk proyek yang masuk kategori prioritas.
Pendirian bank tanah tidak lepas dari masalah klasik tersendatnya pembangunan infrastruktur, yang dipicu pembebasan lahan. "Pembebasan lahan nanti akan lebih cepat. Namun, konsepnya masih digodok, yang jelas BLU ini akan membiayai pengadaan tanah," ujar Askolani. Dengan diajukannya bank tanah dalam APBNP 2016, Askolani berharap BLU ini dapat segera beroperasi selambat-lambatnya akhir 2016.
Tak dipungkiri, masalah pertanahan semakin banyak terjadi di Indonesia. Pergesekan antara kelompok-kelompok yang ingin mengusai dan memanfaatkan lahan untuk kepentingannya semakin banyak terjadi.
“Sengketa tanah antara pemilik modal dan rakyat kecil. Bahkan maaf saja, masih banyak juga kita mendengar sengketa warga dengan TNI, BUMN dan pemerintah soal tanah ini terjadi,” Wakil Ketua Komisi II DPR Ahmad Riza Patria kepada metrotvnews.com, Sabtu (28/5/2016).
Dalam kurun waktu empat tahun belakangan ini saja, jumlah kasus ini bahkan cenderung tidak berkurang. Data terbaru BPN mencatat setidaknya ada 4.223 kasus sengketa lahan yang terjadi di seluruh Indonesia.
Masalah sengketa lahan yang acap kali terjadi ditambah peliknya masalah pembebasan lahan, sedikit banyak menjadi persoalan tersendiri dalam pelaksanaan pembangunan. Masih belum majunya tata kelola agraria dan pendataan lahan di Indonesia jadi kunci penting persoalan tersebut.
Banyak contoh kasus terjadi, seorang warga yang telah menempati lahan selama sekian puluh tahun digusur oleh pemerintah daerah dengan alasan pembangunan. Tak jarang pula diberitakan proyek pembangunan tersendat dari jadwalnya karena persoalan tanah.
Salah satu contohnya adalah pembangunan megaproyek tol Trans Jawa yang ingin menghubungkan Jakarta-Surabaya. “Sampai sekarang kan proyek tol Trans Jawa terkendala masalah pembebasan lahan,” ujar Anggota Komisi V DPR Fraksi Gerindra Nizar Zahro kepada metrotvnews.com, Kamis (26/5/2016).
Wacana untuk menguhubungkan kedua ujung pulau Jawa lewat jalan tol ini sebenarnya sempat tercetus pada era pemerintahan Presiden Soeharto. Namun pekerjaannya berjalan lambat. Sebagai buktinya, pengerjaan ruas tol Waru-Juanda yang hanya sepanjang 12 km memakan waktu 12 tahun dan baru selesai 2007 lalu.
Pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla kini tengah mengebut penyelesaian pembangunan proyek infrastruktur jalan tol Trans Jawa. Ditargetkan megaproyek sepanjang +/-1000 km ini akan selsai sepanjang 136 km pada tahun ini.
Contoh lainnya adalah proyek pembangunan kereta cepat yang sempat berpolemik. “Akhirnya kan dari 650 hektare lahan yang dibutuhkan, pemerintah cuma berhasil menyiapkan 100 hektar kurang,” kata Nizar.
Karena itulah, keberadaan program bank tanah (land banking) mulai disuarakan. Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro menilai peningkatan kedaulatan pemerintah dan menjamin pembangunan proyek-proyek infrastruktur harus menjadi prioritas.
“Karena kalau pemerintah tidak punya kedaulatan di republik ini, maka segala proyek ini tidak akan pernah bisa jalan,” Bambang di sela rapat kerja dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR-RI, Rabu (12/2/2016) malam.
Menkeu Bambang Brodjonegoro menyampaikan, pemerintah terus melakukan pembahasan pembentukan land bank dalam bentuk Badan Layanan Umum (BLU) tersebut dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Wacana pembentukan program konsolidasi lahan (land consolidation) ini gencar dibahas mulai pertengahan tahun 2015 lalu.
Pembangunan yang kerap tersendat
Masalah sengketa lahan yang acap kali terjadi ditambah peliknya masalah pembebasan lahan, sedikit banyak menjadi persoalan tersendiri dalam pelaksanaan pembangunan. Masih belum majunya tata kelola agraria dan pendataan lahan di Indonesia jadi kunci penting persoalan tersebut.
Banyak contoh kasus terjadi, seorang warga yang telah menempati lahan selama sekian puluh tahun digusur oleh pemerintah daerah dengan alasan pembangunan. Tak jarang pula diberitakan proyek pembangunan tersendat dari jadwalnya karena persoalan tanah.
Salah satu contohnya adalah pembangunan megaproyek tol Trans Jawa yang ingin menghubungkan Jakarta-Surabaya. “Sampai sekarang kan proyek tol Trans Jawa terkendala masalah pembebasan lahan,” ujar Anggota Komisi V DPR Fraksi Gerindra Nizar Zahro kepada metrotvnews.com, Kamis (26/5/2016).
Wacana untuk menguhubungkan kedua ujung pulau Jawa lewat jalan tol ini sebenarnya sempat tercetus pada era pemerintahan Presiden Soeharto. Namun pekerjaannya berjalan lambat. Sebagai buktinya, pengerjaan ruas tol Waru-Juanda yang hanya sepanjang 12 km memakan waktu 12 tahun dan baru selesai 2007 lalu.
Pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla kini tengah mengebut penyelesaian pembangunan proyek infrastruktur jalan tol Trans Jawa. Ditargetkan megaproyek infratruktur transportasi kurang lebih 1.000 km ini akan selesai sepanjang 136 km pada tahun ini.
Contoh lainnya adalah proyek pembangunan kereta cepat yang sempat berpolemik. “Akhirnya kan dari 650 hektare lahan yang dibutuhkan, pemerintah cuma berhasil menyiapkan 100 hektar kurang,” kata Nizar.
Masalah pengadaan lahan ini sebenarnya memang menjadi momok bagi pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Salah satu yang menjadi alasan adalah pola penganggaran yang digunakan untuk membebaskan lahan.
Nizar menjelaskan, selama ini pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh pemerintah selalu melewati tahap perencanaan, lelang proyek, pembebasan lahan, kemudian baru pembangunan berjalan.
Masalah pembebasan lahan yang tak jarang terkendela sengketa tanah, tak adanya kesepakatan harga antara pemerintah, dan anggaran yang terbatas mengakibatkan pembangunan kerap molor.
“Trennya itu kan anggaran pembebasan lahan itu dilakukan bertahap. Akhirnya pembangunan mengikuti jumlah lahan yang sudah dibebaskan,” kata Nizar.
Idealnya tahap proyek pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah adalah perencanaan, pembebasan lahan, lelang, dan pembangunan langsung dilakukan. Sama seperti skema yang dilakukan pengembang swasta.
Skema yang tak ideal tersebut akhirnya tak hanya membuat proyek pembangunan tersendat. Mafia-mafia tanah pun akhirnya bermunculan dan berpacu membeli tanah dengan pemerintah. Akhirnya anggaran tanah yang dibayarkan pemerintah jauh melonjak dibandingkan rencana awal.
Tidak hanya soal pembangunan proyek infrastruktur, pembangunan perumahan terjangkau untuk rakyat pun menjadi sebuah persoalan. Bahkan, saat ini selisih kebutuhan dan ketersediaan (backlog) rumah di Indonesia mencapai 13,5 juta unit. Dengan kata lain 13,5 juta keluarga tak memiliki rumah untuk tempat tinggal.
Pengembang properti, terutama pengembang rumah murah, seringkali terkendala masalah lahan yang harganya terus melonjak. Berbagai program akhirnya juga dikembangkan untuk mengatasi permasalahan pembangunan ini.
Wacana bank tanah sebagai solusi
Untuk mengatasi permasalahan lahan ini, pemerintah sempat membuat beberapa aturan dan merevisi petunjuk teknis untuk pengadaan lahan. Koordinasi dilakukan terkait perumusan payung hukum untuk mengatur teknis penggunaan dana talangan swasta tersebut dan pengembaliannya nanti.
Pada era pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono-Boediono, aturan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum disahkan. Namun, aturan tersebut ternyata tidak dapat menyelsaikan perkara pengadaan tanah di Indonesia.
Sebuah skema dana talangan untuk mempercepat pembangunan infrastruktur dibuat. Pemerintah merevisi Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN No. 6 Tahun 2015 untuk Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah.
Seyogianya, aturan ini membuka peluang kepada pengusaha swasta untuk menalangi dana pembebasan lahan proyek infrastruktur. Kemudian dana talangan tersebut diganti dengan menggunakan dana APBN lewat kementerian/lembaga terkait.
Walau demikian, aturan tersebut dianggap pemerintah tidak bisa menyelesaikan permalahan utama pembebasan lahan di Indonesia. Wacana bank tanah atau land banking disuarakan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Ferry Mursyidan Baldan sejak April tahun lalu.
Ferry berharap ada lembaga semacam bank tanah dapat segera dibentuk. Fungsi dari institusi bank tanah ini sendir dinilai penting bagi penyediaan lahan untuk perumahan rakyat dan pembangunan infrastruktur.
Bank tanah ini sendiri sebenarnya memiliki fungsi utama menyimpan data tentang ketersediaan tanah di berbagai daerah. “Tapi kalau hanya sekedar pendataan, agraria (BPN-red) bisa memuktahirkan dan merubah dari pendataan pasif ke aktif,” kata Riza.
Pemerintah sendiri berkeinginan membentuk skema bank tanah yang dapat membantu menyediakan lahan bagi pembangunan. Tidak hanya berhenti di situ, pembentukan bank tanah dapat dimanfaatkan sebagai instrumen untuk menjaga harga tanah.
Beragam model
Konsep bank tanah disebut sebagai penyempurnaan dan perluasan pola manajemen pertanahan. Peran bank tanah ini sudah berjalan sejak beberapa abad lalu di negara-negara eropa.
Sejarah bank tanah adalah tentang pihak yang menyelenggarakan program konsolidasi lahan, khususnya diawali untuk sektor pertanian. Inggris memberlakukan program ini semenjak 1710- 1853, Denmark dimulai sejak 1720, Swedia pada 1749, Norwegia pada 1821 dan Jerman pada 1821.
“Jadi bisa dibilang kita telat menerapkan kalau mau membentuk bank tanah,” kata Nizar.
Wacana bank tanah ini kemudian berusaha dimatangkan oleh pemerintah. Terutama oleh Kementerian Keuangan dan Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Konsep dasar bank tanah ini juga berbeda dari negara per negara. Sesuai dengan target dan tujuan utama dilakukannya konsolidasi lahan yang dilakukan Pemerintahan negara tersebut.
Kasubdit Bantuan Hukum Direktorat Hukum & Humas Kementerian Keuangan, Sungkana mencontohkan Belanda di dalam tulisannya Mengenal Bank Tanah sebagai Alternatif Manajemen Pertanahan. Awalnya, bank tanah awalnya sering berkembang untuk kepentingan publik. Namun kini ada tiga pola fungsi yang muncul.
Pertama, dalam kategori sebagai sebagai exchange land banking. Bank tanah model ini akan membeli tanah yang selanjutnya tanah tersebut akan dipertahankan untuk sementara waktu sebelum tanah tersebut dilepaskan/dipertukarkan dengan pihak ketiga.
Kedua, kegiatan bank tanah sebagai financial instrument (instrumen finansial) dilakukan dengan cara pemerintah membeli tanah untuk kemudian disewakan kepada para petani dengan periode yang lama (umumnya 26 tahun).
Ketiga, land bank as developer. Pada umumnya dilakukan oleh sektor swasta dengan cara melakukan pembelian tanah dalam jumlah besar dengan harapan di masa depan akan perubahan fungsi atas lokasi tanah tersebut (spekulasi) seperti berubah menjadi daerah pemukiman, rekreasi, kegiatan ekonomi sehingga akan meningkatkan nilai tanahnya.
“Sebenarnya konsep ini secara pribadi saya dukung. Dengan adanya bank tanah, finansial Indonesia terbantu karena aset yang tertidur dapat dimanfaatkan. Pengelolaan dan pembelian lahan juga akan lebih mudah karen ada satu lembaga yang mengaturnya,” kata Nizar.
Land banking berbentuk BLU
Pemerintah pun tampaknya mulai serius untuk menggarap program yang masih asing di telinga orang awam tersebut. Wajar saja, konsep bank tanah ini jarang didengar masyarakat Indonesia.
Konsep land banking yang diwacanakan pemerintah pun mulai dibentuk pada 2016 ini. Bank tanah yang kini sedang menjalani proses transisi tersebut akhirnya akan mulai berjalan di awal 2017.
Pemerintah Indonesia sendiri membentuk land bank dalam bentuk awal badan layanan umum (BLU) bernama Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN). Program BLU ini pun dimasukkan dalam perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2016.
“Memang sudah ada pembicaraan ini. Tapi kalau soal anggaran, kita tunggu resmi dari pemerintah,” kata Anggota Komisi XI fraksi NasDem Johnny G Plate, Kamis (26/5/2016).
Langkah pembentukan BLU LMAN ini diambil untuk mempermudah pemerintah dalam menjalankan program dan mempercepat pembangunan infrastruktur di Nusantara. Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Darmin Nasution sempat menyatakan BLU LMAN ini akan memiliki skema pembiayaan penggantian dana untuk pembelian yang ditalangi oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
"Kalau di APBN kan enggak mudah. Jadi, ini untuk memudahkan saja," ujar Darmin, Kamis (14/4/2016).
Skema dana talangan ini nantinya juga akan berganti dengan kehadiran BLU LMAN. Karena tidak hanya bisa dipakai untuk menalangi dana pembebasan lahan, BLU LMAN bisa melakukan pembelian lahan untuk kebutuhan negara tanpa menunggu anggaran negara yang selalu cair secara bertahap.
"Ini baru mekanisme BLU-nya untuk dana infrastruktur termasuk pembebasan lahan," ungkap Ferry beberapa waktu lalu.
Namun pengembangan BLU ini tidak hanya berhenti untuk membantu pembelian lahan kebutuhan pemerintah saja. Biaya pembebasan juga dirancang tidak melekat lagi di kementerian, tapi di BLU itu. Bahkan pengelolaan aset negara di bawah satu lembaga mungkin bisa dilakukan.
Ferry menyebut BLU LMAN bisa beroperasi secara penuh melakukan pembelian lahan untuk kebutuhan jalan tol pada 2017 mendatang. Saat ini Kementerian Agraria dan Tata Ruang tengah menggodok aturan dan mekanisme transisi hingga Desember 2016. “Belum bisa kita paparkan banyak karena tengah kita susun,” ungkap Kepala Biro Hukum dan Humas Kementerian ATR Kurnia Toha, Jumat (27/5/2016).
Tahun ini pemerintah rencananya akan menyuntikan dana sebesar Rp 16 triliun kepada BLU LMAN. Jumlah tersebut sesuai dengan besaran anggaran untuk alokasi pembebasan lahan untuk tol di tahun 2016 yang sempat ditahan dan baru dicairkan setelah APBNP 2016 diketok. “Bisa dibilang istilahnya kita bekukan dulu,” kata Nizar.
Kekhawatiran akan bank tanah
Pemerintah, terutama kementerian yang terkait dengan keuangan dan infrastruktur, terlihat getol menyiapkan program land banking ini. Sebab, bank tanah ini diyakini dapat memberikan jawaban akan permasalahan agraria yang ada di Indonesia.
Kehadiran bank tanah ini pun banyak disambut baik oleh pengembang dan pakar agraria. Walau demikian, kehadiran bank tanah dianggap belum mampu menyelesaikan seluruh persoalan agararia di Indonesia.
“Pertanyaannya, apakah bank tanah ini akan mampu menyelesaikan masalah agraria kita?” ujar Riza.
Politisi Gerindra ini melihat permasalahan aturan pertanahan terdahulu memiliki banyak kekuarangan dan menciptakan masalah di sektor agraria. Salah satunya masalah peradilan.
Karena itu sebenarnya kehadiran pengadilan agraria menjadi salah satu lembaga penting untuk menangani persoalan agraria di Indonesia. Karena itu, DPR lewat Komisi II yang menangani agraria dan tata ruang tengag membahas Revisi UU tentang agraria yang juga akan mempengaruhi aturan terkait pengadaan lahan.
Riza menambahkan, UU terkait agraria ini juga akan membenahi tata kelola dan penggunaan lahan agar lebih menguntungkan masyarakat umum. Bukan kelompok pemilik modal.
Selain itu, bank tanah juga dikhawatirkan akan menjadi mafia tanah baru bagi negara. Sebab, menurut Riza, pemburu rente dari keuntungan jual beli lahan proyek sudah menjadi rahasia umum.
Nizar pun menyampaikan hal yang sama. Namun menurut dia hal ini bisa ditangani bila bank tanah ditekankan menerapkan tiga prinsip. Keadilan bagi masyarakat umum, efesiensi dana, dan keterbukaan penggunaan anggaran.
“Kalau itu diterapkan, saya yakin akan menguntungkan Indonesia,” kata dia.
mtvn/radarriaunet.com