Polemik Royalti Musik Mencekik UMKM, DPR Fokus Revisi UU Hak Cipta untuk Audit LMK dan Definisi 'Komersial'
foto: Menteri Hukum Supratman Andi Agtas di Jakarta, Rabu (8/10/2025). (dok ist)

Polemik Royalti Musik Mencekik UMKM, DPR Fokus Revisi UU Hak Cipta untuk Audit LMK dan Definisi 'Komersial'

Jumat, 10 Oktober 2025|07:37:26 WIB




Radarriau.net | Jakarta – Polemik mengenai penarikan royalti musik yang melibatkan pelaku usaha seperti kafe, restoran, hingga hotel telah menjadi salah satu pendorong utama percepatan revisi Undang-Undang tentang Hak Cipta (UUHC). Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, melalui Komisi XIII, menekankan bahwa revisi ini harus menyelesaikan masalah transparansi Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dan ketidakjelasan definisi penggunaan komersial.

Wakil Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Otto Hasibuan, sebelumnya telah mendorong agar UUHC segera direvisi karena definisi komersial dalam aturan yang lama dinilai masih belum tegas. Hal ini menyebabkan kegelisahan di kalangan pemilik usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang merasa terbebani atau bahkan takut memutar lagu di tempat mereka.

Audit Wajib dan Akuntabilitas LMK

Isu paling panas dalam pembahasan RUU ini adalah masalah tata kelola dan transparansi royalti yang dihimpun oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dan LMK. Banyak musisi dan pemangku kepentingan industri menuntut adanya kejelasan mengenai aliran dana yang terkumpul.

Anggota DPR RI menegaskan bahwa revisi UUHC harus mencakup ketentuan audit menyeluruh terhadap LMK dan LMKN untuk memastikan distribusi royalti dilakukan secara adil dan proporsional kepada pencipta. Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) juga turut menyuarakan agar RUU ini memperbaiki tata kelola penarikan royalti dan menghentikan praktik penarikan konvensional LMK yang dianggap tidak transparan dan berpotensi menyimpang.

Memperjelas Batasan Penggunaan Komersial

Dalam rapat-rapat konsultasi dengan pelaku industri, DPR menyepakati perlunya memperjelas batasan "penggunaan komersial" dan skema tarif yang proporsional. Banyak pencipta lagu dan pelaku usaha yang ingin karyanya diputar bebas untuk tujuan promosi atau bersifat sosial-kebudayaan, namun terpaksa dipungut royalti akibat tafsir aturan yang terlalu luas.

Revisi ini bertujuan mengembalikan hak pencipta untuk menentukan apakah ciptaannya ingin dipungut royalti atau tidak, sekaligus melindungi pelaku usaha yang tidak mengambil untung murni dari pemutaran musik.

Perlindungan Kekayaan Intelektual Komunal dan Aset Digital

Selain polemik royalti musik, revisi UUHC juga diperluas untuk mengantisipasi tantangan di era digital yang lebih maju, di luar isu.

Ekspresi Budaya Tradisional (EBT) atau Kekayaan Intelektual Komunal: RUU ini mempertegas perlindungan terhadap Budaya Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional sebagai bagian dari kekayaan intelektual komunal. Pengaturan ini bertujuan menjaga agar unsur-unsur kebudayaan nasional, seperti lagu daerah, tarian, atau kerajinan, tetap dihormati dan tidak dieksploitasi tanpa mengindahkan nilai-nilai sosial budaya.

Hak Eksklusif dan Lisensi Digital: UUHC yang baru akan mengatur lebih detail mengenai hak eksklusif pencipta di ruang digital, mencakup hak streaming dan hak pengunduhan (download). Hal ini dilakukan untuk mendefinisikan platform digital sebagai subjek hukum yang wajib mematuhi aturan royalti dan lisensi.

Aset Digital (NFT dan Metaverse): RUU ini juga mulai memasukkan pertimbangan mengenai pengakuan hak cipta dalam aset digital seperti game dan metaverse, sebagai upaya hukum untuk merespons perkembangan teknologi terkini agar perlindungan KI tidak hanya terbatas pada karya fisik.

Dengan demikian, revisi UU Hak Cipta 2025 tidak hanya berfokus pada karya jurnalistik atau teknologi AI, tetapi juga secara mendasar menata ulang sistem royalti musik yang adil, serta memperluas payung hukum untuk melindungi aset digital dan kekayaan budaya tradisional di Indonesia.

(Ig)







Berita Terkait

Baca Juga Kumpulan Berita NEWS

MORE

MOST POPULAR ARTICLE