Jumat, 26 Agustus 2016|11:08:15 WIB
RADARRIAUNET.COM - Begitu bobot naik, ada ketakutan jika kondisi ini bisa memicu sejumlah penyakit, misalnya diabetes tipe 2. Tetapi bukan berarti upaya untuk menurunkan berat badan bisa serta-merta menjadi solusi jitu. Bahkan pada beberapa kasus, ada saja orang yang berhasil menurunkan bobotnya tetapi tetap terkena diabetes dan komplikasi terkait obesitas lainnya.
Di sisi lain, belum ada satupun cara yang bisa digunakan untuk mengetahui siapa yang bisa diuntungkan dengan program penurunan berat badan dan siapa yang tidak.
Hingga kemudian tim peneliti dari Nestle Institute of Health Sciences (NIHS); Maastricht University Medical Centre dan University of Copenhagen menemukan sebuah penanda khusus di dalam darah yang mereka sebut sebagai 'sidik jari lipid'.
Apa itu? Peneliti menemukannya setelah melakukan pengamatan terhadap kadar lipid seperti kolesterol dan trigliserida dari 383 obes yang mendapatkan intervensi diet terkontrol, di antaranya pola makan rendah kalori selama 8 pekan dan manajemen berat badan selama 6 bulan.
Kesemua partisipan belum didiagnosis dengan diabetes, tetapi dianggap sebagai pradiabetik atau berisiko terserang diabetes tipe 2. Meskipun diperlakukan sama, ditemukan perbedaan respons yang mencolok dari tubuh partisipan.
Pertama, yang diintervensi kemudian mengalami penurunan risiko diabetes, bahkan dapat mempertahankan berat badannya dan mengalami perbaikan kadar glikemik (kemudian disebut sebagai 'responder'), dan sisanya, partisipan yang mengalami penurunan bobot tetapi kadar glikemiknya tidak berubah dan tetap berisiko terserang diabetes tipe 2 dan komplikasi lainnya (disebut 'non-responder').
Ini artinya, perubahan komposisi lipid yang berlangsung selama diet bisa digunakan untuk menentukan pasien obesitas yang mana yang akan diuntungkan dengan diet dan terhindar dari risiko diabetes, dan mana yang tidak.
"Harapannya, upaya ini bisa jadi langkah awal untuk menemukan solusi baru bagi 'non-responder' agar kesehatan metaboliknya juga dapat diperbaiki," tutur Ed Baetge, Kepala NIHS seperti dikutip awak media, Rabu (24/8/2016).
Sebelumnya Prof Arch Mainous dari University of Florida juga menyoroti fenomena 'skinny fat' di mana seseorang memiliki berat badan normal, massa ototnya masih kalah jauh daripada kadar lemak dalam tubuhnya, sehingga komposisi tubuh mereka menjadi buruk dan memicu risiko penyakit seperti diabetes tipe 2.
Hal inilah yang kurang dipahami masyarakat, karena ketika melihat seseorang dengan berat badan mencapai 60 kg di usia 55 tahun, misalkan, masih dianggap normal. Padahal bisa jadi berat badannya berasal dari lemak, bukan massa otot.
"Maka dari itu, jangan hanya menjaga berat badan tetap normal. Olahraga teratur tetap dilakukan untuk menjaga massa otot dan mencegah lemak mengambil alih," tegasnya.
dtc/fn/radarriaunet.com