RADARRIAUNET.COM - "Mahkamah Konstitusi menegaskan kepada media bahwa lembaganya bukan pembela koruptor." Itulah yang ditegaskan oleh sang ketua peradilan tertinggi urusan kebijakan di negeri ini, Arief Hidayat.
Bantahan itu ia ungkapkan sebagai bentuk kekesalannya ketika lembaganya dianggap membela koruptor terkait putusan MK yang memperkuat bebasnya Djoko Tjandra, terpidana kasus hak tagih Bank Bali.
Berawal dari tidak terimanya Anna Boentaran yang mengajukan permohonan Peninjauan Kembali yang akhirnya diterima setelah MK menyebut keputusan Pasal 263 ayat (1) KUHP yang menyebutkan hanya terpidana dan ahli warisnya yang diberikan hak untuk mengajukan PK tidak untuk jaksa penuntut.
Keputusan MK ini kemudian menuai pro kontra di masyarakat. Jaksa Agung Muhammad Prasetyo sempat mengkritik karena keputusan ini dinilai justru menguntungkan pelaku tindak pidana, termasuk para koruptor.
Priska Sari, Arief enggan disebut pelindung atau pembela koruptor. Hanya saja, kebetulan yang melakukan uji materi adalah pelaku korupsi.
"Ini bukan masalah MK membela koruptor. Kebetulan yang mengajukan terpidana kasus korupsi, kalau yang mengajukan orang lain pun akan diperlakukan sama," kata Arief.
Terlebih ketentuan ini juga pernah digugat dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman pada tahun 2010. Keputusannya pun sama, hak mengajukan PK hanya dimiliki terpidana atau ahli waris.
"Jadi itu ditegaskan kembali, bukan keputusan baru itu. Sementara kejaksaan bisa mengajukan kasasi demi kepentingan hukum," katanya.
Dalam pertimbangannya, Arief menyebutkan PK yang dilakukan jaksa menimbulkan dua pelanggaran yakni pelanggaran terhadap subjek dan objek PK.
Pelanggaran subjek inilah yang menurut UU disebutkan bahwa yang berhak adalah terpidana dan ahli warisnya. Sementara itu pelanggaran terhadap objek terjadi karena putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, tidak dapat dijadikan objek PK.
Arief juga menegaskan bahwa landasan PK ini menjadi bentuk perlindungan hak asasi terpidana, bukan kepentingan negara maupun korban.
Cnn/Alex H24