RADARRIAUNET.COM - Pimpinan DPRD DKI diduga melakukan pemaksaan agar dua rancangan peraturan daerah (raperda) yang mengatur reklamasi pesisir pantai utara Jakarta segera disahkan. Padahal, fraksi-fraksi di DPRD DKI memiliki pandangan yang berbeda.
"Sejak awal, dua raperda (reklamasi) sudah bermasalah. Ketika melakukan Paripurna pandangan umum, dari sembilan fraksi, satu fraksi menolak dan empat fraksi setuju dengan catatan," kata anggota DPRD DKI dari Fraksi Hanura Very Yonnevil Munir dalam diskusi "Reklamasi Penuh Duri" di Warung Daun, Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat, Sabtu (9/4/2016).
Fraksi yang setuju dengan catatan, mendorong pembahasan dilakukan setelah ada penelitian mendalam dari aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi dengan melibatkan para pakar. Tapi, kata Very, catatan itu seolah diabaikan. Ia menyebut ada kesan pemaksaan raperda reklamasi harus segera disahkan.
"Raperda ini keliatan dipaksakan untuk dibahas, apa yang dijadikan masukan kawan fraksi akhirnya diabaikan," ungkap Very.
Very mengatakan, kesan pemaksaan hadir dari pimpinan dewan. "(Pemaksaan) ya dari pimpinan DPRD," katanya.
Setelah paripurna dilaksanakan, pembahasan dilakukan oleh Badan Legislasi Daerah (Balegda). Kata Very, pembahasan di Balegda yang diikuti oleh sedikit anggota menjadi indikasi adanya pemaksaan untuk segera mengesahkan raperda.
"Kadang sebagian anggota Balegda yang hadir. Karena faktor tadi, kenapa harus dipaksakan untuk segera disahkan. Jadi paham sekali, hanya ketua (Balegda), wakil ketua, dan dua anggota tetap (ngotot) bahas raperda," kata Very.
Raperda reklamasi menjadi perbincangan setelah KPK mencokok anggota DPRD DKI Mohamad Sanusi dan Presdir PT APL, AWJ menjadi tersangka. Raperda tersebut adalah raperda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi DKI Jakarta (RZWP3K) dan raperda Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta.
KPK mencokok Ketua Komisi D DPRD Mohamad Sanusi dan karyawan PT APL Trinanda Prihantoro pada Kamis malam, 31 Maret 2016. Sanusi baru saja menerima uang dari Trinanda melalui seorang perantara.
Lembaga Antikorupsi menyita uang Rp1,140 miliar yang diduga suap untuk Sanusi. Politikus Gerindra ini diketahui menerima sekitar Rp2 miliar dari PT APL, namun uang itu sudah digunakannya hingga hanya bersisa Rp1,140 miliar.
Uang diduga sebagai suap terkait pembahasan rancangan peraturan daerah tentang rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Provinsi DKI Jakarta 2015-2035. Selain itu, uang terkait raperda tentang rencana kawasan tata ruang kawasan strategis pantai Jakarta Utara.
Sanusi dan Trinanda kemudian dibawa dan diperiksa di Kantor Lembaga Antikorupsi. Sementara, Presiden Direktur PT APL Ariesman Widjaja yang juga tersangkut kasus ini menyerahkan diri ke KPK pada Jumat malam 1 April.
Di lain tempat, KPK menggeledah kantor Sanusi dan Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta M. Taufik. Dari lokasi ini, penyidik KPK mengamankan beberapa dokumen diduga terkait kasus suap ini.
Sanusi pun dijadikan tersangka penerima suap. Dia disangkakan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang 39 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah UU 20 Tahun 2001 jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Sementara, Trinanda dan Ariesman jadi tersangka pemberi suap. Keduanya disangkakan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 b atau Pasal 13 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Para tersangka ini sudah ditahan KPK untuk 20 hari ke depan. Sanusi kini meringkuk di Rumah Tahanan Polres Jakarta Selatan, Trinanda di Rutan Polres Jakarta Timur, sedangkan Ariesman di Rutan Polres Jakarta Pusat.
Mtvn/ alex harefa