Jumat, 13 Desember 2019|14:11:18 WIB
RADARRIAUNET.COM: Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mengungkapkan kenaikan iuran harus dilakukan pada Januari 2020. Hal ini karena defisit diproyeksi mencapai Rp 16 triliun.
Namun, ia memandang kenaikan ini bakal memberatkan peserta. Sehingga, ia menyodorkan usulan tiga skema alternatif untuk menangani kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Dilansir dari Kompas.com disebutkan, menurut Terawan alternatif yang diberikan, pertama adalah usul pemberian subsidi pemerintah atas selisih kenaikan iuran JKN pada peserta PBPU (Peserta Bukan Penerima Upah) dan BP (Bukan Pekerja) Kelas III.
Menurut dia, usulan alternatif tersebut masih menunggu jawaban dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati."Alternatif kedua itu bisa memanfaatkan profit atas klaim rasio peserta PBI yang diproyeksikan pada tahun berikutnya, akan ada profit akibat kenaikan iuran JKN berdasarkan Perpres 75 Tahun 2019," kata Terawan di Komisi IX, Jakarta, Kamis (12/12/2019).
Menurut dia, profit ini akan digunakan untuk menutupi iuran peserta PBPU dan BP Kelas III.
Lalu alternatif ketiga, Kementerian Sosial sedang melakukan perbaikan kualitas data PBI sekaligus mengintegrasikan data PBI dengan dengan DTKS (Data Terpadu Program Kesejahteraan Sosial). Di dalam data PBI non DTKS sejumlah 30.620.052 jiwa yang akan dinonaktifkan oleh Menteri Sosial.
"Rencana penonaktifan data PBI tersebut dapat dimanfaatkan untuk digantikan oleh peserta PBPU dan BP Kelas III yang berjumlah 19.961.569 jiwa," jelas dia.
Saran IDI
Disebutkan pula, penyebab besarnya defisit BPJS Kesehatan disebut-sebut karena adanya ketimpangan antara pelayanan yang diberikan dengan dana yang diterima. Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) dr Daeng M Faqih, menyarankan agar BPJS Kesehatan menyesuaikan manfaat yang diterima peserta.
"Itulah yang disebut penyesuaian dan pengaturan manfaat. Di kita ini kan dari A-Z ditanggung semua. Di negara lain tidak ada yang seperti itu yang ditanggung hanya pelayanan esensial," kata dr Daeng saat dijumpai di Kantor PB IDI, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (12/12).
Penyesuaian manfaat yang dimaksud yakni soal jenis pelayanan kesehatan apa yang harus dikerjakan, ditanggung secara penuh atau hanya sebagian. Untuk jenis pelayanan yang akan mendapat penyesuaian, sampai saat ini masih tahap perencanaan oleh pihak terkait."Untuk tindakan belum bisa bilang sekarang karena masih didiskusikan," sebutnya.
Penyesuaian manfaat ini juga dinilai akan berdampak besar pada pendanaan BPJS Kesehatan. Strategi agar JKN bisa berjalan bagus dan memberikan kualitas yang bagus menurut dr Daeng dengan mengatur jenis pelayanan dan pengeluaran tapi tidak mengurangi kualitas.
"Standar jangan diubah. Contohnya rehabilitasi medis misalnya harus 8 kali. Kalau BPJS mampunya 6 kali ya 6 kali tapi jangan ubah standar," jelasnya.
"2 kalinya mana? Iur biaya. Standarnya sama tetap, tapi nanti strateginya mau pakai apa," pungkasnya.
RR/dtc/zet