Selasa, 02 Juli 2019|11:46:58 WIB
Jakarta : Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 37 Tahun 2019 tentang Jabatan Fungsional Tentara Nasional Indonesia (TNI) dinilai sangat politis karena terkait janji politik Presiden Joko Widodo. Akibatnya, Aparatur Sipil Negara (ASN) yang jadi korban.
"Jadi, ini kayaknya janji politik Jokowi untuk merangkul tentara yang akhirnya ngasih Perpres ini dan percepat untuk jenderal yang menganggur ada di jabatan sipil," ucap Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur, di kantornya, Jakarta, seperti sitat CNN Indonesia, Selasa (2/7/2019).
Dalam Perpres itu disebutkan bahwa pejabat fungsional TNI berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab kepada kepala unit kerja/organisasi di mana yang bersangkutan ditugaskan. Untuk kepangkatan, pejabat fungsional TNI setara dengan kepala unit kerja/organisasi.
"Kategori jabatan fungsional TNI, menurut Perpres, terdiri atas; a. Jabatan fungsional keahlian; dan b. Jabatan fungsional keterampilan," mengutip pemberitaan yang diunggah di website Setkab, Jumat (28/6/2019).
Perpres Nomor 37 Tahun 2019 menyebutkan bahwa prajurit yang menduduki jabatan fungsional TNI dipindahkan dalam jabatan struktural maka jabatan fungsionalnya diberhentikan.
"Prajurit yang diberhentikan dari Jabatan Fungsional TNI dapat diangkat kembali sesuai dengan jenjang jabatan fungsional TNI terakhir berdasarkan perundang-undangan, apabila tersedia formasi jabatan," mengutip pemberitaan setkab.go.id.
Lebih dari itu, pejabat fungsional mendapat tunjangan jabatan fungsional sesuai dengan jenjang jabatan fungsional TNI. Ketentuan mengenai tunjangan jabatan fungsional TNI sebagaimana dimaksud diatur dengan Peraturan Presiden.
Menurut Isnur, perpres ini merupakan penerapan dari wacana masuknya militer ke jabatan sipil yang pernah disuarakan oleh Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu yang pernah ditolak kalangan masyarakat sipil.
Pasalnya, upaya itu berpotensi akan membangkitkan kembali gagasan dwifungsi ABRI, dimana militer punya peran ganda dalam pertahanan dan jabatan politik atau sipil.
"Ini soft landing, bagian dari rencana yang dulu kita tolak, bagaimana tentara masuk wilayah sipil. Secara halus sih baik, tapi semangat di belakangnya, semangatnya bagi-bagi jatah, bagi-bagi jabatan karena banyak Jenderal yang nganggur; surplus perwira," ujar Isnur.
Padahal menurutnya, berdasarkan diskusi pihaknya dengan TNI, surplus perwira itu akibat dari intervensi pejabat tinggi yang gemar menitipkan posisi. Padahal, sudah ada mekanisme dan rencana yang matang soal kaderisasi perwira di internal.
"Tapi rencana itu dirusak oleh intervensi-intervensi pihak luar, dari pejabat-pejabat tinggi. Misalnya, untuk Sesko (Sekolah Staf dan Komando) untuk menjadi jenderal itu sudah ada porsi, tentara sudah [ada] rencana yang matang sehingga cukup," tutur dia.
"Tapi, Sesko sudah full, baik, eh dapat titipan dari lembaga mana, pejabat mana. Jadi, terpaksa Sesko ditambahin lagi orangnya. Rusaklah strukturnya," sambungnya.
Rusak Karier
Selain kekhawatiran akan dwifungsi, Isnur menyebut kehadiran TNI di seluruh instansi sipil berpotensi menimbulkan ketidakadilan bagi kalangan ASN yang memiliki kompetensi. Menurutnya, penempatan perwira TNI akan menyisihkan pejabat karier.
"Ini mengandung masalah. Bukan hanya paradigma, rencana, dan sejarah trauma masa lalu akibat dwifungsi, tapi juga kepada struktur jabatan sipil. Bagaimana dengan pejabat sipil yang sudah bertahun-tahun dididik dan dilatih, akan dipimpin TNI? Padahal, mereka berkompetensi, mereka tersisihkan," cetus dia.
Senada, Direktur Eksektutif Kantor Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Lokataru, Haris Azhar menyebut imbas lain dari perpres ini adalah menipisnya kesempatan bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk berkarier.
Baginya, perpres ini menunjukkan bahwa pemerintah sedang menyenangkan pihak militer dengan memberikan ruang gerak yang lebih luas bagi TNI di luar kemiliteran.
"Dugaan saya makna politisnya tinggi sekali bahwa ini upaya membelai-belai "kepala dan leher" TNI untuk dikasih posisi-posisi yang lebih luas jadi mereka akan merasa bersama Jokowi kami semua sejahtera," ujar Haris.
Ketua YLBHI Asfinawati mengaku tengah mengkaji potensi 'benturan' antara Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dengan Perpres Nomor 37 Tahun 2019.
"Iya betul," ucapnya, saat ditanya soal kemungkinan maladministrasi perpres itu. "Tapi, kami sedang mengkaji; belum selesai," kata dia.
Dalam ketentuan Pasal 47 ayat (1) UU TNI disebutkan bahwa prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan. Dalam pasal yang sama pula, UU tersebut memberikan kemungkinan bagi anggota TNI untuk menduduki jabatan struktural di sepuluh instansi sipil.
Ada pun sepuluh instansi tersebut ialah Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan; Kementerian Pertahanan; Sekretariat Militer Presiden; Badan Intelijen Negara; Lembaga Sandi Negara; Lembaga Ketahanan Nasional; Dewan Ketahanan Nasional; Badan Search and Rescue Nasional (Basarnas); Badan Narkotika Nasional; dan Mahkamah Agung.
Sebelumnya, Deputi V Bidang Kajian Politik dan Pengelolaan Isu-isu Hukum, Pertahanan, Keamanan dan HAM Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodawardhani mengatakan perpres itu bukan untuk mengembalikan dwifungsi. Selain bertentangan dengan prinsip reformasi TNI, ia menyebut itu tak mungkin dilakukan karena pengawasan dari sipil sudah banyak.
Menurutnya, perpres ini adalah bagian dari upaya menghargai keterampilan, keahlian, dan pengetahuan prajurit TNI yang beragam.
RRN/CNNI