Senin, 19 November 2018|14:29:21 WIB
Bali: Ukuran atau size, perbankan Indonesia relatif masih kecil jika dibandingkan dengan size perekonomian Tanah Air yang telah mencapai USD1 triliun.
Nilai aset perbankan Indonesia masih jauh berada di bawah nilai aset yang dimiliki perbankan lain di kawasan ASEAN sebagai peer group. Hal itu menjadi ironi bila melihat ukuran ekonomi Indonesia yang menguasai hampir 40 persen dari produk domestik bruto (PDB) ASEAN.
"Dengan size ekonomi Indonesia yang menguasai perekonomian ASEAN, seharusnya perbankan Indonesia size-nya tidak sekecil itu. Kalah jauh dengan perbankan negara lain yang size ekonominya lebih kecil jika dibandingkan dengan Indonesia," kata Kepala Divisi Riset Bursa Efek Indonesia (BEI) Poltak Hotradero dalam sebuah diskusi di Bali, pekan lalu.
Mengutip data BIS Working Paper 686, Januari 2018, posisi aset bank terbesar Indonesia pada 2014 baru mencapai USD44,4 miliar. Sementara itu, aset bank terbesar di Malaysia dan Thailand mencapai USD98,9 miliar dan USD83,82 miliar. Angka itu tidak banyak berubah hingga 2017.
Poltak mengatakan ukuran kecil itulah yang menjadikan daya dorong perbankan Indonesia terhadap perekonomian menjadi terbatas. Oleh karena itu diperlukan peningkatan kapasitas dari perbankan di Indonesia.
Untuk itu, butuh injeksi modal besar.
"Perbankan itu bisnis orang gila, menerima dana masyarakat dengan tenor pendek untuk disalurkan ke kredit yang berjangka panjang. Oleh karena itu, butuh modal agar bila simpanannya ditarik sewaktu-waktu, bisa memenuhi," ujarnya.
Modal juga diperlukan agar bisa membiayai kebutuhan belanja teknologi agar bisa beroperasi dengan efisien. Bank-bank bermodal cekak tidak akan mampu membiayai kebutuhan belanja teknologi yang akan semakin tinggi dan telah menjadi tuntutan industri.
Oleh karena itu, ia menilai keberadaan pemilik atau pemegang saham yang kuat menjadi penting agar bank bisa bertumbuh lebih besar.
"Dulu BI telah memiliki peta untuk konsolidasi perbankan. Tapi agaknya tidak mudah mengonsolidasikan bank," tandasnya.
Pengamat ekonomi Aviliani mengatakan dibutuhkan ketegasan dari regulator agar perbankan Indonesia dapat tumbuh kuat dan berdaya saing.
"Apalagi sekarang ini tidak ada bail-out, tetapi bail-in bila terjadi sesuatu di perbankan," ujarnya.
Kehadiran pemegang saham asing seharusnya tidak menjadi persoalan sejauh taat terhadap peraturan yang ada. Dengan demikian, kelak industri perbankan Indonesia dapat lebih berkontribusi terhadap perekonomian.
AHL/medcom.id