Sabtu, 10 Maret 2018|22:30:16 WIB
Jakarta: Penandatangan perjanjian kerja sama (MoU) dan koordinasi antara aparat pengawasan intern pemerintah (APIP) dan aparat penegak hukum (APH) pada 2 Maret 2018 menimbulkan polemik. Kerja sama itu pun diklaim tidak dimaksudkan untuk melindungi koruptor.
Kerja sama ini adalah tindak lanjut ketentauan Pasal 385 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda). Pasal tersebut mengharuskan koordinasi antara APIP dan penegak hukum dalam menindaklanjuti pengaduan masyarakat atas dugaan penyimpangan yang dilakukan aparatur daerah.
Selain itu, MoU tersebut juga dibuat berdasarkan fakta yang terjadi di lapangan. Ini terkait penyerapan anggaran di daerah yang tidak maksimal lantaran ada ketakutan dalam menjalankan tugas untuk pembangunan daerah.
"Penyerapan anggaran di daerah kan juga kurang, tidak bisa maksimal, karena orang-orang takut dipidanakan," kata Pelaksana Tugas (Plt) Irjen Kemendagri Sri Wahyuningsih pada media, akhir pekan lalu.
Ia menjelaskan MoU itu untuk memisahkan antara kesalahan administrasi dan tindak pidana. Ia mencontohkan salah satu tugas sekretaris daerah (sekda) ialah menandatangani pengeluaran anggaran untuk pembangunan daerah.
Di satu sisi, jika sekda tidak tanda tangan, pembangunan daerah mandek. Di sisi lain, jika terjadi masalah dalam pengelolaan anggaran tersebut, sekda akan turut dipidana.
"Kalau ada aliran anggaran dari proyek masuk ke dia (sekda), ya kita tidak akan ampun. Itu ranahnya pidana, tapi yang kasihan kalau dia melakukan tugasnya murni dan tidak ada aliran anggaran, tapi dipidana, itu tidak adil," tukasnya.
Kerja sama tersebut, sambung dia, akan ditindaklanjuti oleh daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota. Penjelasan lebih lanjut mengenai pelanggaran administrasi yang dimaksud dalam kerja sama itu akan berkembang di dalam sosialisasi nantinya.
"Teknisnya (akan dibicarakan di daerah). Itu menyikapinya tergantung masalah yang terjadi di sana," papar dia.
Yang jelas, tegas dia, jika dalam laporan masyarakat tersebut ditemukan adanya unsur tindak pidana dan secara nyata mengarah kepada aparatur daerah, akan diproses lebih lanjut oleh APH. "Bukan kita melindungi (koruptor)," ucapnya lagi.
Deteksi awal
Deputi Bidang Pencegahan KPK Pahala Nainggolan meyakini APIP harus bergerak sebagaimana diharapkan dan memiliki kepercayaan diri dalam memberikan keputusan. Dengan begitu, mereka dapat menjadi pendeteksi korupsi pertama dan dapat memperbaiki sistem sejak dini.
"APIP tidak akan hambat pemberantasan korupsi, justru secara teori malah harus lebih dulu deteksi tipikor dan memperbaiki sistem untuk pencegahan. Namun, kalau memang ada tipikornya, ya harus dibawa ke aparat penegak hukum," terang Pahala.
Perjanjian kerja sama, menurut dia, merupakan kegiatan lanjutan dari MoU pada Desember tahun lalu. Selama ini yang terjadi di lapangan, pemerintah daerah merasa tidak optimal dalam bekerja melaksanakan pembangunan karena kerap diganggu dengan pemanggilan dari APH di daerah.
"APH setiap kali mendapat laporan masyarakat langsung periksa dan minta data ke pemda. Padahal, masih ada inspektorat," ujar Pahala.
Sementara itu, Koordinator Divisi Hukum ICW Lalola Easter menilai terdapat kejanggalan dalam MoU tersebut. "Kejanggalannya ialah soal APH yang harus menyerahkan ASN yang diduga melakukan tipikor untuk diperiksa lebih dahulu oleh APIP, baru proses hukum," tukas dia.
Menurut dia, mekanisme itu tidak logis. "Kalau sudah ada pidana, sangat besar kemungkinan yang bersangkutan sudah melakukan pelanggaran administratif. Jadi, logika berpikirnya terbalik."
Ogi/mtvn/RRN