Kamis, 18 Agustus 2016|15:08:42 WIB
RADARRIAUNET.COM - Saat itu tahun 2011 beberapa orang dekat Mas Adi—sapaan saya kepada Adi Sasono— berkeinginan agar perjalanan hidup seorang Adi Sasono yang gigih memperjuangkan ekonomi rakyat dan demokratisasi ditulis dalam buku biografi. Buku itu rencananya diluncurkan bertepatan dengan ulang tahunnya yang ke-70 pada 16 Februari 2013.
Ketika saya diminta menulis buku biografinya, tanpa basa-basi saya mengiyakan. Maka mulailah saya berselancar di internet untuk mencari tahu lebih banyak soal sepak terjang Mas Adi berikut kontroversinya. Hasil dari riset di internet dan berbagai publikasi cetak saya jadikan bekal untuk mewawancara Mas Adi dan kolega-kolega dekatnya.
"Susah lho menulis buku tentang Mas Adi. Aktivitasnya banyak sekali. Jaringannya luas dan multilevel, mulai dari rakyat biasa sampai pejabat negara," kata Heri Akhmadi, aktivis ITB 1970-an yang menjadi kader Mas Adi. Betul ternyata. Merekonstruksi perjalanan hidup seorang Adi Sasono yang sejak mahasiswa sampai tujuh dekade usianya bukan pekerjaan mudah. Aktivitasnya tak pernah berhenti.
Ketika menjadi mahasiswa Teknik Sipil ITB, sebagian besar waktunya tersita sebagai aktivis. Ia pernah menjadi ketua HMI cabang Bandung periode 1964-1965, kemudian menjadi ketua Dewan Mahasiswa ITB untuk periode 1965-1966, sempat pula menjadi sekjen Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI).
Saat eskalasi politik sangat tinggi, mahasiswa mengonsolidasikan gerakan melawan komunis sekaligus menumbangkan Orde Lama. Lantas dibentuklah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) di Jakarta dan Adi terpilih menjadi ketua presidium KAMI Bandung. Para aktivis turun berdemo di jalan bersama rakyat.
Dari berbagai aktivitas itu, ia banyak bertemu dan berinteraksi dengan aktivis dari perguruan tinggi lain yang kemudian menjadi sahabatnya. Mereka di antaranya Dawam Rahardjo dan Tawang Alun dari UGM, Sugeng Sarjadi dari Unpad, Nono Anwar Makarim dan Fahmi Idris dari UI, serta Nurcholish Majid dari IAIN Jakarta.
Selepas kuliah, Adi menjalankan usaha bersama teman-temannya dan kemudian bekerja sebagai profesional di perusahaan patungan antara Krama Yudha dan Philips. Dalam posisinya sebagai general manager, hidupnya telah mapan, tapi dia merasa dihantui kegelisahan. Akhirnya setelah melewati perenungan mendalam, Adi keluar. Dia memilih untuk sepenuhnya bergerak di aktivitas sosial. "Itulah dunia saya," kata Adi.
Banyak hal dilakukan, mulai dari pembelaan terhadap mantan anggota PKI yang hidupnya terlunta-lunta, turun tangan membantu pemulung di Bandung, pemberdayaan petani jagung di Kediri, menerapkan pembangunan tanpa menggusur di Samarinda (yang akhirnya berbuah penghargaan Aga Khan Award), hingga pemberdayaan usaha kecil, termasuk mendirikan Asosisasi Pedagang Kali Lima (APKLI). Kemudian bekerja sama dengan Gus Dur dan lain-lain dalam memberdayakan pesantren, termasuk mendirikan perpustakaan di Istiqlal yang menjadi pusat jaringan perpustakaan pesantren.
Dan masih banyak lagi kegiatan lain yang sebagian besar berorientasi dengan ekonomi rakyat. Termasuk menulis buku legendaris bersama Sritua Arief berjudul Indonesia, Ketergantungan dan Keterbelakangan. Buku ini seolah menjadi bacaan wajib bagi aktivis tahun 1980-an.
Jejak panjang sebagai aktivis dan pergerakan mengantarkan Adi Sasono menjadi menteri koperasi dan UKM. Presiden Habibie yang memintanya setelah mendapat masukan justru dari Widjojo Nitisastro, arsitek ekonomi Orde Baru yang secara ideologi pembangunan berseberangan dengan Adi Sasono.
Begitu menjadi menteri, Adi langsung menggebrak dengan kebijakan proekonomi rakyat dan koperasi. Anggaran Rp 10 triliun dialokasikan untuk koperasi dan UKM. Gebrakan berikutnya mendirikan Koperasi Distribusi Indonesia (KDI) untuk melawan distributor minyak gorang yang dikuasai segelintir orang.
Langkah lain berupa redistribusi aset lewat penataan penguasaan hak pengusahaan hutan (HPH). Pemilikan HPH harus dibatasi 100 ribu hektare per provinsi untuk setiap perusahaan. Sebelumnya ada perusahaan yang memiliki 3,5 juta hektare. Sebagian pengelolaan harus diberikan kepada koperasi dan masyarakat adat.
Bagi sebagian orang, gebrakan itu dinilai menakutkan. Lantas muncullah aneka julukan dari beberapa media internasional. Majalah Asia Week (18 Desember 1998) memasang foto Adi di sampul majalah berikut tulisan "Watch This Man."
Kemudian majalah Far Eastern Economic Review (3 Desember 1998) menjulukinya sebagai "The Most Dangerous Man" karena Adi dinilainya sangat anti-Cina. Terakhir, majalah bergengsi Economist (20 Maret 1999) menulis artikel dan menjuluki Adi sebagai "Robin Hood of Java."
Adi tidak merasa terganggu dengan berbagai julukan itu karena pada prinsipnya yang diperjuangkan adalah kesetaraan ekonomi, terutama kaum pribumi yang hidup sengsara di negeri sendiri. Kaum pribumi harus diberi kesempatan untuk bangkit secara ekonomi. Julukan-julukan itu menurutnya hanya karena kesalahpahaman dalam menilai kebijakannya.
Penyakit kanker yang diderita dalam beberapa bulan terakhir ini merupakan kali kedua ia mendapat penyakit berat. Ketika sibuk-sibuknya menjadi menteri, Adi pernah terkena penyakita silent killer, yakni hepatitis C. Pada 24 Juni 1999 Adi ambruk dan dibawa ke RSPAD Gatot Subroto.
Selama empat hari tidak menunjukkan kemajuan, akhirnya ia dibawa ke RS Mount Elizabeth Singapura. Di situ kondisinya hanya sedikit membaik. Selanjutnya dia periksa ke Chichago, tapi tetap saja penyakit itu tidak bisa sembuh.
Mencermati kondisinya yang tidak juga membaik, Adi sempat diantar sopirnya ke Yayasan Kamboja. Dengan kondisi badan yang kurus berikut wajahnya yang hitam, bengkak, dan kuyu, Adi mendaftarkan dirinya sendiri agar nanti yayasan tersebut mengurus kematiannya jika ajal tiba.
Namun, rupanya Allah SWT berkehendak lain. Ada pengobatan alternatif di Cikajang. Di situ Mas Adi menjalani terapi dan ternyata berhasil. Secara perlahan tapi pasti, tubuhnya kembali pulih, apalagi ditambah dengan minum virgin coconut oil (VCO) secara rutin tiap hari seperti yang direkomendasikan Prof Bambang Setiadji dari UGM.
Aktivitas kembali full speed, sekalipun setelah selesai menjadi menteri. Sampai akhirnya Mas Adi divonis kanker. Ketika dokter memvonis kanker, kembali Mas Adi mendaftarkan diri di Yayasan Kamboja.
Selasa pekan lalu kondisi Mas Adi turun cukup drastis sehingga tidak mau makan. Dua hari kemudian dibawa ke rumah sakit untuk memperoleh penanganan, termasuk diberi infus. Tetapi, kondisi tak kunjung membaik, sampai akhirnya Sabtu 13 Agustus 2016 pukul 17.20 ajal menjemputnya.
Kini Mas Adi sudah berada di tempat keabadian. Kita kehilangan tokoh penggerak ekonomi rakyat, penggerak demokratisasi, penggerak kedaulatan bangsa. Selamat jalan Mas Adi, selamat jalan sang penggerak.
Oleh Anif Punto Utomo
Penulis Biografi Adi Sasono 'Sang Penggerak'/rol