Selasa, 01 Agustus 2017|20:36:08 WIB
Jakarta: Indonesia disebut mulai memasuki era inflasi rendah dan stabil. Dalam kurun waktu hampir tiga tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo, inflasi Indonesia secara tahunan (year on year/yoy) terus bergerak turun menjauhi level 8,36 persen yang pernah ditorehkan Indonesia pada akhir 2014. Terhitung sejak 2014, inflasi Indonesia telah turun hingga 448 basis poin (bps) menjadi 3,88 persen (yoy) per Juli 2017.
Rendahnya inflasi tersebut antara lain terjadi karena salah satu penyumbang inflasi terbesar, yakni subsidi BBM telah dihapus sejak akhir tahun 2014 lalu.
Gubernur Bank indonesia (BI) Agus D.W Martowardojo menyebut, selama dua tahun terakhir, inflasi Indonesia selalu berada di kisaran 3 persen. Hingga akhir tahun ini, inflasi juga diperkirakan bisa berada di bawah 4 persen. Agus menyatakan, inflasi yang rendah ini membuat Indonesia setara dengan negara-negara lain di mana tingkat inflasinya bisa berada di bawah 3 persen.
Menurut Agus, terjaganya stabilitas ini tidak terlepas dari upaya pemerintah dalam mengontrol kenaikan harga khususnya yang berasal dari komoditas pangan (volatile food) dan harga yang diatur oleh pemerintah (administered price).
"Ini era baru seperti negara-negara tetangga, di mana inflasi rata-rata di bawah 3 persen," ujarnya, Rabu (26/7).
Ironisnya, penurunan tingkat inflasi disertai dengan penurunan daya beli masyarakat, yang disebabkan efek domino dari gejolak perekonomian global. Kejatuhan harga minyak dunia dan pelemahan ekonomi negara China secara tidak langsung, melemahkan kemampuan ekonomi masyarakat di dalam negeri.
Lesunya ini tergambar dari realisasi penjualan pada sektor ritel yang melemah. Hal ini antara lain dirasakan oleh emiten ritel yang mencatatkan pertumbuhan penjualan kurang dari lima persen pada paruh pertama tahun ini.
Mengacu pada laporan keuangan PT Unilever Indonesia Tbk, penjualan bersih perseroan hanya tumbuh 2,49 persen secara tahunan menjadi Rp 21,26 triliun pada semester I tahun ini. Pertumbuhan tersebut lebih lemah dibanding semester I tahun lalu yang mencapai 10,43 persen.
Penjualan bersih PT Mayora Indah Tbk, juga mengalami pelemahan. Pada paruh pertama tahun ini, penjualan perseroan hanya tumbuh 1,23 persen secara tahunan menjadi Rp 9,39 triliun. Padahal, pada paruh pertama tahun lalu pertumbuhannya mencapai 23 persen.
"Secara struktural inflasi global memang sedang rendah, apalagi harga minyak dunia masih bergerak di kisaran US$52. Namun, permintaan secara agregat masih stagnan," ujar Ekonom PT Bank Central Asia Tbk David Sumual saat dihubungi, Selasa (1/8).
Tren inflasi yang rendah ini diperkirakan masih akan berlangsung hingga akhir tahun. Ini seiring dengan harga minyak dunia yang diprediksi tidak akan melonjak lebih dari US$60 per barel tahun ini.
Sebetulnya menurut David, pemerintah bisa memanfaatkan momen inflasi rendah ini untuk bisa mencapai pertumbuhan ekonomi hingga 5 persen. Kuncinya, pemerintah harus menjaga kepercayaan masyarakat agar tidak takut dalam membelanjakan uangnya.
Segala kebijakan yang sifatnya disentif, menurutnya harus dihindari oleh pemerintah. Pemerintah juga harus konsisten dalam mengeluarkan regulasi sehingga bisa memberikan kepastian kepada dunia usaha.
"Perlu adanya stimulus juga untuk menjaga confident masyarakat dan ke bisnis. Jangan sampai mereka terganggu, sehingga tidak berani bertransaksi. Kebijakan penurunan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) juga harus hati-hati karena bisa menciderai confident," katanya.
Menjaga ekonomi yang kondusif juga harus dilakukan dari sisi dunia politik. Pemerintah diminta bisa menjaga kepercayaan dunia usaha dengan tetap menjaga dinamika politik yang saat ini mulai meningkat menjelang masa pemilihan umum (pemilu) tahun 2019 mendatang.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang Indonesia (Kadin) DKI Jakarta Sarman Simanjorang mengatakan, dinamika politik perlu dijaga agar tidak menciptakan kegaduhan yang bisa berdampak negatif terhadap dunia usaha.
“Di tengah kondisi ekonomi global dan nasional yang belum stabil, sangat dibutuhkan kondisi politik yang aman dan memberi rasa nyaman bagi pelaku usaha, pasar dan investor,” ujarnya.
Menggedor daya beli masyarakat di sisa paruh tahun ini juga bukan perkara yang mudah. Ekonom Samual Aset Manajemen Lana Soelistianingsih mengatakan, secara historis, pola konsumsi masyarakat pada kuartal III dan IV akan lebih rendah jika dibandingkan dengan kuartal II yang memiliki momentum Lebaran dan tahun ajaran baru bagi anak sekolah.
"Kuartal III dan IV memang secara siklus konsumsi rumah tangga akan menurun," kata Lana.
Kendati demikian, ia berharap, pemerintah bisa menggunakan APBN untuk menstimulus perekonomian. Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) 2017, pemerintah mematok belanja pemerintah pusat naik dari 1.315,5 triliun menjadi Rp 1.366,9 triliun.
Lana mengharapkan APBN yang baru ini bisa digunakan lebih produktif, sehingga daya beli masyarakat kembali tinggi dan kinerja sektor ritel bisa meningkat. "Kalau sampai pemerintah menahan belanja, itu yang bisa mempengaruhi pengeluaran konsumen dan confident menjadi turun," ucapnya.
Di sampung itu, menurut Lana, pemerintah harus bisa menahan harga yang barang dan jasa yang bisa dikendalikan (administered price), seperti harga Bahan Bakar Minyak (BBM), gas elpiji maupun tarif listrik.
Kebijakan itu dinilai bisa memberi angin segar di tengah stagnannya tingkat pendapatan yang diterima oleh masyarakat.
"Income masyarakat memang melambat Tapi, apabila bersamaan dengan harga barang yang tidak naik, maka konsumen tidak akan terlalu berat bebannya untuk belanja," ucapnya.
agi/cnni/rrn