Barang Bukti Janggal Terungkap di Persidangan Jessica
Penyelidikan kasus kematian Wayan Mirna Salihin di Kafe Olivier, Grand Indonesia, Jakarta. cnn

Barang Bukti Janggal Terungkap di Persidangan Jessica

Jumat, 28 Oktober 2016|14:35:03 WIB




RADARRIAUNET.COM - Persidangan terdakwa Jessica Kumala Wongso berakhir dengan vonis 20 tahun penjara atas kejahatan pembunuhan berencana terhadap Wayan Mirna Salihin. Jessica disebut terbukti menaruh racun sianida dalam Vietnamese Ice Coffee (VIC) hingga menewaskan Mirna, 6 Januari lalu.
 
Berbagai pernyataan ahli dari pengacara maupun Jaksa Penuntut Umum kerap berseberangan. Termasuk soal barang bukti yang dibawa JPU ke persidangan.
 
Salah satunya adalah barang bukti kopi bersianida. Hingga di ujung persidangan, JPU tak dapat memastikan apakah botol kopi yang ditunjukkan di persidangan benar berisi sianida atau bukan.
 
Kuasa hukum Jessica, Otto Hasibuan, menilai banyak kejanggalan dari barang bukti tersebut. Otto menyebut, ada dua versi berbeda pada Berita Acara Pemeriksaan (BAP) terkait penyimpanan kopi bersianida setelah disita pihak kepolisian.
 
Dalam BAP disebutkan, sampel kopi beracun dituangkan dari gelas ke botol saat di Polsek Tanah Abang, Jakarta Pusat, 8 Januari lalu. Namun keterangan lain dalam BAP menyebutkan, barang bukti telah dikirim dari Polsek Tanah Abang ke Mabes Polri sehari sebelumnya yakni 7 Januari 2016.
 
Pada tujuh barang bukti kopi yang diuji di Pusat Laboratorium Forensi (Puslabfor) bahkan menunjukkan, hasilnya negatif sianida.
 
Otto menyebut, dalam berkas dakwaan ada barang bukti yang kemudian disingkat BB I hingga VII.
 
Hasilnya pada BB I, positif mengandung sianida sebanyak 7.400 miligram, BB II positif sianida sebanyak 7.900 miligram. Sementara pada BB lainnya dinyatakan negatif sianida. 
 
Kejanggalan lain, keterangan bartender Kafe Olivier, Yohanes, yang mengaku menuang sisa kopi Mirna dalam botol air mineral yang terbuat dari kaca. Dia melakukan hal tersebut usai diminta manajer bar Kafe Olivier, Devi Siagian, untuk memindahkan kopi tersebut.
 
Yohanes memastikan, gelas itu kosong dan tak ada kopi beracun yang tersisa dalam gelas kopi tersebut. Sementara gelas bekas itu, seingat Yohanes, diletakkan begitu saja di meja pantry kafe.
 
“Ternyata dalam bukti yang dihadirkan bukan botol air mineral itu. Padahal sudah jelas kopi itu dituang semua ke botol. Sedangkan yang di laboratorium Puslabfor gelasnya masih isi kopi. Jadi kopinya yang mana?” ujar Otto di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Juli lalu. 
 
Otto meragukan keaslian kopi dalam botol yang menjadi barang butki. Dia mencurigai, kopi bukan berasal dari sisa kopi beracun yang diminum Mirna. 
 
JPU sempat menunjukkan gelas bekas VIC dan botol berisi sisa kopi kepada majelis hakim dalam persidangan Juli lalu. JPU yang diwakili Ardito Muwardi membuka botol kaca berisi kopi beracun.
 
Terdengar suara letupan kecil saat botol itu dibuka. Tak ada bau khas dari kopi, warnanya juga telah berubah menjadi lebih keruh. Warna VIC mestinya coklat kehitaman. Namun dari keterangan sejumlah saksi di Olivier, kopi itu berwarna kekuningan seperti kunyit dengan bau tak enak.
 
Devi Siagian juga ditunjukkan botol kaca berisi kopi. Hakim Anggota Binsar Gultom menanyakan warna kopi dalam botol tersebut pada Devi.
 
“Warnanya seperti ini atau tidak?” tanya hakim Binsar sambil menunjukkan botol.
 
“Beda, Yang Mulia. Kopi yang diminum Mirna saat itu lebih pekat dan kekuning-kuningan,” jawab Devi.
 
Perubahan warna kopi dalam botol diduga karena lama penyimpanan sejak peristiwa kematian Mirna terjadi. Meski kopi dalam botol telah berubah warna, Devi meyakini bahwa botol kopi itulah yang dibawa polisi untuk diperiksa di Puslabfor Polri.
 
“Saya yakin itu yang diperiksa. Botolnya juga sama, karena saya yang meminta Yohanes memindahkan dari gelas ke botol,” ucapnya.
 
Jaksa Ardito menilai kuasa hukum Jessica tak paham soal barang bukti. Dia menjelaskan, dari keterangan Devi kopi beracun yang diminum Mirna langsung disita penyidik usai kejadian. Ardito membenarkan minuman itu sempat dituang Yohanes ke dalam botol. 
 
“Sehingga diperkirakan dalam gelas masih ada, di botol juga masih ada,” katanya.
 
Penyidik lantas meminta VIC tanpa sianida di Kafe Olivier sebagai pembanding.
 
Semula VIC pembanding disimpan dalam kantong plastik, namun polisi kemudian meminta dipindahkan ke botol karena khawatir akan tumpah. Sementara VIC yang bersianida juga telah disimpan dalam botol.
 
“Jadi yang dibawa ke Puslabfor itu dua botol dan satu gelas. Satu botol diduga isi sianida, gelas yang diduga isi sianida, dan satu botol VIC pembanding,” katanya.
 
Namun jaksa Ardito tak berani memastikan apakah botol VIC yang ditunjukkan dalam persidangan adalah barang bukti berupa kopi bersianida atau kopi pembanding. Menurutnya, pembuktian ini hanya bisa dilakukan tim Puslabfor Polri.
 
Sayangnya, hingga jatah waktu menghadirkan saksi bagi JPU telah habis, keterangan soal barang bukti botol berisi kopi masih menjadi tanda tanya. 
 
“Kami tidak berani mengatakan itu, kami menunggu Puslabfor,” ucapnya.
 
Kejanggalan Bukti CCTV
 
Barang bukti berupa rekaman Closed Circuit Televison (CCTV) di Kafe Olivier juga memunculkan kejanggalan.
 
Otto menuturkan, dalam CCTV yang diputar dalam persidangan, Jessica tiba di Kafe Olivier pukul 16.14 WIB. Sedangkan dalam nota pesanan Jessica di Olivier, tercatat pukul 16.08 WIB.
 
Otto mempertanyakan perbedaan waktu tersebut. Menurut Otto, tak masuk akal apabila Jessica belum tiba di Olivier tapi sudah memesan menu terlebih dulu.
 
JPU menyebut, mungkin saja ada perbedaan waktu yang tercantum dalam CCTV. Dalam persidangan sebelumnya, resepsionis Olivier, Aprilia Cindy, menyatakan Jessica datang pukul 15.30 WIB hanya untuk memesan meja dan kembali lagi pukul 16.14 WIB.
 
Namun keterangan waktu sempat dikoreksi majelis hakim usai melihat rekaman CCTV. Jessica diketahui datang memesan tempat pukul 15.55 dan kembali pada pukul 16.14.
 
Tak hanya soal perbedaan waktu, isi rekaman CCTV dinilai janggal oleh ahli digital forensik yang dihadirkan kuasa hukum, Rismon Hasiholan Sianipar. Dalam persidangan September lalu, Rismon menduga ada video tampering atau modifikasi ilegal yang dilakukan Ajun Komisaris Besar M Nuh Al-Azhar.
 
Nuh merupakan ahli digital forensik Puslabfor Polri yang dihadirkan Jaksa dalam persidangan. Dia diminta penyidik untuk menganalisis hasil rekaman CCTV kafe Olivier.
 
Rismon menjelaskan, tampering dilakukan dengan mencerahkan intensitas pixel untuk memberi efek pergerakan pada video. Hal itu bisa dilakukan dengan mengubah laju frame sehingga memberi efek ilusi apabila ditayangkan dalam kecepatan normal.
 
Indikasi tampering ini, menurut Rismon, terlihat dari ukuran jari Jessica yang tidak proporsional saat menggaruk tangan usai Mirna tak sadarkan diri di Olivier. Rismon mencurigai, ada pengeditan manual karena tangan Jessica terlihat berubah warna dari terang, gelap, kemudian terang, dan kembali gelap.
 
Perubahan ini terjadi dalam waktu 0,1 detik dengan kecepatan tangan yang dianggap tidak rasional. Dugaan tampering juga terlihat dari kontur jari Jessica yang terlalu panjang ketika menggaruk tangan.
 
Menurut Rismon, panjang semua jari Jessica terlihat hampir sama. Padahal dalam kondisi manusia normal, ukuran setiap jari mestinya berbeda.
 
“Kontur tangan jadi seperti menggunakan kuku nenek lampir,” katanya.
 
Rismon juga menanyakan keaslian rekaman CCTV yang diperoleh Nuh. Menurutnya, analisis Nuh tak valid lantaran rekaman CCTV diperoleh dari hasil penggandaan.
 
Nuh memang memperoleh rekaman CCTV tersebut dari penyidik yang digandakan dan disimpan dalam flashdisk berkapasitas 32 gigabyte. Tudingan Rismon ini dimentahkan Nuh saat hadir kembali dalam persidangan.
 
Nuh menyatakan, analisis rekaman CCTV Rismon tak dapat dipertanggungjawabkan lantaran Rismon menganalisis menggunakan tayangan dari tiga stasiun televisi swasta yakni Kompas TV, iNews TV, dan tvOne. Rismon juga menggunakan referensi Youtube sebagai pembanding analisis rekaman.
 
Kesahihan rekaman CCTV sebagai barang bukti pun dipertanyakan.
 
Ahli hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) yang dihadirkan kuasa hukum, Mudzakkir menilai, rekaman CCTV tak dapat menjadi alat bukti pembunuhan Mirna. Rekaman itu merupakan alat bukti sekunder dan baru dapat digunakan jika sudah ada bukti primer.
 
“Kalau primer tidak ada, CCTV tidak perlu dipertimbangkan,” kata Mudzakkir.
 
Mestinya, lanjut Mudzakkir, kasus pembunuhan harus dibuktikan dengan alat bukti yang digunakan untuk melakukan kejahatan tersebut.
 
Namun ahli hukum pidana Universitas Gadjah Mada (UGM) Edward Os Hiariej yang dihadirkan JPU memiliki pendapat lain.
 
Menurutnya, rekaman CCTV adalah barang bukti meski belum diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Ketentuan mengenai CCTV sebagai barang bukti diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
 
Edward menuturkan, rekaman CCTV bisa menjadi bukti kuat selama tak direkayasa. Apabila perpindahan rekaman CCTV dilakukan dengan perantara flashdisk, maka diperlukan video pembanding dan keterangan ahli untuk memastikan keasliannya.
 
Pasal 5 UU ITE berbunyi, informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. CCTV termasuk dalam dokumen elektronik yang dapat dilihat, ditampilkan, atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik. 
 
Sesuai Pasal 6 UU ITE, dokumen elektronik dianggap sah sepanjang informasi di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.
 
Sejumlah perbedaan yang dipaparkan masing-masing ahli memang menimbulkan kebingungan. Pengunjung persidangan dibuat bertanya-tanya, mana kesaksian yang benar.
 
Banyaknya keterangan ahli juga tak jarang memunculkan perdebatan. Majelis hakim kadang mesti melerai hingga menenangkan pengunjung sidang.
 
Hakim Binsar Gultom termasuk salah satu hakim anggota yang paling vokal. Dia beberapa kali dengan lugas menyatakan, banyak kejanggalan dalam kasus kematian Mirna.
 
Binsar sempat dinilai kuasa hukum Jessica tak netral. Di awal persidangan, dia sempat berucap, Jessica bisa saja dijatuhi hukuman maksimal meski tak ada saksi yang menyaksikan perbuatannya.
 
Binsar merujuk pada kasus pembunuhan dan pencabulan di Jasinga, Bogor, Jawa Barat, yang dia tangani. Pernyataan itu membuat kuasa hukum Jessica gerah hingga melaporkan hakim Binsar ke Komisi Yudisial. Namun belakangan laporan dicabut.
 
Kejanggalan lain yang dilihat hakim Binsar yaitu kondisi Mirna yang meninggal usai menenggak racun sianida. Di meja persidangan, hakim Binsar mendadak menunjukkan foto jenazah Mirna.
 
Foto itu diduga berasal dari ayah Mirna, Darmawan Salihin. Tindakan hakim Binsar itu diprotes pengacara Jessica karena foto itu tak termasuk barang bukti dalam kasus tersebut.
 
Berbagai fakta dan pendapat yang mencuat di persidangan menjadi catatan. Tak diketahui mana yang diyakini majelis hakim, namun seluruhnya akan menjadi pertimbangan untuk menjatuhkan putusan.
 
Ahli pidana Mudzakkir mengatakan, kejanggalan yang ditemui di persidangan sepenuhnya menjadi hak dan kewenangan majelis hakim.
 
“Hakim juga berhak menolak dokumen yang dianggap tidak valid. Daripada sidang berlarut-larut, sedangkan keterangannya tidak relevan,” ucap Mudzakkir. 
 
Kini majelis hakim telah menjatuhkan vonis 20 tahun penjara kepada Jessica atas pidana pembunuhan berencana dengan menggunakan bukti tak langsung.
 
 
cnn/radarriaunet.com






Berita Terkait

Baca Juga Kumpulan Berita NEWS

MORE

MOST POPULAR ARTICLE