ICW: Mayoritas Calon Hakim Ad Hoc Tipikor Berkategori
Peneliti ICW Aradila Caesar menyebut mayoritas calon hakim ad hoc Tipikor tidak memenuhi kompetensi. cnn

ICW: Mayoritas Calon Hakim Ad Hoc Tipikor Berkategori "Merah"

Sabtu, 15 Oktober 2016|13:26:24 WIB




RADARRIAUNET.COM - Mahkamah Agung saat ini tengah menyeleksi 85 calon hakim ad hoc tindak pidana korupsi (tipikor) di tingkat pertama dan banding. Dari jumlah itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat sebanyak 49 atau mayoritas calon hakim masuk dalam kategori merah. 
 
Dalam syarat pendaftaran dicantumkan bahwa para calon tidak boleh terdaftar sebagai anggota dan pengurus partai politik, tidak pernah dihukum pidana, dan bersedia melaporkan harta kekayaannya.
 
Dari ketentuan itu, hingga saat ini ICW mengaku hanya bisa menelusuri 60 dari 85 nama calon hakim. Sedangkan 25 nama lain sulit ditelusuri karena berasal dari luar daerah. 
 
Penelusuran ICW dilakukan dengan mencari data para calon hingga mewawancarainya. Hasilnya, 49 hakim masuk kategori merah.
 
Peneliti Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW Aradila Caesar mengatakan, kategori merah diukur dari sisi integritas, kualitas, hingga independensi. Umumnya mereka yang masuk kategori merah dianggap tidak memiliki kompetensi yang memadai.
 
Sementara para calon yang dianggap memenuhi kategori hijau atau layak sebagai hakim ad hoc tipikor, hingga saat ini, hanya tiga orang. Hasilnya kemudian akan dilaporkan langsung pada hakim agung Artidjo Alkostar.
 
"Kami minta MA melakukan proses seleksi yang lebih ketat dan tidak berkompromi pada calon hakim yang bermasalah," kata Aradila saat dihubungi, Jumat (13/10).
 
Ia juga menyoroti soal independensi para calon. Dari hasil penelusuran ICW, ada sekitar tujuh calon yang berafiliasi dengan partai politik. Hal ini dikhawatirkan mengganggu calon jika terpilih sebagai hakim. 
 
Para calon hakim yang mendaftar memiliki latar belakang beragam. Mulai dari pegawai swasta, wiraswasta, hingga anggota partai politik. Berdasarkan catatan ICW, sebagian besar pendaftar berasal dari profesi advokat.
 
Selain diragukan dari aspek integritas, kualitas, hingga independensi, Aradila mengatakan, kompetensi dari sebagian besar pendaftar juga diragukan. 
 
Calon hakim dari advokat, misalnya, mereka hampir tak pernah menangani perkara yang menarik perhatian publik. Bahkan masih ditemukan sejumlah advokat yang membela kasus korupsi.
 
"Ada pula yang terindikasi sebagai pencari kerja," ujar Aradila.
 
Indikasi ini terlihat dari adanya calon yang pernah mengikuti beberapa seleksi calon pejabat publik atau tengah mempersiapkan masa pensiun. Ada pula calon hakim yang sebelumnya telah dipecat karena terbukti berselingkuh.
 
Sebagian calon yang mendaftar pun rata-rata tak memahami soal isu korupsi maupun pencucian uang. 
 
ICW mencatat ada calon hakim yang tak menguasai ketentuan teknis soal pidana tambahan berupa uang pengganti hingga pencabutan hak politik. Padahal, ketentuan itu merupakan pengetahuan dasar yang mestinya dikuasai para calon. Hanya saja, Aradila tak menyebutkan nama-nama calon yang bersangkutan.
 
"Harusnya para calon punya kompetensi yang relevan dengan posisi yang mereka daftarkan sekarang," katanya.
 
Hal senada diungkapkan juru bicara Komisi Yudisial Farid Wajdi. Sejak Mahkamah Konstitusi memutuskan KY tak lagi terlibat dalam seleksi hakim di tingkat pertama, proses tersebut sepenuhnya memang menjadi kewenangan MA.
 
Meski demikian Farid menilai, MA tak perlu memaksa memenuhi kuota dengan menurunkan standar nilai seleksi calon hakim. "Jangan kemudian untuk memenuhi kuota, MA harus menurunkan standarnya. Hanya yang berintegritas dan memiliki kemampuan yang layak untuk terpilih," tutur Farid.
 
Sementara itu Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat MA Ridwan Mansyur menegaskan, lembaganya itu tidak menargetkan kebutuhan jumlah hakim di masing-masing Pengadilan Tipikor. Kebutuhan hakim, menurutnya, akan disesuaikan pada integritas dan kompetensi yang diniliki para calon.
 
"Tidak ada jumlahnya. Semua tergantung hasil seleksi," kata Ridwan.
 
Proses seleksi ini, kata dia, akan dilakukan secara berkala tiap tahun. Pasalnya, masa jabatan hakim ad hoc tipikor yang dibatasi lima tahun itu belum tentu diperpanjang. Setiap calon nantinya juga akan diperiksa terkait rekam jejak dan harta kekayaannya.
 
 
cnn/radarriaunet.com






Berita Terkait

Baca Juga Kumpulan Berita NASIONAL

MORE

MOST POPULAR ARTICLE