Rabu, 05 Oktober 2016|15:58:19 WIB
RADARRIAUNET.COM - Langit membersit jernih tatkala saya tiba di Pasar Ngasem milik Keraton Ngayogyakarta itu. Dari kampus Sanata Dharma, kaki ini melangkah menuju pasar tradisional tersebut. Rasa penasaran singgah di hati selepas membaca liputan jurnalis Republika perihal pasar lawas Srowulan di area Sleman.
Reporter dengan memikat menulis, jika ditarik garis lurus, Pasar Srowulan tepat berada di tengah-tengah antara Pasar Ngasem dan Puncak Merapi. Saya berniat ke bekas Pasar Srowulan yang sudah kukut sejak 1955. Tapi, sebelum sampai ke sana, saya harus ke Pasar Ngasem agar bisa membayangkan garis lurus nan sakral itu. Di Pasar Ngasem, terpotret kerukunan dan keriuhan masyarakat.
Pasar tradisional memang simbol pasar rakyat. Maka, ada setangkup sedih sekaligus geram jika pasar tradisional berikut kekhasannya kerap jadi tumbal pembangunan "raja kecil" yang mengejar angka proyek. Berdalih mempercantik tampilan pasar, tapi malah merusak ekosistem pasar selama puluhan tahun.
Perlu dicatat, pasar bukan sekadar ruang ekonomi, melainkan juga mewadahi terselenggaranya silaturahim sesama manusia. Dari interaksi sosial yang teranyam, komunitas penjaja dan pembeli menyumbang ungkapan budaya khas pasar.
Fenomena tersebut luput dari bidikan para sarjana. Tak terkecuali antropolog kondang, Clifford Geertz (1973) yang mengenalkan konsep sliding price (harga luncur) selepas menganalisis peristiwa nyang-nyangan (tawar-menawar) antara bakul dan pembeli.
Di pasar Jawa, misalnya, tersimpan aneka ungkapan khas yang kini asing di kuping dan satu per satu amblas dicapok waktu. Pasar sebagai ruang ideal mengais informasi mendorong munculnya peribahasa kulak warta adol prungon. Fakta kultural ini melukiskan kenyataan bahwa kita berburu berita bisa lewat ngobrol atau nguping pembicaraan orang di pasar, untuk kita wartakan di tempat lain.
Umumnya, mengais informasi tentang saudara atau kerabat yang jauh. Maklum bila tempo doeloe ada yang kehilangan anggota keluarga, kali pertama yang dijujug bukan kantor polisi, melainkan ke pasar. Tapi kudu dicermati pula, berita berseliweran di pasar dan beredar cepat dari mulut ke mulut juga tidak sepenuhnya bisa dipercaya, lantas lahirlah ungkapan ujare wong pepasaran.
Pasar lawas menciptakan idiom bukak dasar. Hal ini menjelaskan pola para bakul menggelar dagangan cukup ditaruh di tanah atau lantai, tidak dipajang di almari, kecuali barang berharga, seperti emas dan perunggu. Mereka nglesot menghadap dagangan, menanti pembeli. Agar tak kotor menyentuh tanah, dagangan dilambari karung atau diletakkan di atas empyak (ranjang kecil) yang tingginya sedada bakul kala duduk.
Setelah membeli datang dan terjadi transaksi, bakul bergegas mengucapkan istilah cundhuk laris beberapa kali seraya memukulkan uang ke dagangannya. Cundhuk artinya tusuk, lazim dikenakan wanita Jawa guna menguatkan ikatan rambut dan simbol mengokohkan ikatan dalam berniaga. Perilaku budaya ini menerangkan bahwa bakul mengambil sedikit keuntungan di awal penjualan lantaran yakin akan mempengaruhi penjualan berikutnya, dan bertambah laris.
Tak seperti (pedagang) mal yang cenderung berkarakter individualis, pasar tradisi mengusung spirit dagang Jawa yang mengedepankan rasa persaudaraan. Realitas ini dibuktikan dengan ungkapan bathi sanak tuna satak. Ungkapan klasik tersebut memuat arti bahwa rugi uang seratus tidak masalah, asal beruntung memperoleh saudara.
Dalam lubuk hati tertanam sepucuk asa, ia mendapat keuntungan dari hubungan baik atau interelasi dengan pembeli. Disusul istilah dagang tuna andum bathi, artinya orang berbuat baik lewat perantara orang lain.
Yang diganjar ucapan terima kasih tak hanya orang pertama yang beramal tadi, tapi juga si perantara. Ringkas kata, roh pasar tradisi mencoba menjauhkan manusia dari ketamakan, dan tak boleh pula menepikan unsur kemanusiaan.
Di wilayah perkotaan, pasar tradisional pada masa lampau bukan hanya dipadati oleh kaum pribumi, melainkan juga lintas etnis. Melalui hubungan sosial, muncul istilah Cina craki yang dilatarbelakangi oleh tipikal sebagian golongan Tionghoa yang amat kikir atau orang yang bersifat perhitungan sekali.
Yang dimaksud craki adalah rempah-rempah atau obat-obatan. Kala itu, bahkan hingga sekarang, yang menjajakan obat-obatan di pasar mayoritas orang Tionghoa. Sebagian bersifat kikir, emoh memberi tambahan sedikit pun kepada pembeli. Tapi kudu dipahami pula, barangkali sifat itu adalah "resep" supaya bisnisnya berjaya.
Ditemukan juga ungkapan kelebon Cina gundulan, artinya orang terkena tipu. Sebagai contoh, membeli barang mengira kualitasnya bagus, padahal sebenarnya jeblok. Sejarah merekam, sebelum revolusi Tiongkok tahun 1912, seluruh orang Tionghoa berkucir. Kalau tidak berkucir, bakal disebut "Cina apus-apus" alias masyarakat tidak memercayainya meski benar-benar seorang Tionghoa.
Bila ditelusuri lebih jauh, berserakan ungkapan lokal yang tumbuh di lingkungan pasar yang terkurung dalam memori kolektif para bakul. Sebut saja pasar ilang kumandange, bakul tikus, bakul timpuh, pathok bangkrong, jajan pasar, golek karo epek-epek, pekenan, tunggu thuthuk, ngalap nyaur, ngemping, dan lainnya. Yang pasti, ungkapan itu merupakan ekspresi para manusia pasar yang sederhana, maka kata-katanya juga sederhana, kendati tidak gamblang.
Sekali lagi, rusaknya pasar tradisional bukan hanya berimbas pada sektor ekonomi kerakyatan, melainkan juga segi sosial-budaya. Karakteristik pasar yang terbangun selama berabad-abad bakal lenyap lantaran kita tak ambil pusing, alih-alih berempati menjaga kelestarian kehidupan pasar tradisi dari aksi jahil investor, keangkuhan "raja kecil", serta desakan pasar modern. Ayo, rajin blusukan dan nglarisi bakul di pasar tradisional!
Oleh Heri Priyatmoko
Dosen Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma/rol