RADARRIAUNET.COM - Sejumlah kelompok masyarakat memberi catatan penting menyambut Hari Ulang Tahun TNI ke-71 tahun ini. Mereka menilai saat ini pelaksanaan agenda reformasi TNI jalan di tempat.
“Agenda reformasi TNI mengalami stagnasi. Tidak ada kemajuan hingga sekarang. Ini sesuatu yang buruk,” kata salah satu perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil, Al Araf, di kantor Imparsial, Tebet, Jakarta Selatan, Selasa (4/10).
Menurutnya, stagnasi reformasi TNI terlihat dengan tidak dijalankannya sejumlah agenda yang dimandatkan pada awal Reformasi 1998.
Koalisi memberikan tujuh catatan terkait stagnasi reformasi TNI. Pertama, pemerintah perlu melakukan restrukturisasi Komando Teritorial (Koter), sebab karakter dan watak penggunaan Koter tidak berubah saat ini. Pada masa Orde Baru, eksistensi Koter terkait dengan Dwifungsi ABRI.
Hingga kini, ujar Al Araf, Koter digunakan sebagai instrumen politik, terutama pada masa pemilihan umum, juga alat represi terhadap masyarakat.
Sejumlah dugaan kasus penyimpangan Koter antara lain mobilisasi aparat Bintara Pembina Desa (Babinsa) di daerah untuk menggalang dukungan warga untuk calon presiden tertentu pada Pemilu 2014. Selain itu, Kodam Siliwangi dituding menggelar operasi sajadah dan mengintimidasi jemaah Ahmadiyah untuk mengubah keyakinannya.
Kedua, reformasi sistem peradilan militer melalui perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Agenda ini dianggap sebagai salah satu jantung reformasi TNI.
Dalam praktiknya, peradilan militer menjadi sarana impunitas bagi anggota militer yang melakukan tindak pidana. Sanksi yang diberikan terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana, tidak maksimal.
Ketiga, sejumlah regulasi memberi ruang pelibatan militer dalam keamanan dalam negeri dan ranah sipil secara luas. Hal ini dinilai mengancam kehidupan demokrasi dan hak asasi manusia.
Dua di antaranya Rancangan Undang-Undang (RUU) Rahasia Negara dan RUU Keamanan Nasional yang masuk dalam program legislasi nasional 2015-2019. Kedua RUU itu dinilai tidak dibutuhkan urgensinya.
Keempat, konflik antaranggota TNI dengan Polri yang masih terjadi. Dalam sejumlah kasus, bentrokan itu tidak hanya menimbulkan kerugian pada fasilitas publik, tapi juga warga sipil menjadi korban.
Kelima, upaya modernisasi alat utama sistem pertahanan harus dijalankan secara transparan dan akuntabel. Dalam praktiknya, pengadaan alutsista bukan hanya menyimpang dari kebijakan pembangunan postur pertahanan, tetapi juga sarat dengan dugaan terjadinya markup atau penggelembungan anggaran.
Keenam, kekerasan yang dilakukan anggota TNI terhadap masyarakat dan pembela HAM masih terjadi di berbagai daerah. Beragam motif kekerasan terentang mulai persoalan pribadi, bentuk solidaritas korps yang keliru, sengketa lahan dengan masyarakat, terlibat dalam penggusuran, serta kekerasan terhadap jurnalis dan pembela HAM.
Ketujuh, kesejahteraan prajurit TNI perlu ditingkatkan. Selama ini penguatan sumber daya manusia terkait kesejahteraan prajurit TNI masih minim. Hal ini membuat mereka mencari sumber pendapatan lain di luar gaji mereka.
“Tingkat kesejahteran prajurit TNI bisa memicu untuk mencari sumber lain di luar yang halal untuk memenuhi kebutuhannya,” kata Koordinator Peneliti Imparsial Ardi Manto Adiputra.
cnn/radarriaunet.com